Selasa 09 Feb 2016 15:00 WIB

Tantangan dan Peluang ICMI

Red:

Pada Rabu, 10 Februari 2016, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) akan mengadakan perhelatan akbar berupa pengukuhan pengurus pusat yang dilanjutkan dengan rapat kerja, bertempat di Menara 165, Jakarta Selatan. Acara ini menjadi menarik karena besarnya harapan dan antusiasme para cendekiawan Muslim dari latar belakang berbeda yang ingin duduk menjadi pengurus untuk memberikan konstribusi bagi kemajuan umat, bangsa, dan negara.

Hal ini membuat formatur terpilih berkali-kali rapat dan tak kuasa menolak, mengakibatkan kepengurusan MPP ICMI menjadi jumbo. Tak kurang dari 700 tokoh terdaftar sebagai pengurus. Nama-nama besar, seperti BJ Habibie (Dewan Kehormatan), Jusuf Kalla (Dewan Penasihat), dan Jimly Asshiddiqie (Ketua Umum), serta Zulkifli Hasan (Ketua Dewan Pakar) berada dalam daftar atas, diikuti oleh nama-nama besar lain.

Hampir semua tokoh penting yang kini duduk di eksekutif maupun legislatif tercantum namanya. Mantan pejabat baik yang berlatar belakang cendekiawan kampus, ormas, parpol, pengusaha, dan militer juga ikut menghiasi susunan pengurus. Tokoh-tokoh KAHMI, Muhammadiyah, dan NU di samping ormas Islam lainnya menduduki pos-pos penting.

Cendekiawan yang berasal dari berbagai partai politik juga tidak ketinggalan. Pertanyaannya, mampukah ICMI yang kini dinakhodai Jimly Asshiddiqie memenuhi besarnya harapan dan antusiasme ini?

Reformasi 1998 dapat diibaratkan membuka pintu bendungan yang sedang penuh sekaligus. Akibatnya, arus kebebasan tak hanya membawa manfaat, tapi juga menimbulkan mudarat.

Pertama, kebebasan berkumpul dan berserikat telah melahirkan partai politik, ormas, dan LSM independen yang berbasis pada kekuatan riil yang hidup di masyarakat, sekaligus sarana perjuangan dan penyalur aspirasi yang efektif. Namun, kebebasan ini juga telah dimanfaatkan oleh para preman untuk mengorganisasi diri dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketenteraman dan kedamaian masyarakat.

Kebebasan ini juga ditumpangi oleh berbagai kelompok sempalan keagamaan untuk mengembangkan keyakinannya, sehingga menimbulkan keresahan dan saling curiga di antara pemeluk agama yang berbeda dan di dalam pemeluk agama yang sama. Bahkan, di sejumlah tempat telah meletup kerusuhan sosial yang menelan korban tak sedikit.

Kedua, kebebasan menyatakan pendapat dalam bentuk lisan maupun tulisan tidak dapat dimungkiri telah melahirkan gagasan segar dan orisinal dari seluruh lapisan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa dan negara. Akan tetapi, kebebasan mimbar dan media juga telah disalahgunakan untuk mencerca, bahkan mencaci-maki, menyebarkan kebencian, serta menyemai gagasan radikal yang mengganggu toleransi, keharmonisan, dan kedamaian yang selama ini menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Ketiga, demokrasi tidak dapat dimungkiri telah melahirkan partai politik yang berkompetisi melalui pemilu yang jurdil, sehingga mencerminkan kekuatan objektif yang ada di masyarakat. Namun, demokrasi juga melahirkan oligarki dan permainan uang yang masif yang mendorong tumbuh suburnya korupsi di semua lapisan.

Keempat, tumbuh suburnya pragmatisme dalam dunia politik dan ekonomi pada umumnya yang mendorong pada tujuan menghalalkan cara. Yang lebih memprihatinkan, pragmatisme seperti ini telah merayap masuk ke dunia pendidikan. Hal ini menggambarkan kemerosotan akhlak yang sudah dalam titik bahaya. Dalam situasi seperti inilah kini ICMI menjadi harapan untuk mengambil peran menyelamatkan umat, bangsa, dan negara.

Para pengurus yang sebentar lagi akan dikukuhkan perlu menyadari betapa besarnya potensi diri yang dimiliki ICMI saat ini. Pertama, iman dan takwa (Imtaq) sebagai landasan moral untuk membangun akhlak mulia anak bangsa sebagai salah satu pilar penopang ICMI kini menghadapi ujian yang jauh lebih serius dibanding sebelumnya.

Karena itu, para pengurus ICMI dituntut mengembangkan program yang tidak hanya membumi, tetapi juga kreatif di tengah derasnya pola hidup hedonis yang menyebar melalui berbagai media berbasis teknologi modern. Mulailah dari diri sendiri dan berilah keteladanan, demikianlah Islam mengajarkan.

Kedua, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai pilar penopang lain ICMI. Ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah, bagaimana ilmu tidak hanya berhenti sebagai wacana ilmiah, tetapi diwujudkan dalam bentuk amal saleh yang membawa manfaat bagi masyarakat.

Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon yang tidak berbuah, demikianlah pepatah Arab menggambarkan. Begitu juga amal yang dilandasi dengan pemikiran ilmiah akan melipatgandakan manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat, bahkan dalam rentang waktu yang panjang.

Para pengurus perlu menyadari besarnya sumber daya insani (SDM) yang dimiliki ICMI untuk menopang dua pilar di atas. Karena itu, di wilayah ini sejatinya dapat dijadikan medan tempur utama organisasi yang berbasis para cendekiawan ini.

Ketiga, banyaknya tokoh penting yang duduk dijajaran pengurus yang memiliki latar belakang partai dan ormas berbeda, seharusnya dijadikan kekuatan untuk mempersatukan umat. Harus diakui, politik dan kekuasaan telah menceraiberaikan keutuhan umat, seyogianya ICMI mempersatukan mereka kembali.

Keempat, walaupun ICMI merupakan tempat berhimpunnya para cendekiawan Muslim, tidak berarti ICMI hanya memikirkan kepentingan umat saja. ICMI juga harus memikul tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa dan negara. ICMI harus menjadi organisasi terbuka dan siap bekerja sama dengan kelompok cendekiawan lain baik yang berlatar belakang agama maupun nonagama. Wajah Islam Indonesia yang moderat, toleran (rahmatan lil 'alamin) harus dijadikan pegangan dalam konteks ini.

Walaupun antusiasme para cendekiawan untuk menjadi pengurus saat ini mendekati saat ICMI pertama kali dilahirkan 25 tahun lalu, harus disadari ada sejumlah perbedaan kini dibanding saat itu. Pertama, ICMI di samping dilihat sebagai sarana berhimpun para cendekiawan Muslim dalam mengabdi melalui ilmu yang dimilikinya, tidak sedikit yang memandang ICMI sebagai kendaraan politik mengingat hubungan khusus yang dimiliki sang ketua terhadap kekuasaan saat itu.

Hal ini tentu membuat BJ Habibie tidak mudah untuk memilah dan memilih berdasarkan motivasi yang mana seorang cendekiawan bergabung. Kini, Jimly sebagai ketuanya jauh lebih ringan karena tidak adanya hubungan khusus yang dimilikinya dengan kekuasaan, sehingga secara alamiah kadar keikhlasan mereka yang mau bergabung menjadi lebih tinggi dibanding motivasi lain.

Kedua, jika pada saat BJ Habibie memimpin ICMI, bagaimana mengembangkan demokrasi menjadi agenda yang tak tertulis, bahkan tak terkatakan, menjadi agenda yang paling berat dipikul sang ketua di tengah sistem yang otoriter maka kini Jimly harus mengembangkan agenda bagaimana mengeleminasi dampak negatif demokrasi dan liberalisme.

Ketiga, kecurigaan eksternal saat itu sangat tinggi, sehingga BJ Habibie harus bekerja keras meyakinkan berbagai pihak bahwa kehadiran ICMI tidak seperti yang mereka sangkakan. Kini, Jimly tidak dibebani kecurigaan seperti itu, bahkan karena perjalanan panjangnya selama 25 tahun ICMI berhasil membangun jati dirinya sebagai organisasi para cendekiawan yang mendedikasikan dirinya untuk umat, bangsa, dan negara melalui keilmuwan yang dimiliki, sehingga membawa kebaikan, bukan saja kepada umat, melainkan juga kepada bangsa secara keseluruhan dan negara.

Dalam besarnya harapan di tengah suasana kondusif, seperti ini justru menjadi tantangan bagi Jimly, mampukah ia sebagai nakhoda memenuhi harapan besar berbagai pihak atas dukungan yang besar yang diberikannya? Waktulah yang akan menjawabnya.

Muhammad Najib

Mahasiswa S-3 Ilmu Politik UNAS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement