Jumat 08 Aug 2014 12:00 WIB

Pengadaan Seragam Dinilai Langgar Aturan

Red:

KLATEN — Pengadaan seragam batik dan seragam sekolah lainnya dinilai melanggar aturan dan sarat masalah. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, puluhan orang tua siswa SMP keberatan dan mengadukan pembelian baju batik khas Klaten yang harganya dinilai tidak wajar ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DI Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng). 

Saat ini, komisi ORI DIY Jateng sudah berkoordinasi dengan Polres Klaten untuk membahas sisi pelanggaran hukum di balik pengadaan seragam sekolah itu. Plt Ketua ORI DIY Jateng Budhi Masturi mengatakan bahwa ia telah bertemu Kapolres Klaten, AKBP Nasirwan Adji Wibowo, untuk berkonsultasi. "Kami  mengkaji apa dan bagaimana kemungkinan aspek pidana dari kebijakan pengadaan seragam batik sekolah," katanya, Kamis (7/8).

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dedhez anggara/ANTARA

Dua perajin menyelesaikan pesanan batik tulis di Koperasi Usaha Bersama (KUB) Silva Batik, Kelurahan Paoman, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (22/5). Perajin mengaku hampir tidak mampu memenuhi pesanan batik akibat banyaknya pesanan untuk seragam sekolah dan seragam dinas.

 

Dalam pertemuan yang juga dihadiri Kasat Reskrim Polres Klaten, AKP Fachrul Sugiarto, menurutnya, pihak kepolisian mengindikasikan adanya unsur gratifikasi. Pasalnya, ada dugaan harga kain melebihi harga di pasaran.

Pengadaan seragam batik khas Klaten, menurut Budhi, tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Utamanya, Pasal 181 dan 198. Disebutkan, mulai dari pendidik atau tenaga pendidik, komite sekolah dan dewan pendidikan, baik secara perseorangan atau kolektif, tidak diperbolehkan menjual pakaian seragam ataupun bahan seragam sekolah.

ORI DIY Jateng bersama Disdik Klaten memverifikasi seluruh sekolah negeri di Klaten.  Hasilnya, seluruh SMA negeri di Klaten yang berjumlah 15 sekolah dan lima SMP negeri masih menjual seragam batik khas Klaten. Sedangkan, SMK negeri tidak ada sama sekali.

Bisnis di  balik pengadaan seragam sekolah juga terjadi di salah satu SMP negeri di Jakarta Selatan. Sebanyak enam pasang seragam sekolah wajib dibeli melalui koperasi sekolah, yakni putih-biru, putih-putih, olahraga, batik, baju Muslim, dan pramuka. Seragam sekolah itu semuanya dilabeli nama sekolah dengan cara disablon maupun dibordir.

Menurut Adinda, orang tua salah satu siswa SMP tersebut, hal itu membuat orang tua secara tak langsung dipaksa membeli seragam melalui sekolah.  Menurutnya, atribut dari ujung rambut, seperti jilbab bagi yang memakainya, ikat pinggang, sampai kaos kaki, bahkan sepatu mau tak mau harus dibelinya di sekolah.

Menurutnya, dari segi kerapian memang akan terlihat rapi dengan identitas sekolah yang semuanya berseragam. "Masalahnya, harganya terlalu mahal. Baju seragam kalau beli di luar tidak sampai Rp 150 ribu sepasang. Kalau ditotal, semuanya lebih dari Rp 1,3 jutaan," ujarnya.

Hal yang sama terjadi di Bandar Lampung. Menurut Lili, orang tua siswa baru sebuah SMP negeri di Kemiling, Bandar Lampung mengungkapkan pihak sekolah memberikan daftar penggunaan seragam sekolah sebanyak enam stelan seragam. "Harga yang diberikan kalau membeli, semua Rp 1,5 juta lebih," katanya.

Lili akhirnya mengakali pengadaan baju seragam anaknya dengan meminjam seragam batik dan olahraga milik kakak tingkat anaknya yang sudah tamat. Ia hanya membeli seragam putih-putih, putih-biru, dan pramuka di luar sekolah.

Menanggapi  maraknya bisnis di balik pengadaan seragam oleh sekolah-sekolah, Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim mengatakan, Kemendikbud sudah mengeluarkan edaran bahwa sekolah tidak diperbolehkan mengoordinasi penjualan baju seragam sekolah. Namun, untuk seragam batik dan olahraga, Musliar masih mentoleransi. "Batik dan olahraga boleh dikoordinasi karena di situ identitas sekolah berbeda-beda," ujar Musliar, Kamis (7/8).

Ia pun menegaskan, pihak sekolah tidak boleh menjual seragam dengan harga yang lebih  mahal. rep:edy setiyoko/mursalin yaslan ed: andi nur aminah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement