Selasa 28 Oct 2014 11:00 WIB

Sastra dan Ruang Publik

Red:

Ada sebuah pertanyaan yang sangat menyentuh dari seorang pengamat politik pada acara diskusi sastra, Ahad, 19 Oktober 2014, di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. "Di manakah peran sastra dan sastrawan terhadap ruang publik?" Bukankah sering kita dengar John F Kennedy mengatakan, "Jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya." Tapi, apakah pada kali ini puisi telah meluruskan politik itu sendiri atau jangan-jangan tidak mempunyai pengaruh apa-apa?  

Sejenak kita tinggalkan permasalahan di atas. Mari kita menguji bagaimana sebenarnya sastra berperan dalam persoalan kebangsaan yang saat ini tengah mengalami transisi pemerintahan. Apakah sastra akan menjadi penerang di tengah gulitanya negeri ini? Inilah saatnya sastra berbicara pada ruang publik atas nama kemanusiaan, asketisme, dan kebijaksanaan. Dengan demikian, sastra tidak hanya berdiam diri di tubuh penyairnya dan tidak hanya menjadi ruang lingkup pribadi penyair, tapi turun langsung dalam setiap permasalahan yang tengah menjajah kesucian ruang publik.

Adalah Richard Rorty yang pertama mempunyai gagasan bahwa konsepsi ruang publik tidak melulu harus menjangkarkan pada argumentasi rasional, tapi mulai bergeser pada pijakan argumentasi yang puitis. Karena kesepian, kenelangsaan jiwa, absurditas eksistensi manusia, dan ironi kehidupan hanya dapat dientaskan dengan metafor, narasi-narasi, dan cerita-cerita, bukan semata dengan argumentasi rasional yang menggantung di langit-langit ide. Pertautan nyata antara ruang privat dan ruang publik jelas terlihat karena ruang publik tidak mungkin "ada" jika ruang privat dihilangkan. Terlebih, ketika ruang publik bernapaskan keadilan dan kebijaksanaan sebenarnya terlahir dari derita yang bergumul dalam ruang privat.

Peran sastrawan di dalam ruang publik sangat penting, terutama untuk menyajikan masalah-masalah sosial. Melalui tulisan-tulisan sastrawan, kita diajak untuk melihat derita orang lain. Tentang kemiskinan ataupun penindasan. Dengan hati tergetar melihat orang-orang miskin yang tersingkir dalam perjuangan hidup di kota besar, Rendra dengan rasa simpati menulis dalam sajak "Orang-Orang Miskin": Orang-orang miskin di jalanan/ yang tinggal di dalam selokan/ yang kalah dalam pergulatan/ yang diledek oleh impian/ janganlah mereka ditingalkan.  

Kepiluan hidup yang dialami si miskin, dalam puisinya, Rendra memperkokoh pentingnya sastrawan dalam ruang publik. Impian Richard Rorty terhadap sastrawan dalam ruang publik ialah untuk menggalang solidaritas. Karena, solidaritas adalah dasar yang menjadikan manusia peduli terhadap sesamanya. Aristoteles menyebutnya bahwa hakikat manusia adalah zoon politicon (manusia yang berpolitik). Dalam dimensi ini, politik merujuk pada kata polis dalam bahasa Yunani yang berarti kebersamaan.

Demi mendorong agar sastra memiliki taji dalam ruang publik Richard Rorty mengingatkan, "Karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata dan karena kata-kata adalah buatan manusia maka begitu pula dengan kebenaran."

Namun, permasalahan yang tengah melanda sastra dewasa ini adalah di manakah peran sastra dalam ruang publik? Saya kira pertanyaan pengamat politik di atas bukanlah tanpa alasan. Marilah kita kembali melihat dan membaca ulang kesusastraan pada kali ini. Dapatkah kita menemukan sajak-sajak yang menyuarakan penderitaan rakyat atau yang dengan lantang mengkritik pemerintahan? Apa yang di katakan John F Kennedy, "Jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya" perlu kita kaji ulang jika kita berbicara pada ruang publik, khususnya di negeri ini.

Di sini kita akan mengetahui peran sastra terhadap ruang publik sebenarnya. Jangan-jangan kehawatiran bahwa sastra pada kali ini tidak mempunyai peran apa-apa terhadap ruang publik itu benar adanya. Maka, apa yang bisa ditawarkan penyair untuk pembaca dan ruang publik. Apakah mereka hanya menawarkan sekelumit permasalahan tentang dirinya, kegalauannya, dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-harinya.

Kalau memang demikian, sastra tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sastra telah keluar dari kode etik sebagaimana dulu para sastrawan memperkenalkan sastra kepada kita, baik sastra lisan maupun tulisan. Bukankah nilai-nilai luhur itu sampai saat ini dapat kita temukan di buku-buku kuno, karya-karya pujangga lama, dan pujangga baru. Lalu, apa yang melatarbelakangi sastra pada kali ini sehingga keluar dari nilai-nilai sosial atau tentang kebangsaan. Rendra mengatakan, "Padamu aku bertanya."

*Alunk S Tohank, Mantan Ketua Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Sekarang aktif di Komonitas Bertapa Institute.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement