Kamis 06 Aug 2015 16:00 WIB

Islam Global, Islam Nusantara, dan Islam Saya

Red:

Pemberian embel-embel baru di belakang Islam, dari radikal, garis keras, fundamentalis, militan, kiri, kanan, damai, cinta, hingga global, transnasional, dan nusantara akan terus berlangsung. Bukan saja nama baru itu mencerminkan konteks sejarah, sosial, dan budaya di mana Islam sedang berada, berhadapan atau berjuang mempertahankan eksistensinya, pelabelan juga mempunyai dimensi politik yang mencerminkan adanya konflik.

Penamaan Islam Global dan Islam Nusantara pun boleh jadi menceritakan adanya konflik dan hegemonisasi. Yang satu antara Islam dan ‘penguasa dunia’ yang lain dengan negara. Dalam perdebatan the politics of naming yang dikenal dalam ilmu sosial, definisi ditentukan oleh si pembuat definisi, bukan apa yang didefinisikan.

Ketika kita memberi label pada seseorang, saat itu pula kita menghakiminya tanpa proses pengadilan; "To give someone or something a name is to exercise power," tulis Jonathan Herring dalam The Power of Naming.

Nietzsche pun mengetahui itu di dalam On the Genealogy of Morality. Menurut Herring, political control sering kali dijalankan melalui kuasa pemberian label pada seseorang, apakah itu label teroris, disabled (cacat), ignorant (bodoh, kurang berilmu), atau kriminal.

Meskipun sepanjang sejarah Islam selalu bersifat global dan lintas bangsa, penamaan Islam Global dan Islam Transnasional menjadi ‘perlu ada’ di era globalisasi ketika kemajuan teknologi informasi dan transportasi telah mereduksi jarak dan membuat umat Islam makin terhubung satu dengan yang lain,dan Islam juga tampil makin asertif menghadapi hegemoni ‘penguasa dunia’.

Demikian juga dengan Islam Nusantara. Seiring dengan adat revival (kebangkitan adat kembali) dalam penelitian Davidson, Henley, dan Takano, Islam Nusantara dapat dijelaskan sebagai bagian dari fenomena pelokalan dan penguatan kembali nasionalisme melawan derasnya arus globalisasi. Tentu, bukan kebetulan jika fenomena kontradiktif itu terjadi justru di negara-negara bekas jajahan--terutama multietnis.

Di India, misalnya, penamaan kembali beberapa tempat dilakukan untuk menyenangkan masyarakat lokal dan membangkitkan kebanggaan pada budaya India; Bombay telah diubah menjadi Mumbai; Bangalore menjadi Bengaluru. West Bengal yang merupakan kampung halaman berbagai etnis yang tidak semuanya berbahasa--ibu Bengali telah diubah menjadi Paschim Banga sebagai terjemahan kata West Bengal dalam bahasa Bengali. SR Chowdhury berkomentar pada The Financial Times, 2011, penamaan Paschim Banga adalah pertanda berkuasanya etnis Bengali yang memarginalisasi etnis lain.

Dengan alasan yang kurang lebih sama, perdebatan di media sosial baru-baru ini cukup seru terhadap pembacaan Alquran dengan langgam Jawa. Yang berkeberatan tentu mereka yang bukan orang Jawa.

Mengingat hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang paling pribadi di antara hubungan apa pun juga, penulis mengajak umat Islam untuk memerdekakan diri dari berbagai kepentingan politik di balik pelabelan Islam dengan berbagai nama. Lalu, menciptakan sendiri definsi Islam yang paling sesuai dengan diri kita masing-masing. Kemudian, sebutlah itu dengan ‘Islam Saya’.

‘Islam Saya’ adalah Islam yang saya pahami dan yang saya jalankan tradisinya. ‘Islam Saya’ adalah Islam yang saya nikmati semua pengalaman spiritualnya. ‘Islam Saya’ adalah jalan yang saya cari kembali ketika saya tersesat dan resah.

‘Islam Saya’ adalah Islam yang memberikan saya identitas; yang menjadikan saya disiplin menjalankan shalat di tengah kesibukan apa pun; yang membuat saya kuat menahan lapar dan dahaga berpuasa; yang membangunkan saya di tengah malam untuk tahajud dan bermunajat; yang membuat saya rela berbagi harta untuk membayar zakat setelah saya mencarinya dengan susah payah; yang membuat saya menabung sedikit demi sedikit agar bisa pergi berhaji ke Tanah Suci; dan yang memberikan makna atas semua pengorbanan itu.

‘Islam Saya’ adalah lentera yang saya bawa ke mana-mana yang menjadi penghias ketika terang dan penerang ketika gelap. ‘Islam Saya’ adalah ‘bahasa’ yang bisa membuka kesadaran saya akan keberadaan-Nya dan ‘jalan mendaki’ yang sedang saya tapaki untuk menuju kepada-Nya. ‘Islam Saya’ adalah sebuah ruang kosmis di mana terdapat kait mengait antara saya dan orang tua, para guru, ulama, dan anak cucu saya kelak dalam sebuah kesatuan yang bermakna dan terhubung kepada-Nya.

Kalau sekiranya ‘Islam Saya’ berbeda dengan Islam tetangga saya, saya tidak akan ambil pusing karena saya sudah punya yang saya perlukan. Kalau ‘Islam Saya’ sama dengan Islam teman saya, saya akan senang berbagi pengalaman dan pengetahuan keislaman dengannya.

Kalau di tengah jalan ‘Islam Saya’ tidak bisa menjawab banyak pertanyaan dan tantangan hidup yang tiba-tiba mengadang, saya akan mencari Islam lain yang bisa menjawab kebutuhan itu. Sambil mensyukuri kekayaan khasanah Islam, saya akan belajar dari  beragam aliran yang dibawa oleh berbagai kelompok, apakah itu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Hidayatullah, para ahlulbait, tarekat para sufi, dan lainnya dengan semangat seorang santri yang sejati.

Yaitu, semangat mencari ilmu dan kebenaran dengan terlebih dulu membersihan hati dari niat sekadar mencari kemasyhuran dan menginginkan kedudukan, sebagaimana pesan Imam al-Ghazali di mukadimah buku Bidayatul Hidayah, "Ketahuilah wahai manusia yang ingin mendapat curahan ilmu. Jika engkau menuntut ilmu guna bersaing, berbangga, mengalahkan teman sejawat, meraih simpati orang, dan mengharap dunia maka sesungguhnya engkau sedang berusaha menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia. Dengan demikian, engkau mengalami kegagalan, perdaganganmu merugi. Tapi, jika niat dan maksudmu dalam menuntut ilmu untuk mendapat hidayah, bukan sekadar mengetahui riwayat, bergembiralah. Sesungguhnya, para malaikat membentangkan sayapnya untukmu saat engkau berjalan dan ikan-ikan di laut memintakan ampunan bagimu ketika engkau berusaha." (Al-Ghazali).

Dan selanjutnya, saya akan membiarkan Allah sendirilah yang akan menunjukkan pada saya apa-apa yang saya cari itu. n

Wardah Alkatiri

PhD Candidate in Sociology di University of Canterbury Selandia Baru

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement