Kebudayaan Islam memperkenalkan pada India beraneka rancang bangunan, termasuk mausoleum. Bangunan yang umumnya berstruktur oktagonal ini digunakan sebagai makam orang-orang penting.
Praktik pembangunan mausoleum menyebar di era Dinasti Seljuk pada abad 11-12 M. Selama abad 16, pembangunan mausoleum terutama di wilayah Dinasti Safawiyah di Iran dan Dinasti Mughal di India makin memperlihatkan detail dan paduan dengan taman, air mancur serta padang bunga untuk menampilkan pemandangan paling memesona.
Improvisasi semacam ini menimbulkan kecaman dari sebagian umat Islam pada masa itu. Sebab, dikhawatirkan dengan membangun pemakaman yang megah akan terjadi penyimpangan, misalnya menjadikan makam sebagai tempat ibadah atau pemujaan. Islam melarang bentuk pemujaan kepada apa pun selain Allah SWT serta apa pun yang menjadi perantara ke arah itu.
Para akademisi dan sejarawan sepakat, era keemasan arsitektur di India terjadi pada era Dinasti Mughal terutama di bawah kepemimpinan tiga generasi, yakni Akbar (1542 - 1605), Jahangir (1605-1627) dan Shah Jahan (1628-1658).
Ketiga raja tersebut mendorong pendirian bangunan-bangunan indah dan berhasil mengelola stabilitas keamanan di era masing-masing. Misalnya, Raja Akbar yang membangun sekolah melukis. Bersama anaknya, Raja Akbar menggambar desain dari gaya leluhur mereka, Timurid dan Persia.
Terobosan utama Raja Akbar adalah pendirian sebuah kota baru, Faatehpur Sikri yang terletak sekitar 25 mil di sebelah barat Kota Agra pada 1571 M. Kota baru ini penuh dengan bangunan yang menggunakan batu merah. Ia juga membangun Buland Darwaza dan mausoleum Humayun untuk almarhum ayahnya.
Sementara, Raja Jahangir terkenal sangat mencintai desain lansekap dan taman, pun lukisan yang berkaitan dengan tema itu. Di bawah kepemimpinannya, taman-taman bermunculan termasuk Taman Shalimar-Bagh di Kashmir. Jahangir juga membangun mausoleum I'timad ad-Dawlah (Pilar Negara) di Agra untuk ayah mertuanya yang wafat pada 1622.
Mausoleum I'timad ad-Dawlah dilengkapi taman yang indah. Mausoleum ini juga merupakan bangunan pertama yang menggunakan marmer putih sebagai pengganti batu merah yang lazim digunakan pada masa itu.
Langkah Jahangir diikuti putranya, Shah Jahan. Di masa kepemimpinan Shah Jahan, kreativitas seni menemukan momentum, dan puncaknya adalah pembangunan Taj Mahal yang menjadi lambang arsitektur adikarya Dinasti Mughal.
Taj Mahal dibangun Shah Jahan bagi istri kesayangannya, Mumtaz Mahal yang meninggal dunia di usia yang masih cukup muda pada 1631 M. Kabarnya saat Mumtaz Mahal wafat, mata sang raja bengkak karena tak berhenti menangis dan rambutnya memutih dalam beberapa hari karena diliputi kesedihan.
Untuk menenangkan hati raja, para penasihat menyarankan agar membangun mausoleum bagi mendiang istrinya. Shah Jahan setuju. Lalu, dikerahkanlah para arsitek dan seniman terbaik dari berbagai penjuru dunia Islam kala itu untuk membangun Taj Mahal. Setelah 16 tahun dengan mempekerjakan lebih dari 20 ribu orang, Taj Mahal pun selesai dibangun pada 1648 M.
Pemilihan nama bangunan sendiri tak kalah mengesankan, Taj Mahal, yang berarti Istana Mahkota. Nama ini mencerminkan kehebatan arsitektur bangunan ini yang didedikasikan untuk sang permaisuri, Mumtaz.
Sejumlah ahli arsitektur menarik garis merah antara Taj Mahal dan mausoleum Humayun yang dibangun Raja Akbar bagi mendiang ayahnya, Sayid Muhammed. Mereka mengatakan, Taj Mahal merupakan pengembangan dari mausoleum Humayun. Hal ini karena banyak kesamaan elemen arsitektur pada dua mausoleum ini.
Kesamaan pertama, kedua bangunan memiliki lantai yang lebih tinggi dari permukaan tanah sebagai analog singgasan. Kompleks bangunan dilengkapi empat taman simetris dengan dua kanal air berair mancur yang sisi-sisinya ditanami pohon. Kanal-kanal air ini berpusat pada sebuah kolam persegi di tengah taman. Empat taman di sisi kanal-kanal air ditanami tumbuhan berbunga yang akan membentuk hamparan bunga saat musimnya.
Penataan geometris ini tidak diragukan terpengaruh gaya Persia, seperti yang banyak ditemukan pada taman-taman Dinasti Safawiyah. Namun, berbeda dengan bangunan sebelumnya yang menempatkan bangunan di tengah taman, Taj Mahal sengaja dibangun megah di sisi utara dan menghadap ke Sungai Jumna sehingga tercipta efek visual marmer berkilau.
Secara keseluruhan, karakter Taj Mahal menunjukkan integrasi elemen arsitektur Islam Asia. Taj Mahal menghadirkan Iran dengan bangunan oktagonal, iwan, dan pistaq. Sedangkan, aura India antara lain tampak pada kubah yang menggelembung, dan pengaruh Asia Tengah terlihat pada empat menara silindrisnya.
Di sisi dekorasi, Taj Mahal menampilkan tiga elemen dekoratif utama dunia Islam, yakni kaligrafi, geometri, dan hiasan berbentul floral. Pilihan dekorasi ini menjadi simbol kedamaian, cinta, dan surga.
Taj Mahal tak berdiri sendiri. Di bagian barat terdapat masjid dan di timur terhampar ruang tamu. Masjid berbentuk rektangular itu memiliki tiga kubah dengan empat menara.
Elemen terakhir dari kompleks Taj Mahal adalah gerbang. Palang gerbang terbuat dari batu-batu merah dan terletak di selatan kompleks. Begitu gerbang dibuka, pengunjung bisa langsung menatap hamparan taman.
Gambaran surga
Melalui taman luas di hadapan Sungai Jumna, keseimbangan proporsi yang memanjakan panca indera sehingga muncul kesan damai, serta dekorasi nan memukau merupakan elemen yang coba dihadirkan untuk menampilkan gambaran surga sebagaimana diterangkan dalam Alquran dan Hadis. Keelokan dan makna arsitekturnya yang mendalam, menjadikan Taj Mahal sebagai sumber inspirasi bagi bangunan-bangunan penting di Eropa, salah satunya Royal Pavilion di Brighton, Inggris.
Keagungan Taj Mahal pun tak hanya terletak pada material penyusunnya atau pemandangan yang dibentuknya, tapi juga simbol-simbol lain yang menurut para ahli disebut arsitektur kisah cinta. Arsitektur ini mencerminkan hubungan kasih yang terjaga antara Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Kisah keduanya konon mengalahkan kisah Laila dan Majnun serta Romeo dan Juliet.
Mausoleum ini juga menunjukkan cinta mendalam seorang raja kepada permaisurinya. Sangatlah picik bila hal macam ini diabaikan oleh mereka di Barat yang menuding Islam dan Muslim memperlakukan wanita dengan buruk.
Ekspresi cinta Shah Jahan kepada istrinya tidak bertentangan dengan nilai Islam. Ajaran Islam mengakui dan menguatkan ikatan kasih sayang suami istri. Cinta semacam ini merupakan hasil binaan Alquran yang kemudian terwujud dalam hubungan alami antara pria dan wanita yang dinikahinya.
Alquran bahkan, menyebut suami dan istri adalah pakaian bagi yang lain. Dan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT adalah ikatan kasih sayang antara suami istri. Hadis Rasulullah pun menyebut, lelaki yang paling mulia adalah yang paling baik kepada istri dan keluarganya. n ed: wachidah handasah