Jumat 15 Jan 2016 14:00 WIB

Teroris Bukan Jihadis

Red:

Teror bom mengguncang Ibu Kota. Sentral perbelanjaan Sarinah menjadi sasaran teroris. Laporan sementara, enam orang meninggal. Beberapa titik bom juga meledak. Bahkan, isu yang disebar di berbagai grup WA, ada beberapa titik sentral mal yang menjadi target serangan kelompok teroris.

Peristiwa Kamis siang ini sungguh memilukan. Peristiwa itu seakan menjadi bukti bahwa jaringan teroris masih tetap ada dan berkembang. Mereka terus menebar teror sembari memanfaatkan jejaring media. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa aksi biadab seperti ini masih terjadi di bumi nusantara?

Otoritarianisme

Bom dan serangan kepada masyarakat sering kali disandarkan pada pemahaman doktrin keagamaan (jihad). Pelaku sengaja direkrut dan mendapat pembinaan secara intens (brain washing) untuk menjadi "pengantin". Mereka mendapat iming-iming surga ketika melakukan hal ini.

Perekrutan semacam ini tentunya tidak sesuai dengan kaidah keislaman. Meminjam bahasa Khaled M Abou El Fadl, dalam Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman (2003), manusia bukanlah pemegang mutlak otoritas menafsir. Otoritas menafsir menjadi hak mutlak Tuhan. Ketika manusia melakukan hal ini maka apa yang dikhawatirkan oleh Khaled akan terjadi.

Yaitu, maraknya otoritarianisme yang sangat parah dalam diskursus hukum Islam kontemporer. Epistemologi dan premis-premis normatif yang mengarahkan pada perkembangan dan pengembanan tradisi hukum Islam klasik kini sudah tidak ada lagi. Sementara, tradisi hukum Islam klasik menjunjung premis-premis pembentukan hukum yang antiotoritarianisme, premis-premis serupa tidak lagi diberlakukan dalam tradisi hukum Islam belakangan ini.

Otoritarianisme hanya akan meninggalkan kegelisahan bagi umat Islam. Sebab, setiap orang merasa paling benar dengan apa yang dipahami dari teks Alquran. Pada gilirannya, umat akan saling klaim dan bunuh atas nama Tuhan.

Otoritarianisme mengungkung orang lain atas kuasa pendapat diri sendiri. Mereka menganggap tafsirnya paling benar. Mereka tak memedulikan pendapat orang lain. Pendapatnyalah yang paling benar.

Keadilan dan kedamaian

Padahal, menurut Mohammad Abu-Nimer dalam Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam, Teori dan Praktik (2010), seruan utama agama Islam adalah untuk mewujudkan realitas sosial yang adil. Karena itu, tindakan atau pernyataan Muslim apa pun harus dinilai dari kontribusi potensialnya terhadap pencapaian tujuan tersebut.

Dalam Islam, bertindak karena Tuhan sama dengan mengupayakan adl, keadilan. Islam menyerukan hal tersebut kepada yang kuat maupun yang lemah. Adalah kewajiban Muslim untuk mengupayakan keadilan dan melawan penindasan di tingkat interpersonal maupun struktural.

Beberapa ayat Alquran mengungkapkan dengan tegas pandangan ini. "Allah memerintahkan keadilan, kebajikan, dan kedermaan pada kerabat dan keluarga, dan Dia melarang perbuatan keji, kecurangan, dan kedurhakaan. Dia memerintahkanmu agar kamu mendapatkan peringatan." (QS an-Nahl [16]: 90).

"Wahai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan dengan teguh, sebagai saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri atau orang tuamu atau kaum kerabatmu, miskin atau kaya;: karena Allah Maha Melindungi keduanya. Maka janganlah mengikuti hawa nafsu agar kalian tidak menyimpang dari berbuat adil, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu perbuat." (QS an-Nisa [4]: 135).

"Hai orang-orang yang beriman, tegakkanlah karena Allah, sebagai saksi yang adil, dan janganlah kebencianmu terhadap seseorang menyimpangkanmu dari kebenaran dan menjauhkanmu dari keadilan. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat pada takwa dan bertakwalah kepada Allah karena Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan." (QS al-Maidah [5]: 8).

Lebih lanjut, Abu-Nimer menyatakan, kedamaian dalam Islam dipahami sebagai suatu keadaan harmonis secara fisik, mental, spiritual, dan sosial-berdamai dengan Tuhan lewat ketaatan, dan berdamai dengan sesama manusia dengan menghindari pelanggaran. Islam mewajibkan para pengikutnya untuk mencari kedamaian di segala bidang kehidupan. Tujuan utama Alquran bagi kaum Muslim adalah untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan damai.

Bom bunuh diri dan serangan terhadap orang lain atas nama jihad hanya akan semakin menyudutkan umat Islam dalam percaturan dunia. Umat Islam akan selalu dipandang negatif. Menurut Keith Ward (2009), teroris telah menghancuran nama baik Islam. Padahal, Islam sangat berkomitmen pada kemerdekaan, keadilan, persamaan hak, dan perdamaian dunia.

Peristiwa teror bom sudah saatnya diakhiri. Hal ini karena teror bom hanya menimbulkan keresahan dan kecemasan. Jihad dengan bom juga tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jihad terbaik adalah perkataan yang benar (haq) kepada penguasa yang menindas."

Pada akhirnya, teroris bukanlah seorang pejuang Islam (jihadis). Mereka adalah pembajak nama Islam yang mulia. Mereka adalah perusak muruah Islam demi kepentingan diri sendiri dan kelompok. Wallahu a'lam. n

Namun itu bukan berarti kita menganggap kasus ini sepele. Terorisme adalah kejahatan serius. Tujuannya bukan sekadar membunuhi korbannya, tapi menciptakan rasa takut. Jika kita kalah dan takut, peneror mencapai tujuannya.

Kita berharap aparat berwenang bisa mengusut kasus ini secara tuntas. Selama ini banyak kasus terorisme hanya berhenti pada pelaku di lapangan.

Yang berhasil dilumpuhkan polisi hanya operator lapangan. Dan kebanyakan operator di lapangan itu tidak ditangkap dalam kondisi hidup sehingga kita tak pernah dapat informasi komprehensif mengenai apa yang terjadi sebenarnya.

Siapa otak pelaku sebenarnya jarang bisa dimunculkan. Selama dalang di balik peristiwa itu tak berhasil diungkap, maka terorisme tetap saja menjadi ancaman.

Inilah saatnya kita semua bersatu, bergandengan tangan, bahu membahu melawan terorisme. Bukan saatnya kita saling menyalahkan, apalagi menuding kelompok tertentu tanpa dasar atau mengaitkan teror dengan agama tertentu.

Mari bersama kita hadapi teror. Kita tak akan pernah kalah dan kita tak akan pernah takut.

Benni Setiawan

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement