Jumat 12 Aug 2016 18:00 WIB

Menyoal Dana Talangan Haji

Red:

Menunaikan ibadah haji adalah kewajiban bagi mereka yang mampu. Syarat istita'ah (mampu) membuat tidak semua orang bisa menuju Baitullah. Kemampuan tersebut, menurut Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, termasuk memiliki bekal, ada kendaraan yang layak untuk berhaji. Selain itu, mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk diri dan keluarganya hingga dia kembali haji.

Kebutuhan atas meteri yang besar dan keinginan kuat untuk mendaftar haji, membuat seseorang rela meminjam uang untuk biaya haji. Bahkan, bank-bank menggelontorkan dana talangan haji untuk membantu mereka, yang ingin segera berangkat ke Tanah Suci. Lalu, apakah haji dengan menggunakan dana talangan dari bank diperbolehkan?

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) pernah mengeluarkan fatwa soal penggunaan dana talangan oleh lembaga keuangan. Namun, DSN MUI membatasi fatwa tersebut hanya pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Artinya, lingkup fatwanya hanya diperuntukkan bagi LKS yang bebas praktik riba.

Dalam fatwanya, secara umum LKS bisa melakukan talangan pembayaran ibadah haji dengan beberapa akad khusus. Pertama, akad yang dilakukan menggunakan prinsip al-Qardh. Prinsip al-Qardh sejatinya adalah utang atau pinjaman kepada nasabah (muqtaridh). Nasabah juga wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima, pada waktu yang telah disepakati. Artinya, nasabah memiliki kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.

Dalam praktik al-Qardh, nasabah bisa dibebankan biaya administrasi dan menyerahkan jaminan kepada LKS jika memang diperlukan. Nasabah pun bisa memberikan sumbangan dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.

Selain menggunakan al-Qardh, dana talangan haji oleh LKS juga bisa menggunakan prinsip al-ijarah. Yakni, LKS memperoleh imbalan jasa (ujrah). Akad ijarah memungkinkan pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu, dengan pembayaran sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan.

Imbalan jasa yang ditarik oleh LKS dalam talangan haji juga harus memiliki ketentuan. Yang utama adalah besar imbalan jasa tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS. Jadi, misal LKS menetapkan jasa sebesar 10 persen dari jumlah pinjaman, hal ini yang dilarang. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS juga tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga membolehkan dana talangan untuk menunaikan ibadah haji. Asal halal, haji yang dilakukan dengan harta demikian kalau sesuai dengan agama, sah hukumnya, dan hajinya pun dapat saja mencapai haji mabrur. Meski begitu, ada syarat atau catatan yang harus diperhatikan, yakni pinjaman atau utang untuk naik haji itu  bukan takaluf.

Takaluf artinya mengada-ada secara tidak semestinya. Yakni, meminjam uang untuk naik haji kepada orang lain, tetapi tak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan sumber untuk mengembalikan pinjaman itu. Sedangkan, bagi orang yang mempunyai harta (benda) dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman utang, meminjam uang untuk berhaji tidak menjadi masalah.

Misalnya, seseorang yang sudah berniat haji, tetapi pada saat pelunasan Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH), barang yang akan dijual untuk biaya haji belum laku. Kemudian, ia pinjam atau berutang kepada saudara atau temannya. Sesudah pulang dari haji barang itu baru laku dan dikembalikan pinjaman tersebut.  Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, sebaiknya orang yang berangkat haji itu tak memiliki tanggungan apa-apa.

Fatwa yang sama juga telah ditetapkan para ulama NU dalam Muktamar ke-28 di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, pada 25-28 November 1989. Dalam fatwanya, ulama NU bersepakat bahwa mengambil kredit tabungan dengan jaminan dan angsuran dari gaji untuk membiayai ibadah haji adalah sah.

Sebagai dasar hukumnya, para ulama NU mengambil dalil dari al-Syarqawi, Juz I, halaman 460, ''Orang yang tidak mampu, maka ia tidak wajib haji, akan tetapi jika ia melaksanakannya, maka hajinya sah.''

Dalil lainnya yang digunakan sebagai dasar hukum adalah Nihayatul Muhtaj, Juz III, halaman 223, ''Sah haji orang fakir dan semua yang tidak mampu selama ia termasuk orang merdeka dan mukallaf (Muslim, berakal dan balig), sebagaimana sah orang sakit yang memaksakan diri untuk melaksanakan shalat Jumat.''

Terkait menunaikan haji dengan uang pinjaman, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengungkapkan, haji dengan uang dari utangan tidak merusak syahnya ibadah haji. Apalagi, bila di balik utang itu ada tujuan yang mulia, yaitu menemani orang tua, atau wanita yang tidak memiliki mahram.

 

Seseorang, tutur Syekh al-Utsaimin,  tidak wajib menunaikan ibadah haji jika ia sedang menanggung utang, tapi tidak  menggugurkan syarat sahnya. Sebagian ulama berpandangan, jangan berutang untuk menunaikan ibadah haji, karena ibadah haji dalam kondisi seperti itu hukumnya tidak wajib.

Dengan kemurahan rahmat Allah SWT, seseorang  hendaknya tidak memaksakan diri dengan berutang, yang ia sendiri tidak tahu kapan dapat melunasinya, bahkan barangkali ia mati dan belum sempat menunaikan utangnya. Lalu, jika begitu, ia menanggung beban utang selama-lamanya. n ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement