Ahad 18 Dec 2016 14:00 WIB

Jangan Khawatirkan Putusan MK

Red:

JAKARTA Pemerintah menegaskan, tak ada yang perlu ditakuti dari putusan Mahkamah Konstritusi (MK) terhadap pengabulan dua dari enam gugatan Serikat Pekerja PT PLN terhadap UU Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009. 

Sekretaris Ditjen Kelistrikan Kementerian ESDM Agoes Triboesono mengatakan, meskipun UU ini tetap disahkan, kekuasaan negara tak hilang. Kami berpendapat tak ada yang ditakutkan, katanya dalam diskusi bertema Kelistrikan Pasca Putusan MK di Jakarta, Sabtu (17/12).

Serikat pekerja PT PLN menggungat dua Pasal UU Nomor 30 Tahun 2009, yakni Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1). Berdasarkan situs MK, pemohon menilai frasa 'dapat dilakukan secara terintegrasi' yang termuat dalam Pasal 10 Ayat (2), memungkinan pelaksanaan usaha penyediaan listrik dilakukan dengan tidak terintegasi dan terpisah-pisah.

MK menyatakan, ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan sebagai dibenarkannya praktik unboundling (terpisah-pisah) dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

"Pasal ini meminta penyedia listrik, walaupun swasta, tapi harus terintegrasi," ujar Agoes.

Sementara Pasal 11 Ayat (1), penggugat mempermasalahkan frasa 'badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik'.

MK menegaskan, tidak ada larangan bagi pihak swasta terlibat dalam penyediaan listrik untuk kepentingan umum. Meskipun begitu, masih dalam batas-batas penguasaan oleh negara.

Pasal 11 Ayat (1) UU Ketenagalistrikan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang rumusan dalam ketentuan a quo dimaknai hilangnya prinsip penguasaan oleh negara.

Menurut anggota Dewan Energi Nasional Rinaldy Dalimi, gugatan terhadap dua pasal UU Nomor 30 Tahun 2009 merupakan rentetan dari permohonan uji materiil terhadap UU Nomor 20 Tahun 2002.

Saat pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002, dirinya mendukung. Karena ada perubahan besar dalam berbisnis listrik di Indonesia, yaitu unboundling. Boundling artinya hanya dipegang satu perusahaan," ujar Rinaldy.

Ia menyebut, UU Nomor 20/2002 memisah penyedia layanan listrik. Kondisi tersebut, menurutnya, dapat menyebabkan harga listrik di Indonesia tinggi.

Kemudian, ia melanjutkan, UU Nomor 30/2009 kembali terindikasi unboundling. Sehingga, MK meminta adanya implementasi yang tepat dari dua pasal tersebut.

"Bukan batalkan dua pasal itu, melainkan bersyarat. Kalau ada yang mengindikasi unboundling maka (pasal itu tak berlaku) dibatalkan," ujar dia. 

Penjelasan

Pengamat hukum dari Universitas slam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dua pasal UU Keternagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 merupakan restatement atau penjelasan hukum.

"Kalau ini restatement yang hanya menafsirkan ulang terhadap pasal yang dikabulkan," katanya. 

Menurutnya, restatement tersebut merujuk pada putusan terhadap UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 yang dibatalkan MK pada 2004 lalu.

Ia menjelaskan, putusan terhadap Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) meminta penegasan keterlibatan negara dalam pengaturan, pengelolaan, pengurusan, dan pemantauan tenaga listrik yang dilakukan swasta. "Negara harus terlibat. Kalau tidak, pasalnya inkonstritusional, katanya. 

Andi menilai, putusan MK hanya menegaskan norma apa yang harus dipahami terhadap pasal yang diuji. "Apa batasnya kalau pasal ini dilaksanakan. Batasnya, selama pemerintah tetap memiliki peran dalam pelaksanaan pasal ini," jelasnya.

Menurutnya, secara eksplisit disebutkan, putusan MK tidak bertujuan membuang norma swasta. MK tetap memberikan ruang terhadap swasta untuk terlibat dalam penyediaan tenaga listrik, tetapi selama dalam kontrol pemerintah. Ia mengajak publik mengawal seperti apakah turunan UU-nya, baik PP, kepmen, maupun permen, dan menafsirkan sesuai putusan MK.   rep: Umi Nur Fadhilah, ed: Nashih Nashrullah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement