Ahad 04 Sep 2016 16:00 WIB

Saddam Husein Inginkan Palestina Merdeka

Red:

Agresi militer Amerika Serikat (AS) ke Irak pada 2003, menyisakan beragam masalah yang tak jelas ujungnya hingga sekarang. Pertikaian mazhab, fanatisme kelompok, dan meningkatnya frekuensi radikalisme di negara berjuluk Negeri Seribu Satu Malam itu.

Padahal, menurut guru besar Universitas Islam Internasional, Amman, Yordania, Syekh Abd al-Malik Abd ar-Rahman as-Sa'di, sebelum Agresi AS 2003, semua entitas mazhab yang berbeda di Irak hidup berdampingan. Tak ada perpecahaan antara Sunni dan Syiah, atau antara Kurdi dan Arab, Kristen dan Islam di akar rumput.

Sebatas apa yang saya ketahui, semuanya baik-baik saja, katanya. Dalam perbincangan khusus bersama wartawan Republika, Nashih Nashrullah, tokoh yang lahir dan tumbuh dewasa di Irak itu, menggambarkan pula tentang testimoninya terhadap sosok almarhum Saddam Husein.

Dia menegaskan, AS dan sekutunya berkonspirasi menggulingkan Saddam lantaran pada masa-masa akhir hidupnya, berkomitmen dan berkeinginan kuat memerdekakan Palestina dari cengkeraman Zionis Israel.

Saddam setelah 1990, memang banyak perubahan dalam dirinya. Komitmennya terhadap dunia Islam sangat kuat, ujarnya. Berikut petikan perbincangan dengan sosok yang ditemui di sela-sela Konferensi Internasional Bela Negara Ulama Tarekat yang terselenggara atas kerja sama Jam'iyyah Ahl Thariqat al-Mu'tabarah Nahdlatul Ulama (Jatman NU) dan Kementerian Pertahanan beberapa waktu lalu: 

Ceritakan sekilas mengapa Anda memilih meninggalkan Irak dan menetap di Yordania?

Saya lahir dan dibesarkan di Irak. Keluarga besar dan kakek moyang saya di sana. Namun, karena kondisi politik yang tidak memungkinkan, desakan dari partai penguasa ketika itu, Partai Ba'ts agar saya keluar dari Irak begitu kuat. Saya akhirnya hijrah ke Yordania jauh sebelum Agresi AS 2003.

 Tekanan tersebut bukan muncul dari Saddam Hussein, tetapi justru datang dari pejabat teras di partai itu. Hubungan saya dan Saddam baik, tak ada masalah. Ketika Agresi AS ke Irak, mereka sempat menahan beberapa putraku yang masih bertahan di Irak, meski akhirnya dibebaskan. Dan, lebih dari 16 tahun, saya berdomisili di Yordania sekarang.

Sejauh manakah Anda mengenal sosok almarhum Saddam Husein?

Saya memang tak memiliki hubungan khusus dengan Saddam. Namun, beliau mengenal saya. Saya juga tak punya keterikatan struktural apa pun dengan almarhum, baik di pemerintahan maupun di politik. Saya hanya sekali bertemu dengannya, itu pun dalam sebuah konferensi terbuka. Kendati, beliau mengenal saya. Sewaktu saya memutuskan hijrah keluar Irak, beliau menyampaikan keprihatinannya dan menanyakan, apa sebab saya hijrah ke Yordania melalui sejumlah teman.

Saat bertemu dengannya, kala itu pun saya tak berbasa-basi. Saya bicara apa adanya. Saya memberi masukan, apa kekurangan dan kelebihan Saddam empat mata. Misalnya, saya sampaikan bagaimana dampak percampuran laki-laki dan perempuan di perguruan tinggi, dan efek televisi bagi kehidupan masyarakat kelak.

Saddam cukup hormat kepada saya. Beberapa kali ia mendesak saya menduduki posisi penting di pemerintahan, tetapi saya menolak. Saya kembalikan uang dari pesuruh Saddam yang bertujuan agar saya menerima posisi itu. 

Apa satu kesan yang Anda tangkap dari sosok Saddam pada masa akhir hidupnya?

Amerika dan sekutunya, berkonspirasi untuk menggulingkan Saddam. Saya memang tidak terlalu dekat dengan Saddam, tetapi saya selalu tegaskan, saya tak ada hubungan dengan partai dan politik yang ia jalani. Saddam setelah 1990, memang banyak perubahan dalam dirinya. Komitmennya terhadap dunia Islam sangat kuat.

Salah satu yang saya tangkap adalah keinginannya yang keras untuk memerdekakan Palestina. Cita-cita utama pada masa-masa akhir hidupnya bagaimana menyingkrikan penjajahan Zionis Israel dari Tanah Palestina.

Dan yang jelas, Saddam adalah sosok yang tak mau diatur oleh siapa pun, terutama oleh kepentingan AS dan sekutu abadinya, Israel. Inilah yang menjadi alasan mengapa Saddam menjadi target. Hingga sekarang, segala tuduhan yang dialamatkan ke Saddam tidak terbukti, seperti kepemilikan senjata pemusnah massal.  

Bisa Anda ceritakan bagaimana kondisi Irak sebelum Agresi AS pada 2003?

Sebelum Agresi AS 2003, semua entitas mazhab yang berbeda di Irak hidup berdampingan. Tak ada perpecahaan antara Sunni dan Syiah, atau antara Kurdi dan Arab, Kristen dan Islam di akar rumput. Sebatas apa yang saya ketahui, semuanya baik-baik saja. Bahkan, banyak terjadi pernikahan antara pasangan suami dan istri dari Sunni atau Syiah, perdagangan, dan hidup bertetangga dengan damai. Agresi AS, benar-benar telah mengobarkan api perpecahan luar biasa di tengah-tengah kehidupan harmonis kami.

Ambisi politik muncul dan menumbuhkan sentimen sekte masing-masing. Persaingan politik yang diintervensi oleh negara-negara luar, baik dari Barat, atau kubu Iran, membuat suasana damai dan tenteram yang terbangun selama ini, terusik. Sebagai konsekuensi dari pertarungan dan perebutan hegemoni politik itu, tumbuh sentimen sekte dan mazhab.

Dalam pandangan Anda, apa agenda utama AS di balik agresi mereka tersebut?

Sebagian besar penduduk Irak adalah Arab bermazhab Sunni, lebih dari 40 persen, sedangkan 25 persen adalah Kurdi. Sisanya adalah entitas Syiah. Barat, saya rasa tak hanya ingin mencabut akar sejarah peradaban di Irak dengan menghancurkan atau merampas warisan-warisan bersejarah, tetapi lebih dari itu, saya membaca mereka hendak mencabut akar sejarah ideologi Sunni dan membenturkannya dengan entitas lain, seperti Syiah, misalnya. Kekuatan Islam sangat ditakutkan bersatu.

Persatuan Islam, mengancam eksistensi Israel. Dan ingatlah, Saddam, pada akhir usianya berusaha keras mewujudkan kemerdekaan Palestina. Tujuan pembumihangusan Irak adalah melindungi dan mengamankan kepentingan Israel. Kita bisa membaca penolakan keras Saddam dan bangsa Irak, atas Perjanjian Camp David yang sangat menguntungkan Israel.   

Lalu, bagaimana Anda melihat pergerakan ISIS di Irak?

Belum lagi dengan munculnya ISIS. Mencermati pergerakan ISIS di Irak, terbaca dengan jelas apa yang menjadi agenda utama mereka.

 ISIS hendak melemahkan sendi-sendi Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja). Selain menghabisi tokoh ulama, mereka juga menghancurkan situs-situs berharga. Mereka memang gila. Bahkan, aksi mereka juga menarget warga yang menentang mereka, baik Sunni, Syiah, maupun Kurdi.

Menurut Anda, apa faktor dominan yang melatarbelakangi perpecahan umat sekarang?

Tak ragu lagi, perpecahan di internal umat Islam, kita akui banyak faktor penyebabnya, di antara yang paling dominan adalah egoisme dan pragmatisme. Kita cenderung mementingkan kepentingan kelompok masing-masing.

Fanatisme mazhab dan kelompok merupakan faktor yang paling banyak terjadi di tengah masyarakat Arab dan Islam sekarang. Begitu banyak darah tidak bersalah yang telah tumpah, harta dirampas, harga diri yang diinjak, dan ribuan orang yang telah terusir dari rumahnya.

Fanatisme ini mendorong seseorang mengajak dan memaksa orang lain untuk mengikuti dan meyakini mazhab mereka. Semua yang terjadi sekarang di Suriah, Irak, Yaman, Libya, dan kawasan lain di Timur Tengah adalah buah dari fanatisme ini.

Di satu sisi, saat ada kepentingan blok Barat dan Timur, kita benar-benar dipaksa untuk berpihak kepada salah satu kubu. Hal ini semakin mengkristalkan perpecahan sesama kita. Belum lagi, tarik ulur kepentingan Iran di kawasan. Iran juga berkepentingan untuk meluaskan hegemoni mereka.

Fanatisme baik terhadap mazhab, kelompok, dan nasionalisme itulah yang mendorong, mengapa kita, umat Islam begitu mudah dipecah belah.

Sejauh mana Anda melihat pengaruh dari sifat fanatisme itu?

Sifat-sifat itu berpengaruh kepada keretakan umat Islam jika sudah sangat parah dan melewati batasnya. Kendati demikian, padahal harus dicamkan bahwa Islam menghormati ras dan keluarga di batas tertentu. Selama itu tidak di batas berlebihan dan sikap menyombongkan diri atas orang lain.

Islam juga bertujuan agar saling mengenal dan mengetahui perbedaan setiap orang dengan lainnya, tanpa harus bersinggungan dengan keyakinan dan persatuan umat. Perhatikan, bagaimana dalam surah al-Hujurat ayat 13, Allah SWT memerintahkan kita untuk saling bertaaruf. Kita memiliki akar yang sama.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk minimal, menghindari perpecahan itu?

Yang paling mendasar adalah kembali kepada tuntunan Alquran dan sunah. Pertikaian yang muncul di tengah-tengah kita, akan sulit terurai tanpa kita aplikasikan firman Allah SWT yang berbunyi : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Jika pemimpin tidak menjalani perintah ayat di atas, kewajiban ulama dan para dai mendidik generasi selanjutnya agar mencintai Islam. Kita tidak mendukung segala bentuk pemberontakan terhadap pemimpin, karena hal itu akan membawa dampak buruk bagi masyarakat. Memang, kesewenangan pemimpin berdampak buruk bagi masyarakat, tapi hal itu lebih ringan jika dibandingkan darah yang akan tumpah akibat pertikaian antara pendukungnya yang terjadi di masyarakat.

Hal yang palilng utama dan penting adalah mengedepankan akhlak Islam. Jangan sampai perbedaan yang muncul di antara kita, disikapi dengan sikap-sikap antikebersamaan, antipersaudaraan, hingga muncul fenomena-fenomena

takfir atau penyesatan. Kondisi itu tentu akan sangat tidak menguntungkan bagi keutuhan dan persatuan umat Islam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement