Jumat 24 Oct 2014 13:30 WIB

Hijrah dan Kepemimpinan

Red:

Hijrah merupakan peristiwa bersejarah dalam dinamika peradaban Islam. Hijrah tidak hanya menjadi titik balik kemenangan dan kemajuan dakwah Islam, melainkan juga modal sosial politik untuk membangun peradaban Islam yang mendunia dan mulia.

Nabi SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah bukan karena mendapat perintah Ilahi melalui Jibril AS. Hijrah beliau ke Madinah sarat pertimbangan sosial politik. Beliau sangat cerdas membaca konstelasi sosial politik yang melingkupi dan mengancam masa depan Islam dan umatnya. Karena itu, banyak pelajaran kepemimpinan profetik yang dapat diambil dari peristiwa hijrah Nabi SAW.

Ketika umat Islam di Makkah dihadapkan pada berbagai kesulitan, pemboikotan, dan permusuhan dari Abu Jahal, Abu Lahab, dan komplotannya, Nabi SAW mencoba membangun komunikasi politik dengan raja Habsyi sambil mencari basis legitimasi sosial dari luar Kota Makkah. Mula-mula beliau menginstruksikan Ja’far bin Abi Thalib dan sahabat lainnya melakukan "uji coba" hijrah ke Habsyi dengan pertimbangan kesamaan teologis dengan Raja Najasyi yang Nasrani. Namun, hijrah ini mendapat intimidasi dari musuh-musuh Islam sehingga umat Islam harus kembali ke Makkah.

Nabi SAW tidak pernah putus harapan. Beliau mencoba mencari dukungan sosial dengan mendakwahi masyarakat Thaif. Namun, langkah beliau terhenti karena mereka tidak merespons dengan baik. Bahkan, beliau sempat dilempari batu oleh penduduk setempat.

Tradisi "haji" tahunan ke Makkah, sebagai kota pertemuan lintas suku bangsa dan lintas sosial budaya saat itu merupakan peluang dan harapan baru bagi dakwah Nabi SAW. Secara diam-diam Nabi SAW proaktif "mendekati dan melobi" pimpinan kafilah (rombongan) haji dari Yatsrib. Usaha beliau memengaruhi mereka sangat efektif sehingga sukses mewujudkan baiat (janji setia) dua kali antara beliau dan tokoh pemuka Yatsrib untuk mendukung dakwah Islam.

Momentum tersebut tidak disia-siakan oleh Nabi SAW. Sebagai tindak lanjut dari baiat I, beliau mengutus seorang dai muda yang energik dan visioner, Mush’ab bin Umair, ke Madinah untuk mendidik mereka tentang Islam. Hasilnya, pada baiat Aqabah (baiat II) jumlah umat Islam asal Yatsrib berkembang pesat hingga lebih dari 80 mualaf. Jadi, basis legitimasi sosial politik Madinah yang dirintis Nabi inilah salah satu pertimbangan politik beliau berhijrah ke Yatsrib.

Kehadiran Nabi SAW di Yatsrib juga sangat dibutuhkan karena dua suku utama, Aus dan Khadraj, terlibat konflik berkepanjangan. Mereka memerlukan kehadiran seorang pemimpin yang adil memediasi konflik. Setelah hijrah dan tiba di Yatsrib, beliau mampu memerankan diri sebagai komunikator politik yang ulung dalam mendamaikan, menyatukan, merukunkan, dan memberdayakan segenap komponen masyarakat Madinah: kaum Muhajiran, Anshar, penganut Yahudi, Nasrani, dan lainnya.

Dengan demikian, etos hijrah adalah etos perjuangan dan perubahan tanpa pernah putus harapan. Hijrah telah memberikan energi sosial spiritual untuk mengembangkan komunikasi politik yang efektif memajukan Islam. Etos hijrah menginspirasi kita untuk menampilkan kepemimpinan profetik yang membebaskan umat dari kekufuran menuju cahaya iman dan Islam.

Peristiwa hijrah Nabi SAW telah memberikan keteladanan moral dan kepemimpinan profetik yang unik. Pertama, Nabi SAW selalu menampilkan wajah Islam yang sangat damai, penuh empati, harmoni, dan toleran. Beliau mengedepankan maaf daripada membalaskan dendam atau kemarahan akibat dimusuhi kafir Quraisy.

Kedua, jalan kekerasan bukan solusi Nabi SAW memecahkan persoalan. Nabi SAW memilih jalan damai dan pendekatan simpatik-kemanusiaan dengan menolong dan memaafkan musuh-musuh Islam karena ini berdampak positif bagi perubahan citra Islam di mata orang-orang yang tidak menyukainya. 

Ketiga, kepemimpinan profetik yang ditampilkan Nabi SAW ditunjukkan dengan menghargai perbedaan, termasuk kepada orang yang sangat dibenci karena berbeda etnis, agama, atau ideologi. Dalam hadis yang diriwayatkan Jabir RA bahwa ada jenazah yang diusung melewati Rasulullah SAW kemudian beliau berdiri (untuk memberi hormat kepadanya) dan kami pun (ikut) berdiri.

Keempat, kepemimpinan profetik Nabi SAW selalu berusaha islah, merangkul banyak pihak, bukan memukul, melalui berbagai pendekatan dan komunikasi efektif. Ketika terjadi fathu Makkah, orang-orang kafir Quraisy berprasangka bahwa Nabi SAW akan "melampiaskan dendamnya" dengan membunuh atau mengusir mereka dari Makkah.

Namun, pada saat itu, Nabi SAW dengan komunikasi yang santun melakukan "pengampunan massal". Beliau menyatakan, "Pergilah kalian semua, kalian semua bebas dan dimaafkan." (idzhabu, fa antum al-thulaqa’). "Dinuna dinul al-marhmah" (agama kami adalah agama kasih sayang).

Kepemimpinan Nabi SAW tidak hanya memberi pesan moral kepada para pemuka kafir Quraisy bahwa Muhammad SAW yang selama ini dimusuhi itu seorang yang rendah hati, pemaaf, penolong, dan berhati mulia, melainkan juga menjadikan lawan menjadi kawan. Karena, saat pembebasan Kota Makkah (fathu Makkah), Suraqah termasuk yang menyambut kehadiran Nabi SAW untuk menyatakan diri masuk Islam dan menjadi pengikut setia beliau.

Walhasil, peristiwa hijrah Nabi SAW menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan profetik dalam memimpin umat dan bangsa. Kepemimpinan profetik sejatinya kepemimpinan penuh keteladanan (uswah hasanah) yang mencerdaskan bukan membodohi, kepemimpinan yang tiada henti mendidik rakyat bukan menghardik, berempati bukan bersikap antipati, menyentuh hati bukan menyakiti dan memusuhi, memberdayakan bukan mengeksploitasi. Kepemimpinan profetik menghendaki sang pemimpin mau mendengar suara dan hati nurani rakyat, gemar bersyukur kepada Allah, tidak hobi berpesta pora atas nama rakyat, tapi terdepan dalam memberi teladan kebaikan, bukan mengobral pencitraan. Wallahu a’lam bish-shawab! n

Muhbib Abdul Wahab

Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement