REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya merekrut imam masjid melalui Blackberry Messenger (pesan berantai) dinilai tidak tepat. Sebab, hal itu menimbulkan kesan bahwa imam masjid merupakan pekerjaan. “Jadi tidak seperti mencari lowongan kerja,” kata Sekretaris Bidang Dakwah Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ahmad Yani, saat dihubungi Republika, Ahad (5/4).
Yani mengatakan, merekrut imam masjid sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pribadi. Seorang imam sebaiknya ialah orang yang memenuhi kriteria agama dan mengenal lingkungan sekitar masjid. Selain itu, imbuh Yani, merekrut Imam juga bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga dakwah. “Pesantren, perguruan tinggi, lembaga dakwah seperti Khairu Umah, Dewan Da'wah, IKADI, Forum Mubaligh Jakarta, dan sebagainya,” ujarnya.
Merekrut imam masjid secara terbuka seperti melalui pesan berantai tidak lazim dilakukan. Sebab, biasanya rekrutmen semacam itu hanya dilakukan oleh pengurus masjid-masjid besar di tingkat kota dan provinsi. “Kalau masjid yang sifatnya lokal di perumahan, tentu cukup meminta bantuan kepada pemuka agama atau lembaga dai yang ada dengan menanyakan sebagaimana kriteria yang diajukan,” kata Yani.
Yani menyatakan, persepsi masyarakat terhadap imam berbeda dengan marbut masjid. Menurutnya, kebanyakan masyarakat menerjemahkan marbut adalah pengurus yang menjaga kebersihan dan kebutuhan masjid. Sedangkan, imam adalah guru bagi masyarakat yang menjadi pemuka agama di suatu permukiman. “Tugas imam menghidupkan fungsi masjid bersama pengurus masjid,” ujarnya
Masyarakat perlu memiliki kesadaran memberikan sedekah kepada imam masjid yang mengamalkan seluruh waktunya untuk kegiatan keagamaan. Misalnya, kata Yani, imam masjid yang juga merangkap sebagai pengajar mengaji. “Ia memiliki pekerjaan yang banyak untuk mengabdi kepada masyakat sehingga konsekuensinya, masyarakat harus bermusyawarah untuk dana sedekah untuk kesejahteraan imam itu,” kata Yani.
Saat ini, menjadi pengurus masjid, ketua masjid, sekaligus imam masjid berbeda dengan pada zaman Rasulullah SAW. Yani menjelaskan, pengurus masjid bertugas soal kesejahteraan masjid, dan imam mengurusi soal peribadahan. Untuk itu, seorang imam masjid mesti memiliki pengetahuan agama yang mumpuni. Sehingga, khutbah keagamaan yang mereka sampaikan dapat diaktualisasikan ke dalam kehidupan.
Imam Masjid Istiqlal Jakarta, Kiai Haji Mustafa Ali Yakub, menyatakan, Rasulullah SAW telah menetapkan kriteria seorang imam. Pertama, imam bukanlah orang yang dibenci di lingkungan itu. Kedua, memiliki kemampuan membaca Alquran dengan baik dan memahami rukun serta syarat sah shalat berjamaah.
Penghargaan untuk imam, kata Kiai Ali, sebaiknya mengikuti tradisi yang berlaku di lingkungan tersebut. Artinya, jika masyarakat sekitar masjid tergolong mampu, alangkah baiknya jika menyejahterakan seorang imam. Sehingga, imam diharapkan bisa lebih aktif menjalankan tugas.
Ketua Bidang Kajian Majelis Ulama Indonesia, Cholil Nafis, mengatakan, seorang imam harus memiliki sifat wara (berhati-hati) dalam urusan agama. Menurutnya, menjadi imam tidak harus dikaitkan dengan bayaran atau upah. Sebab, sejatinya, imam bukanlah pekerjaan kepada manusia, namun pengabdian terhadap Allah SWT. “Jangan sampai imam itu menjadi pekerjaan mencari uang dan pekerjaan untuk mencari penghidupan,” kata Cholil.
Cholil tidak mempersoalkan apabila ada pengurus masjid yang membuka rekrutmen imam secara terbuka, semisal lewat pesan singkat berantai. Namun, dia mengingatkan, sebaiknya faktor upah tidak menjadi alasan utama seseorang menjadi imam. “Sekali lagi. Kalau ada dana yang dihimpun untuk sedekah kepada Imam, silakan, tetapi jangan sampai ada tingkatan imam dan pembayaran kepada imam.”
Sebelumnya, beredar pesan singkat berantai yang berisi rekrutmen imam untuk masjid di Perumahan Persada, Cibinong, Depok. Dalam pesan itu, disebutkan tawaran berupa gaji pokok, uang makan, dan tempat tinggal bagi mereka yang memenuhi kriteria menjadi imam. c94 ed: M Akbar Wijaya