Senin 30 Jun 2014 12:00 WIB

Efek Buruk Senioritas di Sekolah

Red:

Budaya senioritas di lembaga pendidikan Tanah Air menelan korban jiwa. Berbagai pencegahan dilakukan pemerintah dan pihak sekolah, tapi kekerasan peserta didik mengatasnamakan senioritas kembali terulang.

Dalam sepekan terakhir, dua orang, yakni siswa SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta Arfiand Caesar Al Irhami (16) dan Galih Masrukhi (16) siswa Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Tegal, keduanya meregang nyawa karena kekerasan dari para senior di sekolahnya.

Arfiand meninggal saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler jelajah alam yang mengikutsertakan siswa dengan bimbingan para senior ke Tangkuban Parahu, Selasa (20/6). Dari pemeriksaan visum, tim dokter menyimpulkan korban mengalami kekerasan dan terdapat luka lebam akibat pukulan benda tumpul pada anggota badannya. Polisi menyimpulkan, kekerasan tersebut mengarah kepada senior yang membimbing jelajah alam.

Hal yang sama terjadi kepada Galih. Korban meninggal pada Senin (23/6). Dari hasil visum dokter, korban mendapat kekerasan dan mengalami luka lebam pada bagian ulu hati. Menurut polisi, kekerasan tersebut dilakukan di rumah seniornya dan polisi menetapkan tiga tersangka atas kasus kekerasan tersebut. Kedua kasus di atas ialah secuil dari potret garangnya gaya otoriter senior kepada junior.

Menurut Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Aminudin Ma'ruf, kekerasan atas nama senioritas memasuki fase memprihatinkan. Kekerasan akibat senioritas tidak terbatas pada dunia kampus dan mahasiswa, tetapi menjangkiti dunia pendidikan di jenjang awal. 

Menurut dia, dua kasus tersebut menunjukkan budaya kekerasan senioritas muncul di sekolah menengah, bahkan beberapa kasus terjadi di sekolah dasar.

Ia berpandangan, senioritas bukan budaya warisan, melainkan fenomena ini akibat pengaruh lingkungan dan lemahnya pengawasan. Di sisi lain, aksi kekerasan di sekolah menengah dan dasar bukti kian terkikisnya pendidikan budi pekerti di lembaga pendidikan. "Dulu hanya marak di kampus, sekarang hingga tingkat SD," ungkap Aminudin kepada Republika, Kamis (26/6).

Ia melihat kekerasan senior di sekolah karena lepasnya kontrol pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat terhadap proses pendidikan. Di sisi lain, kata dia, media melalui cerita sinetron memberi contoh adegan senioritas yang menindas junior di sekolah.

Pada saat bersamaan, pendidikan budi pekerti perlahan semakin rendah kualitasnya. Sekolah mengandalkan aspek kognitif yang mengasah kemampuan otak semata. Ia menyontohkan, anak SD kini memikul beban tuntunan pendidikan berlebih.

Kemampuan pendidikan budi pekerti, nilai toleransi tersebut tidak wajib. Ia berharap pihak sekolah mengurangi peran dominan kakak kelas dalam aktivitas ekstrakurikuler sekolah. Pengawasan ketat ini, menurut dia, harus semakin ketat sebab kini sekolah menjelang memasuki masa orientasi siswa baru.

Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Beni Pramula. Beni berharap sekolah yang teledor dalam pengawasan anak didiknya diberikan sanksi. Dengan demikian, di sekolah tidak ada kekerasan, baik karena senioritas atau aktivitas lainnya. "Peran komite sekolah tidak kalah penting dalam hal ini," ujarnya.

Fenomena kekerasan atas nama senioritas di sekolah menengah, menurut Beni, gambaran buruk bahwa sekolah tidak lagi ramah terhadap anak. Karena itu, kata dia, seperti kasus yang terjadi di perguruan tinggi, saatnya pemerintah mengubah sistem kontrol terhadap para senior, khususnya aktivitas yang dicurigai yang berpotensi memunculkan aksi kekerasan kepada junior.

Ia mengungkapkan, sama halnya yang terjadi di kampus. Dampak psikologis berupa trauma dalam diri seorang senior akibat perlakuan serupa oleh seniornya dulu masih tersimpan kuat. Perasaan ingin berontak terhadap perlakukan senior mereka sebelumnya tidak tersampaikan. Akhirnya, mereka melampiaskannya pada anak baru di sekolah mereka.

Karenanya, ia memandang bahwa penyelesaian kekerasan di sekolah harus bertolak dari kepentingan pemulihan anak itu sendiri. Hal yang tidak kalah penting adalah membangun pola komunikasi antara guru dan siswa, antara orang tua dan anak-anak. "Dengan demikian, rantai trauma kekerasan ini dapat diputus," katanya menegaskan.

Bagi pelaku kekerasan, sanksi yang ada tetap berlaku tegas, tapi jangan sampai meninggalkan trauma yang sama untuk si pelaku pad masa depan. Sedangkan, sekolah yang lalai terhadap masalah kekerasan senioritas ini tetap harus mendapatkan sanksi keras dari pemerintah.ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement