Selasa 28 Jun 2016 13:00 WIB

Jalan Tengah Pengampunan Pajak

Red:

Pemerintah merasa perlu memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) sebagai solusi instan untuk menambal defisit penerimaan negara. Pemerintah juga mengejar dana repatriasi dari uang warga negara Indonesia yang selama ini parkir di luar negeri.

Namun, target yang dikejar pun masih belum jelas sebagaimana yang tercermin dari perbedaan estimasi yang signifikan antara menteri Keuangan dan gubenur Bank Indonesia. Secara praktik, pengampunan pajak memang bukan hal yang baru di dunia dan sudah banyak kajian akademis yang mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini. Brogne dan Baer (2008), contohnya, yang menyimpulkan bahwa negara-negara yang melakukan pengampunan pajak lebih banyak yang gagalnya daripada yang berhasil.

Dari sedikit negara yang berhasil ini, semuanya memiliki prasyarat keberhasilan, yaitu didahului dengan reformasi perpajakan. Di sana, pengampunan pajak diletakkan di akhir sebagai bagian dari pengampunan perpajakan yang menyeluruh. Biasanya, juga memiki konteks kebutuhan yang spesifik, antara lain, transisi ke sistem perpajakan yang baru atau rekonsiliasi nasional, seperti pengampunan pajak di Afrika Selatan.

Saat ini, kita justru tidak memiliki prasyarat keberhasilan tersebut. Sistem perpajakan Indonesia masih lemah secara kelembagaan, kualitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, maupun regulasi. Sebetulnya, pemerintah sudah berniat melakukan reformasi perpajakan dengan memasukkan RUU revisi atas UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ke dalam prolegnas prioritas. Tapi, karena dorongan pragmatis, RUU pengampunan pajak ini tiba-tiba menyalip di tikungan.

Selain itu, berdasarkan model yang dikembangkan oleh Bayer, Oberhofer, dan Winner (2015) yang menjadi salah satu prasyarat keberhasilan pengampunan pajak adalah kebijakan ini mesti bersifat one shot policy, yaitu kebijakan yang sekali diambil dan tidak diantisipasi sebelumnya. idealnya, hal ini dilakukan tidak lebih dari satu kali dalam satu generasi. Sedangkan, Indonesia baru saja melakukan kebijakan sejenis pada 2008 melalui sunset policy.

Dengan tidak dipenuhinya prasyarat ini, risiko kegagalan pengampunan pajak saat ini menjadi sangat besar. Biayanya akan lebih besar dibandingkan manfaatnya. Biaya ini berupa, pertama, hilangnya potensi pendapatan negara (potential loss) dari yang seharusnya diterima jika peserta pengampunan pajak membayar tarif normal sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.

Kedua, biaya dari menurunnya kepatuhan pajak karena rusaknya kredibilitas pemerintah akibat kebijakan ini. Sebab, wajib pajak akan memilih menunggu berlakunya lagi pengampunan pajak di masa mendatang.

Walau prasyarat tidak memenuhi prasyarat untuk diterapkannya pengampunan pajak, pemerintah tetap berkukuh dengan rencananya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, untuk siapakah sebetulnya RUU pengampunan pajak?

Saat ini, panja RUU pengampunan pajak telah menyetujui sebagian pasal yang ada di dalam draf RUU. Pasal-pasal yang sudah selesai diketok oleh panja, antara lain, pasal terkait tata cara/prosedur pemberian pengampunan, fasilitas, dan kerahasiaan data. Sementara, pasal-pasal krusial, seperti objek pengampunan pajak, tarif, dan perlakuan terhadap dana repatriasi masih belum disepakati.

Pertama, terkait objek pengampunan pajak. Draf RUU menyebutkan bahwa pengampunan pajak meliputi semua jenis pajak, yaitu PPh, PPN, dan PPnBM, PBB pusat, serta bea materai. Padahal, praktik yang lazim dalam pengampunan pajak hanya mengampuni pajak penghasilan.

Ini sesuai dengan konsep pengampunan pajak yang berbasis differensial asset atau akumulasi penghasilan yang selama ini tidak dipajaki. Perluasan objek pajak kepada PPN, PBB, dan bea materai akan menggerus penghasilan negara lebih jauh.

Kedua, terkait fasilitas dan tarif tebusan. Pemerintah menawarkan fasilitas pembebasan utang pokok pajak, sanksi administratif, dan sanksi pidana pajak. Semua itu cukup ditebus dengan tarif sangat rendah yang sangat memanjakan pengemplang pajak sebesar satu sampai enam persen.

Bandingkan dengan tarif PPh yang seharusnya mereka bayar hingga 25-30 persen, ditambah sanksi administrasi 48 persen dari pokok, dan sanksi pidananya. Bisa dipahami mengapa pemerintah mengobral tarif yang sangat rendah. Sebab, tanpa didahului reformasi perpajakan, pemerintah hanya memiliki carrot tanpa stick.

Dengan obral tarif tebusan ini negara kehilangan potensi pemasukan yang sangat besar sekaligus mencederai rasa keadilan. Oleh karena itu, demi mencegah potential loss negara yang besar dan menegakkan asas keadilan, fasilitas pengampunan pajak harus dibatasi kepada penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidananya saja.

Peserta pengampunan pajak tetap membayar pokok pajak sesuai ketentuan PPh. Sementara, untuk dana repatriasi bisa diberikan diskon lebih rendah dari ketentuan PPh. Khusus untuk UMKM, mereka layak untuk diberikan tarif rendah 0,5 persen.

Ketiga, sesuai dengan tujuan RUU ini, yaitu pengampunan pidana perpajakan, harus dipastikan agar tidak ada pasal yang secara implisit memberikan ruang bagi pidana lain, seperti korupsi, narkoba, terorisme, human trafficking, dan pencucian uang untuk bersembunyi. Hal ini terkait pasal yang menyebutkan bahwa data dan informasi terkait pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Pasal ini bisa menimbulkan multitafsir bahwa aparat hukum menjadi tidak bisa memproses mereka berdasarkan bukti yang ada karena data tersebut sama dengan yang dilaporkan dalam pengampunan pajak.

Keempat, dana repatriasi harus benar-benar masuk ke sektor riil dan infrastruktur yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja. Jangan sampai menjadi hot money dalam bentuk investasi pasar uang yang bisa tiba-tiba keluar dan mengganggu stabilitas sistem keuangan ataupun menjadi sumber bubble keuangan karena spekulasi di sektor properti.

Jika dana ini ditampung lewat SBN, harus ada SBN khusus dengan imbal hasil yang tidak lebih tinggi dari tarif tebusan repatriasi. Selain itu, masa holding period-nya harus lebih lama, yaitu minimal lima tahun agar benar-benar digunakan untuk menggerakkan sektor riil dan pembangunan infrastruktur.

Tanpa keempat hal di atas, RUU pengampunan pajak hanya akan membawa mudarat bagi bangsa Indonesia, sehingga layak untuk ditolak. 

Ecky Awal Mucharam

Anggota Komisi XI Fraksi PKS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement