Jumat 29 May 2015 18:00 WIB

Mereka Butuh Bimbingan

Red:

Mualaf adalah orang yang dicondongkan hatinya kepada Islam. Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Zakah menyebut mualaf adalah orang yang diikat hatinya untuk mencondongkan mereka kepada Islam.

Ketua Yayasan Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) Ustaz M Zaaf Fadzlan Rabbani al-Garamatan menilai saat ini umat Islam belum serius mengikat hati para mualaf.

Jumlah mualaf di Indonesia terus bertambah. Ustaz Fadzlan memperkirakan jumlahnya ada 4 juta jiwa. Namun, pandangan terhadap mereka tak jarang masih sebelah mata. "Boleh jadi merekalah yang mempertahankan jumlah umat Islam tetap mayoritas," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (26/5).

Ustaz Fadzlan menilai, pembinaan, perhatian, dukungan, dan silaturahim antara mualaf dan umat yang terlebih dulu memeluk Islam tidak berjalan dengan baik. Padahal, jika pembinaan mualaf berjalan intensif, mereka bisa menjadi ujung tombak dakwah. "Mereka bisa menjadi Umar bin Khattab baru," kata ustaz yang aktif di pedalaman Papua ini.

Menurutnya, yang paling dibutuhkan oleh seorang mualaf adalah perhatian dan dukungan umat Islam, bukan berupa materi. Umat Islam harus memberi pencerahan dan pengetahuan Islam secara intensif. "Dan mendorong mereka untuk tumbuh menjadi umat Islam yang tangguh, bahkan lebih berkualitas," katanya.

Ustaz Fadzlan menjelaskan, sejatinya para sahabat Nabi SAW adalah para mualaf. Mereka dididik dengan intens oleh Rasulullah SAW sehingga menjadi pahlawan Islam yang besar.

Kurang perhatiannya umat Islam kepada mualaf dalam skala kecil adalah pembagian dana zakat. Ustaz Fadzlan menilai saat ini zakat hanya fokus pada pengentasan fakir miskin dan anak yatim. Sementara, mualaf yang juga berhak seolah terpinggirkan.

"Padahal, kita perlu memperkuat akidah mereka, meyakinkan ajaran Islam sehingga mereka sadar kalau dia sudah ada di dalam telaga kebaikan," ujarnya. Bagi Ustaz Fadzlan, semua umat Islam berkewajiban menolong saudara yang sudah mengucap dua kalimat syahadat.

Umat Islam harus jadi bagian yang menanggung hajat para mualaf sampai mereka kuat dalam semua hal untuk beragama. "Sehingga, usia jadi mualaf itu hanya satu tahun, setelah itu Islam," katanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan mengatakan, kondisi seseorang yang masuk Islam memang berbeda-beda. "Tergantung motivasinya," kata Kiai Cholil.

Kiai Cholil mengatakan, kalau seorang non-Muslim masuk Islam karena meyakini agama Islam itu baik, kondisi spiritualnya juga akan ikut baik. Akan tetapi, jika ia masuk Islam karena motif lain, setelah masuk Islam kondisi mualaf tersebut akan biasa-biasa saja.

Tidak ada perbedaan hak seorang mualaf dengan umat Islam pada umumnya. Namun, mualaf berhak mendapatkan bagian zakat umat Islam meskipun dia bukan orang miskin. "Kalau dia mau, boleh saja menerima zakat," katanya.

Kiai Cholil menyebut kedudukan mualaf tidak lebih rendah dari umat Islam lainnya. Bahkan, bisa jadi kedudukannya lebih baik daripada orang yang memeluk Islam sejak kecil namun jarang shalat. "Kedudukannya sama, hanya perlu bimbingan untuk melaksanakan Islam secara lebih baik," ungkapnya.

Selain bimbingan shalat dan ibadah lainnya, seorang mualaf juga harus mendapatkan bimbingan secara rutin mengenai tauhid dan akidah. "Yang merupakan energi dia untuk mengamalkan ajaran Islam lainnya," ujarnya menyarankan.

Kiai Cholil mengatakan, pemerintah melalui baitul mal, badan amil zakat, dan lembaga sosial lainnya di bawah pemerintah harus menanggung hajat para mualaf. "Mualaf punya hak dari lembaga-lembaga infak dan sedekah itu," katanya.

Saat ini, kata dia, para mualaf belum mendapatkan bimbingan dan santunan secara maksimal baik dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakat Islam lainnya. Berbeda dengan mualaf yang masuk Islam di tangan para ulama. Mereka secara pribadi mendapatkan beberapa bantuan yang dibutuhkan, baik secara material maupun nonmaterial, seperti ilmu dan lain-lain.

Salah seorang mualaf, Agustinus Sugiarto, mengaku sebenarnya tidak ada perubahan drastis dalam hal ekonomi, sosial, maupun kejiwaannya. Meski keluarga menentang, Sugiarto bisa terus melanjutkan hidup.

"Semuanya biasa-biasa saja," kata pria yang mengucap dua kalimat syahadat Oktober tahun lalu ini.

Namun, dia mengakui, setelah masuk Islam, dirinya lebih tenang dan tenteram. Ia tidak menampik jika lingkungan keluarga dan kerja membuatnya merasa tak nyaman.

Untuk tetap memelihara keyakinan dan kecintaannya terhadap agama Islam, Agustinus memilih hengkang dari perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan itu. "Alhamdulillah saya diterima di perusahaan yang baru ini dan insya Allah saya bisa berkarier di perusahaan ini," katanya.

Menurut Agustinus, yang paling dibutuhkan pertama kali oleh seorang mualaf adalah keyakinan untuk bisa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. "Menjalankan perintahnya seperti shalat lima waktu dan harus yakin saja intinya," katanya.

Meski baru masuk Islam, Agustinus mengatakan dirinya sudah merasakan perhatian dari teman-temannya sesama Muslim. "Misalnya, saya mendapatkan bimbingan dalam masalah shalat dan bimbingan dari ustaz," katanya.

Agus juga mengetahui sebagai mualaf dirinya berhak menerima zakat dari masjid dan lembaga amil zakat. Namun, karena dirinya merasa mampu, ia memutuskan untuk tidak menerimanya. "Saya tidak menerima, tetapi memberikan zakat, insya Allah," ujarnya. n c62 ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement