Senin 06 Jul 2015 17:00 WIB

Pasien di Era Internet

Red:

Siapa di antara Anda yang belum pernah mengakses informasi kesehatan melalui internet? Saya kira jawabannya sangat jarang. Setiap kali bertemu pasien di ruang praktik, saya sering dikonfrontasi pasien pada keterangan dari situs atau portal berita penyedia informasi kesehatan.

Sebagai dokter, ini perkembangan menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Menggembirakan karena teknologi internet telah membuka peluang bagi demokratisasi informasi sehingga setiap orang bisa mengakses pengetahuan yang selama ini dimonopoli oleh sedikit saja orang. Internet juga memengaruhi pola interaksi antara pasien (klien) dan dokter sebagai penyedia jasa layanan.

Mengkhawatirkan, karena sebagai dokter yang ingin selalu memperbarui pengetahuan, saya sadar di luar sana banyak beredar informasi tidak tepat, salah, dan bahkan bisa membahayakan pasien. Termasuk informasi melalui jaringan sosial seperti WA (WhatsApp) dan diteruskan oleh orang yang tidak mengetahui benar-salahnya informasi tersebut.

Risiko mengambil keputusan salah karena didasarkan pada informasi yang tidak jelas sangat besar. Apalagi, saat ini diperkirakan ada lebih dari 50 juta orang di planet ini yang mengakses informasi kesehatan secara online, dan lebih dari 70 ribu daring yang menyediakan informasi kesehatan.

Tak semua kanal menyediakan informasi yang bertanggung jawab. Cobalah, misalnya, memasukkan kata kunci "pengobatan kanker payudara", lalu amati informasi di mesin pencari. Bisa dipastikan, lima sumber informasi teratas terkait pengobatan alternatif yang efektivitasnya sangat mungkin belum teruji dengan uji klinis yang terstandardisasi.

Obat herbal atau alternatif tidak "haram". Beberapa pasien saya memakainya sebagai obat penunjang, misalnya, untuk mengatasi efek samping kemoterapi. Tapi, lain soalnya jika obat herbal diiklankan memiliki efektivitas luar biasa padahal belum terbukti melalui uji klinis yang melibatkan subjek penelitian dalam jumlah besar.

Perlu dicatat bahwa kedokteran bukanlah ilmu statis. Contoh, pentingnya suplemen kalsium untuk kelompok lanjut usia yang memang rentan osteoporosis. Dulu kita menganggap hal ini sangat penting. Namun, penelitian terus berkembang hingga ada bukti kuat sekarang pemberian suplemen kalsium bisa membahayakan, terutama untuk laki-laki lanjut usia.

Sebuah penelitian prospektif oleh National Institutes of Health pada 1995-1996 selama 12 tahun di Amerika Serikat yang melibatkan 388.229 perempuan dan laki-laki berusia 50-71 tahun dari beberapa negara bagian menyimpulkan bahwa suplemen kalsium berkorelasi dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular pada laki-laki, meski tidak pada perempuan.

Contoh kedua, berbeda dari pemahaman populer bahwa kopi sebaiknya dihindari oleh wanita yang sedang hamil muda, menyebabkan gangguan irama jantung dan menyulitkan mengontrol hipertensi, para peneliti medis sekarang menyimpulkan, belum cukup data untuk melarang perempuan hamil muda minum kopi karena kekhawatiran bayinya akan lahir dengan berat badan rendah.

Internet telah membawa kita pada era banjir informasi sehingga perlu kehati-hatian. Penelitian pada 1999 oleh Abelhard dan Obst menyebutkan, lebih dari setengah situs informasi kesehatan validitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Cline dan Haynes (2001) menyebutkan, pada 1997 hanya empat dari 41 situs yang menyajikan informasi tata laksana demam pada anak di rumah yang benar-benar dekat dengan panduan medis berdasarkan pada bukti.

Informasi kesehatan di internet dapat diibaratkan kotak pandora, yang mudah dibuka tapi akan membahayakan jika tidak disikapi hati-hati. Sebagai konsumen informasi kesehatan, kemampuan menelaah literatur ilmiah secara kritis, mengidentifikasi kekeliruan yang diidap sebuah penelitian, serta menginterpretasikan dengan benar implikasi dari sebuah laporan penelitian sangat diperlukan.

Dokter atau sarjana kesehatan masyarakat mendapat pendidikan untuk menilai informasi kesehatan, tapi tidak dengan masyarakat umum yang adalah konsumen kesehatan. Akibatnya, pembaca nonmedis cenderung tak melihat ada informasi penting yang hilang dari sebuah artikel atau laporan; tak dapat membedakan mana artikel yang bias dan tidak; tak dapat membedakan klaim yang berbasis bukti (evidence-based) dan mana yang tidak; memahami secara keliru informasi untuk kalangan professional (Cline dan Haynes, 2001).

Akses terhadap informasi juga terhambat justru karena jumlahnya yang terlalu banyak dan tidak teratur. Kesulitan lain oleh konsumen awam informasi kesehatan adalah bahasa yang terlalu teknis atau malah tidak menguasai kata kunci di mesin pencari. Akibatnya ia akan mudah "tersesat" dan justru menemukan informasi berbahaya. Juga, jika pertanyaan kita tidak spesifik, informasi yang diterima tak akan sesuai kebutuhan dan bahkan berisiko.

Dalam ilmu kedokteran, sebuah penelitian dianggap valid antara lain jika melibatkan banyak subjek (di atas 5.000 orang). Jika bukti efektivitas hanya pada satu-dua orang, itu yang disebut sebagai anecdotal data/evidence.

Ketika dokter mengetahui ada seorang pasien demam berdarah yang oleh keluarganya diberi jus jambu lantas sembuh, itu bukan karena jus jambu, tetapi karena demam berdarah adalah self-limiting disease yang akan sembuh tanpa obat. Demam berdarah pada prinsipnya hanya memerlukan cairan yang bisa diberikan lewat oral (minum) atau kalau trombosit rendah ya harus lewat infus.

Apakah pasien tidak berhak mencari informasi kesehatannya sendiri? Tentu saja tidak begitu. Konsumen sebaiknya tidak berhenti menambah pengetahuan karena itu akan membantunya berkomunikasi dengan dokter.

Sebaliknya, dari pihak dokter, pasien yang "canggih" adalah sparring partner yang menguntungkan karena akan memacu dokter terus belajar dan memperbarui pengetahuan dan metode pengobatan terbaru dengan bukti ilmiah termutakhir.

Namun, sangat penting diperhatikan adalah komunikasi dengan dokter. Hasil browsing sebaiknya tetap di-print dan tetap dikomunikasikan dengan dokter Anda karena dokter bisa menjelaskan lebih baik. Bersama Anda, dokter akan mengambil keputusan terbaik menyangkut kondisi yang Anda atau keluarga alami. Selamat berselancar di dunia maya, mencari dan mendapatkan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Zubairi Djoerban

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement