Rabu 10 Feb 2016 18:00 WIB

Peran Global Gerakan Islam Indonesia

Red:

Apa yang terbayang di benak Anda ketika istilah Gerakan Islam disebut? Istilah Gerakan Islam belakangan cenderung mengalami peyorasi karena diasosiasikan dengan gerakan berorientasi politik atau menghalalkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan politik.

Adapun kegiatan dan perjuangan organisasi Islam yang menggunakan cara-cara transformatif dan damai sering kali tidak mendapatkan label sebagai Gerakan Islam. Padahal, istilah "gerakan" dalam konteks sejarah Islam mengacu pada dua konsep, yakni pembaharuan (tajdid) dan reformasi yang meniscayakan makna perubahan dan transformasi secara damai dan beradab. Dalam artikel ini, saya menggunakan istilah Gerakan Islam dalam pengertian luas, baik gerakan berorientasi politik maupun sosial, intelektual, atau kultural.

Sebagai aktivis organisasi Islam yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, saya melihat dan sekaligus merasakan adanya kelemahan Gerakan Islam Indonesia (GII) dalam konteks pembaharuan dan reformasi tersebut. Gerakan Islam di Indonesia yang kritis dan transformatif tidak mempunyai kredensial dan jaringan di tingkat internasional yang membuatnya hanya berpengaruh di tingkat nasional.

Organisasi Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah, HMI, dan PII, meskipun mempunyai pengaruh kuat di tingkat nasional, pengaruh visi dan gerakan keislamannya tidak merambah ke tingkat lebih luas. Dunia modern yang semakin terbuka dan saling terkoneksi memberikan tantangan yang beragam, baik di sektor ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun kehidupan keagamaan.

Ketika proses modernisasi di hampir segala bidang merambah ke dunia Muslim, kaum Muslim mempunyai respons tak seragam. Sebagian mereka menyambut modernisasi dengan antusias.

Nilai-nilai yang lahir dari rahim modernitas, seperti demokrasi, kebebasan individu, kemerdekaan berpikir, persamaan hak, hak asasi manusia, ide kemajuan, dan sejenisnya diadopsi serta diinjeksikan ke dunia Muslim tanpa melalui proses penyaringan yang ketat. Mereka kemudian sering disebut sebagai Muslim liberal.

Sebagian yang lain melihat modernitas dengan nilai-nilai dibawanya sebagai ancaman dan karenanya harus ditolak dan dilawan. Modernitas diidentikkan dengan nilai, budaya, dan politik negara Barat yang dinilai tidak cocok dengan Islam. Mereka kemudian melihat Islam tidak hanya sebagai agama, tapi juga sebagai ideologi politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Islam, bagi mereka, adalah alternatif sistem nilai yang orisinal dan solusi bagi segala permasalahan. Secara umum, mereka resisten terhadap modernitas dengan pelbagai turunan nilai dan sistemnya, baik dengan cara-cara yang dimungkinkan dalam iklim demokrasi maupun dengan cara kekerasan. Karena klaim keislamannya, mereka sering disebut sebagai kelompok Islamis.

Namun, sebagian Muslimin yang lain menghadapi modernitas dengan sikap kritis dan spirit transformatif. Di satu sisi, mereka menghargai nilai-nilai modern karena dianggap paralel dan ekuivalen dengan semangat ajaran Islam. Mereka bahkan mampu merumuskan nilai-nilai yang tidak saja bersesuaian dengan nilain-nilai modern, tapi juga berakar dalam tradisi khazanah intelektual Islam.

Di sisi lain, ketika nilai-nilai tersebut dipisahkan dari akar keagamaan, dijadikan jargon ideologis, kemudian dipaksakan melalui dominasi politik, represi ekonomi, dan kekuatan militer, mereka menolaknya. Penolakan ini, misalnya, terefleksi dalam resistensi mereka terhadap sekulerisme sebagai sebagai paham ideologis, terhadap struktur kapitalisme atau neoliberalisme yang eksploitatif, dan terhadap imperialisme politik-militer negara-negara Barat di negeri-negeri Muslim.

Persepsi gerakan Islam terhadap tantangan global bergantung pada model penyikapan terhadap fenomena modernitas tersebut. Bagi kaum Muslim liberal, tantangan utama yang ada dalam benak mereka dalam sikap konservatif, apologetik, dan resisten dari kalangan Muslim sendiri. Bagi mereka, sikap seperti itu malah menarik Islam ke dalam kemunduran dan menghambat potensi partisipasi dan kontribusi Islam bagi peradaban modern.

Bagi kalangan Islamis, tantangan utama yang menghantui pikiran mereka adalah peradaban Barat yang menginisiasi dan mengendalikan modernisme. Islam sebagai sebuah agama dan peradaban dianggap berlawanan secara diametral dengan peradaban Barat modern tersebut.

Sedangkan, bagi kalangan Muslim kritis, tantangan utamanya adalah memilah bagian-bagian yang positif dari peradaban Barat modern dan khazanah Islam untuk kemudian dijembatani serta disinergikan dan pada yang bersamaan menanggalkan bagian-bagian yang negatif dari keduanya. Bagi mereka, masa depan dunia bukanlah konflik antardua peradaban, Barat dan Islam, melainkan dialog dan sinergi antarberbagai tradisi peradaban di dunia.

Belenggu

Tipologi gerakan Islam di Indonesia tidak jauh dari tiga bentuk respons Muslimin terhadap tantangan modernitas sebagaimana dijelaskan di atas. Hanya saja, gerakan Islam di Indonesia mempunyai keterbatasan dan kelemahan yang membuatnya tidak maksimal dalam berpartisipasi dan berkontribusi bagi konstruksi peradaban dunia, khususnya peradaban Islam.

Keterbatasan dan kelemahan ini muncul bukan semata dipicu oleh sebab eksternal (baca: modernisasi), tapi lebih karena sebab-sebab internal yang saya sebut sebagai belenggu yang menghambat dan membatasi kemampuan eksplorasi, kreativitas, dan kebebasan mereka.

Gerakan Islam Indonesia memiliki masalah berupa belenggu ideologis, pemikiran, dan pergerakan. Belenggu ideologis, pemikiran, dan pergerakan kalangan liberal terletak pada kesulitan mereka untuk membayangkan masa depan peradaban tanpa menjadikan Barat sebagai referensi utama.

Imajinasi mereka terjerat dan terbatas pada apa yang telah dicapai dan dimiliki Barat. Mereka menempatkan Barat sebagai pusat orientasi pergerakan dan Indonesia sebagai cabangnya.

Pergerakan mereka umumnya berada di level pemikiran dan ditujukan hanya untuk mendapatkan legitimasi, afirmasi, atau anggukan dari Barat bahwa mereka telah menjadi pegerakan Islam yang modern dan liberal di Tanah Air. Orientasi keislaman dan keindonesiaan sering kali absen dari agenda pemikiran dalam pergerakannya.

Hal serupa terjadi pada kalangan Islamis. Mereka secara ideologis dan epistemologis menjadikan pencapaian sistem kepemimpinan Islam di masa lalu sebagai rujukan utama. Bahkan, mereka tidak bisa melepaskan imajinasi dan pemikiranya dari bayangan kejayaan masa lalu untuk dibangkitkan kembali di masa kini atau masa depan.

Idealisasi tentang kekhalifahan, generasi masa awal Islam yang saleh atau para imam yang terjaga dari dosa mendominasi imajinasi dan aspirasi mereka. Representasi dari sistem kepemiminan masa lalu terdapat pada rezim-rezim politik di Timur Tengah saat ini. Mereka menjadikan Timur Tengah, khususnya Jazirah Arab bagi kalangan Suni dan Iran bagi kalangan Syiah sebagai episentrum gerakan.

Kiprah mereka di Indonesia tidak lebih dari sekadar simpatisan, cabang, atau proksi bagi pusat pergerakan mereka di Timur Tengah. Dalam istilah Bassam Tibi (2012), mereka adalah tumpahan (spill-over) dari problematika dan pergerakan di Timur Tengah yang dianggap sebagai pusat. Tidak mengherankan jika pergerakan mereka umumnya mengandung orientasi politik dan hanya ditujukan untuk mendapatkan legitimasi, afirmasi, dan pengaminan dari kelompok-kelompok induk mereka di Timur Tengah.

Kedua sikap dan pemikiran tersebut, baik dari kalangan liberal maupun Islamis, punya dua konsekuensi yang kontraproduktif bagi pembangunan peradaban masa depan; satu, membelenggu kemerdekaan dan kemampuan gerakan Islam di Indonesia untuk secara kreatif dan orisinal merumuskan sendiri model peradabannya; dua, membuat mereka kedap rasa dan empati, sehingga tidak bisa mendengar dan menyelami suasana batin masyarakat Indonesia yang bergelut dengan berbagai pemasalahannya.

Satu-satunya yang bisa diharapkan untuk mempimpin agenda pembangunan peradaban masa depan adalah gerakan Islam Indonesia yang kritis dan transformatif. Gerakan ini tidak saja terbuka terhadap kebijaksanaan (wisdom) dan keutamaan (virtue), baik yang datang dari Barat maupun dari khazanah teks dan sejarah masa lalu Islam, tapi juga mempunyai kemampuan menyelami suasana batin masyarakat Indonesia karena mereka memang bergelut dengan permasalahan masyarakat dalam aktivitas kesehariannya.

Hanya saja, gerakan Islam Indonesia yang kritis ini mempunyai belenggu tersendiri. Mereka belum ditunjang oleh kredensial, integritas, dan jaringan untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi secara global. Itulah yang menjadi belenggu pergerakannya.

Mohammad Syifa A Widigdo

Presiden Islamic Center of Bloomington 2014-2015, Pengurus PCI-NU AS-Kanada, Kandidat PhD pada Department of Religious Studies Indiana University-Bloomington Indiana USA

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement