Jumat 24 Apr 2015 14:00 WIB

KONFERENSI ASIA-AFRIKA 2015- Alternatif IMF Harus Bagus

Red:

JAKARTA -- Sikap kritis Presiden Joko Widodo terhadap lembaga keuangan internasional harus menguntungkan Indonesia. Direktur Indef Enny Sri Hartati menyatakan, itu sebuah keputusan yang baik. Asalkan, pada implementasinya memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Dalam pembukaan Konferensi Asia-Afrika, Rabu (22/4), Presiden  menegaskan, penyelesaian masalah ekonomi mestinya hanya dimonopoli Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Menurut dia, pandangan yang mengatakan hanya tiga institusi itulah yang bisa menyelesaikan persoalan ekonomi, merupakan pandangan usang dan harus dibuang.

Pada hari yang sama, Presiden Cina Xi Jinping mengemukakan inisiatifnya. Terutama, mengenai pembentukan Bank Pembangunan Infrastruktur dan Investasi Asia (AIIB) yang Xi nilai sebagai salah satu bentuk komitmen Cina terhadap kemajuan yang lebih adil dan inklusif. Ia meyakini, AIIB membantu mencapai pertumbuhan merata di Asia.

Menurut Enny, mendukung atau tidak keberadaan AIIB sebagai alternatif Bank Dunia, IMF, maupun ADB, yang terpenting adalah berapa besar manfaatnya untuk kepentingan dalam negeri Indonesia.

Ia menilai, pembentukan AIIB tak masalah selama skema dan filosofinya saling menguntungkan dengan tidak adanya intervensi, tidak lagi didikte, dan tidak ada eksploitasi. "Namun, kalau nantinya sama dengan IMF dan Bank Dunia, buat apa," katanya, Kamis (23/4).

Karena itu, Enny menekankan, seharusnya dari awal sudah dipastikan skema-skema kerja sama yang akan dikembangkan mampu menguntungkan semua pihak, jangan sampai hanya berganti baju saja dan tidak berikan manfaat bagi Indonesia.

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, lanjutnya, selama ini hanya menjadi objek semata oleh Bank Dunia, IMF, maupun ADB. Adanya  AIIB tentu memberikan suatu alternatif baru, tapi jangan sampai hanya didominasi negara maju.

Saat keberadaan negara maju menonjol, biasanya aspek kesetaraan dan keadilan untuk negara berkembang hampir tidak ada. "Jangan keluar dari mulut buaya, kemudian masuk ke mulut harimau," kata Enny menegaskan.

Ia mengatakan, sebagai negara merdeka sudah seharusnya Indonesia berdaulat secara ekonomi. Ini berarti, kerja sama yang terjalin mestinya tak menimbulkan ketergantungan. Ia mencontohkan, saat mendapat utang dari IMF, bukan berarti harus bergantung pada mereka.

Persoalannya, sekarang ini utang-utang tersebut telah menyandera Indonesia. Menurut Direktur Kajian Bisnis dan Ekonomi pada Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Kusfiardi, pernyataan Presiden Jokowi masih perlu alasan yang riil dan logis.

Jadi, tidak berhenti hanya sebagai retorika yang disampaikannya di panggung pertemuan internasional. "Semua orang juga tahu kalau rezim Bank Dunia, ADB, IMF, sudah usang," kata Kusfiardi memaparkan.

Meski demikian, pemerintahan Jokowi, jelas dia, masih memakai rujukan pernyataan dan penilaian, antara lain dari IMF, untuk mengukur kinerja ekonomi nasional. Karena itu, ia menginginkan Presiden Jokowi berani keluar dari bayang-bayang IMF seutuhnya.

Misalnya, dengan menolak kebijakan IMF yang masih mengikat Indonesia hingga kini dan tak mau membayar utang yang dibuat pemerintah sebelumnya.

Kusfiardi meragukan pula kedekatan dengan kekuatan moneter baru, semisal AIIB, memperkuat posisi Indonesia. "Sekarang lebih banyak mana, barang Indonesia masuk ke Cina atau barang Cina masuk ke Indonesia?" katanya.

Pakar ekonomi yang juga mantan staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Firmanzah, menyatakan, memang seharusnya rekomendasi tiga institusi keuangan itu tak ditelan mentah-mentah.

Dia menyebutkan, pada dasarnya lembaga keuangan dunia sering melakukan studi komparatif di berbagai negara. Sehingga, ketika mereka ajukan rekomendasi di Indonesia, maka belum tentu bisa sesuai dengan iklim ekonomi dalam negeri.

"Saya tidak bilang bahwa rekomendasi dari mereka tidak berguna sama sekali. Ada hal-hal positif dari mereka, tapi kalau kita telan mentah-mentah ya salah. Karena itu kan perspektif atau obat dari mereka sifatnya generik ya," kata Firmanzah.

Terkait AAIB, ia menyatakan, sepanjang ada manfaatnya, tak masalah  Indonesia mendukung langkah Cina. Ia mengingatkan juga, agar Indonesia tetap bebas aktif. Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan lembaga keuangan yang condong ke AS atau Cina.

Ia menuturkan, Indonesia tidak boleh lupa atas apa yang telah dilakukan IMF saat krisis keuangan pada 1997. Bank Dunia dan IMF hubungannya juga baik. Pada 1997 dan 1998 mereka pernah membantu Indonesia meski konsekuensinya berat.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, pidato Presiden soal Bank Dunia, IMF, dan IDB sangat keras dan tegas. Menurutnya, belum pernah ada presiden Indonesia yang mengeluarkan pidato seperti itu.

Meski demikian, ia mendesak Presiden Jokowi konsisten. "Artinya Pak Jokowi bilang seperti itu tapi pinjam atau utang luar negeri dari Bank Dunia, IMF, atau ADB. Jangan sampai itu terjadi," katanya. n c14/c84/ c85/c87 ed: ferry kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement