Kamis 23 Apr 2015 13:00 WIB

Radikalisme di Mata Muhammadiyah dan NU

Red:

JAKARTA -- Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menilai, istilah radikal tidak tepat digunakan untuk menyebut kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan atas nama agama lebih tepat disebut sebagai tindakan ekstrem. "Menurut saya, lebih tepat digunakan istilah ekstremisme ketimbang radikalisme," kata Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada Republika, Selasa (21/4).

Mu'ti menyatakan, makna dan definisi kata radikal telah terdistorsi. Menurutnya, kata radikal berarti mengakar. Sehingga, beragama secara radikal berarti memahami agama secara mengakar. Namun, radikal tidak harus menjadikan seseorang ekstrem. Sikap ekstremisme menjurus pada tindakan intoleran. Lebih jauh lagi, ekstremisme bisa berujung tindakan kekerasan pada kelompok yang berbeda.

"Ekstremisme bersikap hanya ada hitam dan putih. Artinya, satu kelompok benar sedangkan lainnya salah," kata Mu'ti.

Mu'ti mengatakan, istilah untuk merujuk pelaku kekerasan atas nama agama bersifat dinamis. Pada 1980-an, misalnya, para pelaku kekerasan atas nama agama disebut denga istilah militan, kemudian berganti dengan istilah fundamentalis. "Dan, belakang berubah menjadi radikalis," ujar Mu'ti.

Mu'ti berpendapat, kelompok radikal yang cenderung intoleran dapat digolongkan sebagai kelompok ekstrem. Ini karena mereka tidak bisa menerima perbedaan kelompok lain, menjustifikasi kelompoknya paling benar dan melegalisasi tindak kekerasan pada kelompok lain yang berbeda pendapat.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengategorikan orang atau kelompok radikal pada beberapa perbuatan. Pertama, menganut paham yang tidak berasal dari jumhur para ulama. Misalnya, menyebut kafir pihak tertentu tanpa dasar kesepakatan para ulama. "Kafir atau tidak kafir, imannya tinggi atau tidak tinggi, tahu dari mana dia? Orang kalau sudah bersyahadat, itu sudah iman kepada Allah. Jumhur ulama menilai, kalau sudah bersyahadat itu sudah mukmin, tidak kafir," kata Marsudi.

Kedua, kata Marsudi, orang atau kelompok bisa disebut radikal jika tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama. Tapi, mereka mudah sekali dihasut oleh paham yang tidak sesuai jumhur ulama. Golongan seperti inilah yang dikhawatirkan Marsudi rentan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap apa yang mereka tidak anggap Islami. "Kedua adalah radikal jihadis. Misal, dianggap tidak Islami langsung dibom, wah tidak Islami langsung ditutup," ujar Marsudi.

Marsudi optimistis pemerintah bisa menghilangkan radikalisme di Indonesia. Asalkan, pemerintah mau melibatkan kaum ulama. c71/c08 ed: M Akbar Wijaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement