Selasa 14 Apr 2015 17:00 WIB

Fitriya Nur Annisa Dewi, Meramu Vaksin Kanker Payudara

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Duduk di kursi dan membaca buku-buku terkait penelitian, atau menghabiskan waktu berjam-jam di dalam laboratorium. Keduanya bukan menjadi gambaran masa depan Fitriya Nur Annisa Dewi. "Awalnya saya hanya ingin menjadi dokter hewan, mengikuti jejak ibu," ungkap Pipit, sapaan akrabnya, ketika ditemui di acara Sorority In Science L'oreal Indonesia.

Tapi, siapa sangka, saat ini namanya menjadi salah satu perempuan peneliti muda Indonesia yang patut diperhitungkan.

Namanya melejit setelah mendapatkan beasiswa penelitian dari For Women In Science L'oreal Indonesia tahun lalu. Pipit menjadi satu dari tiga pemenang beasiswa.

Ketika mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), perempuan kelahiran Jakarta, 25 Juni 1982 ini melihat dunia kedokteran hewan begitu luas. Peran seorang dokter hewan begitu erat kaitannya terhadap biomedis, yakni dalam hal riset kesehatan untuk manusia. Sejak saat itu, ia bertekad menjadi peneliti.

Pipit tertarik dengan tumbuhan dan pangan Indonesia. Menurut dia, kearifan lokal memiliki jalan keluar yang secara tradisi dimiliki masyarakat . Sejak dulu, banyak tanaman yang digunakan untuk pengobatan. Namun, belum semuanya memiliki penjelasan ilmiah. Itulah yang ingin ia buktikan.

Setelah menamatkan kuliah di IPB, Pipit langsung melanjutkan studi. Pipit melanjutkan sekolah di Wake Forest University, North Carolina, Amerika Serikat, selama empat tahun. Dalam kurun waktu tersebut, ia menggabungkan gelar master dan doktornya sekaligus.

Akhir 2013, Pipit kembali ke Tanah Air. Alasannya kembali bukan karena tidak mampu bekerja di luar negeri. Rasa nasionalisme dan cinta Indonesia membuatnya memilih pulang kampung. "Jika harus menjadi peneliti andal, maka harus di bumi tempat kita lahir. Bukan terkenal dan mengabdi di negara asing," kata dia.

Sebuah kontroversi

Perempuan sebagai peneliti? Pipit tersenyum. Ia melihat peneliti perempuan di Indonesia cukup kompeten. Bahkan, mayoritas rekan-rekannya dalam penelitian adalah perempuan. Meski jumlah peneliti wanita memang masih sedikit bila dibandingkan dengan pria, tetapi dari segi intelektual, kaum hawa cukup mampu bersaing, baik secara nasional maupun global.

Bila para peneliti perempuan ini tak terlalu menonjol, Pipit melihat satu hal. Peneliti perempuan kurang mendapat perhatian publik dan media. Hal tersebut membuat persepsi bahwa perempuan tidak kompeten dalam meneliti. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya.

Pipit mengakui, profesi scientist untuk perempuan memang masih mengundang kontroversi di Indonesia. Biasanya, seorang peneliti  melanjutkan studi di luar negeri. Ada pula yang memilih bekerja di negara lain. Hal ini membuat perempuan harus meninggalkan keluarga dalam jangka waktu lama.

"Sebenarnya ini bukan kendala jika melakukan diskusi dengan keluarga," jelas Pipit. Dalam melakoni profesinya, Pipit justru mendapat dukungan penuh dari sang suami. Tanpa doa dan restu suami, mustahil ia bisa meraih hasil seperti yang diperolehnya sekarang ini. Tidak hanya sang suami, keluarga besarnya juga turut mendukung. Dukungan keluarga justru menjadi kunci sukses sebuah pekerjaan.

Sekitar enam tahun lalu, Pipit tertarik pada kedelai. Jenis kacang ini memiliki senyawa yang hampir mirip dengan hormon estrogen. Ketertarikannya terhadap estrogen karena hormon itu berada di payudara perempuan. Kanker payudara menjadi kasus terbesar di dunia, termasuk Indonesia.

Pipit berupaya membuktikan kedelai memiliki kaitan erat dengan payudara. Hipotesisnya ingin membuktikan estrogen alami dari tumbuhan untuk dapat memengaruhi regulasi hormon estrogen. Nantinya, senyawa ini bisa berguna untuk pencegahan atau mengobati kanker.

Pipit kemudian tertarik meneliti daun katuk. Penjelasan ilmiah saat ini menyebutkan, daun katuk baik dikonsumsi ibu menyusui. Kandungannya mampu memberikan efek positif dalam memperbanyak air susu. "Ini pula yang membuat saya tertarik untuk meneliti daun katuk," ujar perempuan yang hobi kuliner dan nonton film ini.

Oleh Nora Azizah ed: Nina Chairani

***

Daun Katuk, Suatu Awal …

Daun katuk memiliki senyawa estrogen ilmiah. Pipit ingin melihat potensi ekstrak daun katuk terhadap sel kanker. Dalam proses penelitian, ia menggunakan model sel, yakni kultur sel dari jaringan hewan yang dikembangkan. Jaringan sel monyet diambil sedikit, kemudian dikembangkan.

Melakukan percobaan tidak boleh menyakiti atau mengorbankan hewan. Untuk membuat model sel, ia cukup mengambil sedikit saja jaringan melalui proses biopsi. Hewan tetap sehat dan dikembalikan ke habitatnya. Di dalam cawan petri, pengembangan kultur sel tersebut menjadi media percobaan dari ekstrak daun katuk.

Penelitian ini pada prinsipnya menciptakan sejenis cairan pencegah atau vaksin. Vaksin berupa ekstrak daun katuk ini lantas dipaparkan pada tubuh sehingga meregulasi hormon estrogen. Apakah regulasi hormonal berubah, dan sel tubuh bisa bertahan atau terlindungi dari kanker? "Ini yang ingin saya cari tahu," jelas Pipit.

Penelitian ini baru berjalan selama tiga bulan dan memasuki tahap awal. Ibarat memasak, saat ini ia tengah menyiapkan bahan makanan dan bumbu sebelum menumis. Pipit tidak sendirian dalam meneliti. Ia melibatkan rekan-rekannya dari Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Pusat Penelitian South East Asia Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB. Pusat Penelitian ini bekerja meneliti senyawa aktif di dalam tanaman. Kurang lebih, lima orang peneliti lain tergabung di dalam tim. Uniknya, semua peneliti adalah perempuan.

Ia juga selalu mendapat dukungan dari mantan advisor atau mentornya selama kuliah di Amerika. Meski tidak bekerja di sana, Pipit terus menjalin komunikasi dengan rekan dan pakar dari luar negeri. "Penelitian jika tidak berkolaborasi akan berjalan lambat," ujar Pipit. Itu sebabnya, menjaga hubungan baik dengan para peneliti lain diperlukan. Meski baru berjalan, Pipit optimistis terhadap penelitiannya. Ia berharap, jika penelitian ini berhasil maka bisa membuat vaksin dan meminimalkan angka kanker payudara. Sebuah penelitian tidak berhenti di satu tempat. Pipit juga berharap, vaksin daun katuk ini bisa terus diteliti dan dikembangkan secara berkesinambungan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement