Jumat 06 Mar 2015 16:00 WIB

Keliling Dunia dengan 11 Anak

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Melakukan perjalanan ke berbagai tempat, di dalam maupun luar negeri, tentu saja sangat menyenangkan. Apalagi, traveling itu dilakukan bersama, antara suami dan istri. Tapi, apakah juga tetap menyenangkan jika perjalanan itu dilakukan bersama anak sendiri yang masih kecil, jumlahnya lebih dari satu lagi?

Namun, itulah yang terjadi pada pasangan suami istri Halilintar Asmid (44 tahun) dan Lenggogeni Faruk (42). Lima benua telah mereka jelajahi, dari timur sampai barat. Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari Australia hingga Spanyol, negara-negara di Eropa Utara hingga wilayah Asia. Menurut Lenggogeni, mereka telah mulai keliling dunia sejak 1993. Mulai dari anak masih satu hingga kini menjadi 11, enam putra dan lima putri.

"Anak pertama, Muhammad Atta Halilintar, saat masa kehamilan sembilan bulan, kami sedang melakukan ekspedisi Jawa-Sumatra-Kuala Lumpur pulang-pergi. Anak keempat, Muhammad Thariq Halilintar, lahir di Brunei Darussalam," kata Lenggogeni, seperti dikutip dari buku karyanya, Kesebelasan GenHalilintar My Family My Team.

Sedangkan, anak kelimanya, Abqariyyah Mutammimah Halilintar, lahir di Amman, Yordania. Padahal, saat itu mereka sedang dalam perjalanan dari Eropa ke Jakarta, tapi transit di Yordania. "Transit sehari itulah yang jadi sejarah," kata Lenggogeni.

Adapun, anaknya yang keenam, Muhammad Saaih Halilintar, terlahir di Pulau Labuan, wilayah Malaysia. Pada usia kelima bulan, Saaih sudah melanglang ke Helsinki, Finlandia. Halilintar dan Lenggogeni memang kerap bepergian keluar negeri untuk mengurus bisnis. Tapi, urusan bisnis itu tetap dengan mengajak serta anak mereka.

Mengapa? Karena, mereka tidak mempunyai pembantu, pengasuh, atau babby sitter. Karena itu, ketika traveling, masing-masing anak memiliki tugas dan peran. Lenggogeni mengibaratkan dengan hotel: ada yang bertugas sebagai tukang cuci baju, tukang masak, room service, mencuci, dan lainnya yang dikerjakan secara team work.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini mengatakan, sebagai frequent traveller, sepanjang 22 tahun bisa dikatakan selalu berjalan dengan kondisi anak dalam gendongan dan atau gandengan. Menurut pasutri berdarah Minang ini, kesemua itu menjadi bagian dari proses pendidikan. "Sebuah tradisi bagi para saleh yang mulai kuhayati dan kunikmati, sarat hikmah, dan pengajaran yang dalam. Tentunya, memberi dampak langsung kepada janin yang dikandung, bayi yang masih menyusui, dan anak yang digandeng."

Menurut Lenggogeni yang melahirkan ke-11 anaknya melalui persalinan normal dan selalu memberi air susu ibu (ASI) eksklusif bagi semua anaknya itu, traveling bukan sekadar jalan-jalan, melainkan sarat dengan penanaman pendidikan sambil santai-santai. Bincang-bincang di atas kendaraan, saling meluapkan perasaan, kemudian orang tua memberikan ilmu dan sharing pengalaman.

"Sambil makan-makan, ditambah dengan hidangan spiritual. Sambil olahraga, dibumbui dengan olah jiwa. Walaupun belum bisa mencapai yang terbaik, setidaknya hal seperti ini dapat menjadikan suasana rumah tangga lebih terkendali, potensi keluarga juga lebih berkembang," katanya.

Banyak orang bertanya, katanya, bagaimana mengasuh 11 orang putra-putri? Mengasuh satu atau dua anak saja sudah kewalahan. "Bukan berarti dengan 11 anak tidak repot, tentu saja susah payah menghadapi berbagai tingkah dan ragam perilaku masing-masing anak yang berbeda. Yang berbeda inilah yang kita arahkan hingga perbedaan itu menjadi rahmat, keberkahan, dan suatu potensi yang dikembangkan dalam rumah tangga," katanya.

Hingga hari ini, katanya, pasutri ini masih terus berusaha bagaimana perbedaan dapat disatukan dalam suasana kasih sayang yang berlandaskan ketuhanan. Tidak dapat dimungkiri, masing-masing anak sejak lahir ada potensi positif dan juga negatif. "Yang positif disuburkan, yang negatif dikuburkan," kata Lenggogeni.

Selain menceritakan bagaimana karakter anak dan gaya mendidik mereka, buku setebal 349 halaman ini juga mengungkap kiat-kiat Lenggogeni soal nifas. Digambarkan pula bagaimana peran ayah dan pandangan anak-anaknya mengenai sosok sang ayah.

Dengan model pendidikan selama 24 jam, masing-masing anak memiliki potensi. Si sulung, Atta, pada usia 13 tahun sudah memiliki usaha jual beli mobil, gadget, termasuk mengelola perusahaan tur. Demikian pula dengan anak kedua, Sohwa Mutamima Halilintar, yang dalam usia belia sudah terlatih menjadi owner sekaligus sales person untuk booth pameran fashion dan handphone di Bintaro Plaza, Carrefour Lebak Bulus, dan Pondok Indah Mall.

Selengkapnya, buku mereka bisa didapatkan dalam ajang pameran buku Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan, Jakarta. Oleh Nur Hasan Murtiaji ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement