Selasa 06 Oct 2015 12:00 WIB

Memori Pak Dullah di Masjidil Haram

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Memori Pak Dullah di Masjidil Haram


Senin (5/10) dini hari, Masjidil Haram tampak agak lengang. Keriuhan masjid terbesar di dunia ini memang berangsur berkurang seiring dengan kepulangan jamaah haji ke negara mereka masing-masing. Padahal, sepekan sebelum dan sesudah puncak haji, kepadatan di Masjidil Haram tak mengenal waktu. Bahkan, menjelang waktu pelaksanaan shalat-shalat fardhu berjamaah, pintu-pintu masuk ke bagian dalam masjid ditutup agar tidak terjadi penumpukan jamaah.

Kini, pemandangan kepadatan jamaah di Masjidil Haram hampir tak lagi terlihat. Kendati masih ramai, jamaah yang sedang melakukan umrah sunah bisa bernapas lega lantaran tidak terlalu berdesak-desakan saat tawaf memutari Ka'bah. Hanya area mataf (tempat tawaf) lantai dasar yang terlihat masih dipadati jamaah. Sedangkan, mataf di lantai dua dan lantai tiga praktis sangat lengang. Begitupun di area sa'i. Lintasan jalan antara Bukit Shafa dan Marwah tidak lagi terlihat bak lautan manusia. Kelompok-kelompok jamaah haji yang bersa'i pun hanya segelintir.

Makin sedikitnya jamaah yang berada di Tanah Suci membuat jamaah haji asal Indonesia tampak mendominasi di seluruh area Masjidil Haram. Ke mana pun mata memandang, selalu ada jamaah haji Tanah Air yang sedang beraktivitas di sana. Selain Indonesia, jamaah haji asal Cina, India, Bangladesh, Iran, dan Turki yang masih sangat terlihat berkerumun di masjid. Jamaah haji asal negara-negara Afrika, seperti Nigeria, Somalia, Mali, dan Afrika Selatan hampir tak tampak.

Menjelang Subuh, saya mengambil tempat di area sa'i lantai dasar. Di sana sudah banyak jamaah yang menggelar sajadah. Sambil menunggu waktu azan pertama dan kedua, jamaah bertafakur, berzikir, dan membaca Alquran. Di samping saya, duduk seorang bapak berkacamata hitam tanpa melakukan aktivitas apa pun. Dia hanya terduduk diam dan sekali-kali membenarkan posisi kacamatanya. Saya pun mengajaknya bersalaman.

"Dari kloter mana, Pak?" tanya saya.

"Solo 24. Saya dari Pundong, Bantul, Yogyakarta," jawab lelaki yang kemudian saya ketahui bernama Dullah bin Marjo (61 tahun) itu.

Pak Dullah selanjutnya terlibat percakapan akrab dengan saya. Saya pun akhirnya tahu alasan dia memakai kacamata hitam di saat masih pagi buta. Mata Pak Dullah sakit dan memerah lantaran iritasi. Katanya akibat debu dan suhu udara panas di Makkah.

Sejarah pendidikan saya yang pernah mengenyam enam tahun bangku kuliah di Yogyakarta membuat percakapan kami layaknya percakapan tetangga satu kampung. Setelah bercerita membandingkan kondisi Yogyakarta kini dan dulu saat saya kuliah, saya pun menanyakan ihwal anak Pak Dullah.

"Punya putra berapa, Pak?"

Pak Dullah yang baru satu tahun pensiun dari kepala sekolah SDN Blunyahan 1 Sewon tak segera menjawab pertanyaan saya. Sekelebat kemudian air matanya menetes. Saya pun terdiam. Lalu, tak lama Pak Dullah akhirnya berbicara lagi.

"Saya punya putri dua, tapi yang masih ada sekarang satu. Anak pertama saya…," Pak Dullah tak kuasa melanjutkan bicaranya. Dia menangis lagi. Saya merangkul pundak Pak Dullah. Mengusap-usap punggungnya dan memegang tangannya.

Pak Dullah berulang kali tercekat saat menceritakan kedua putrinya. Menikah dengan Waginem yang juga berprofesi sebagai guru, Pak Dullah dikaruniai dua orang putri, Indri Retnyawati (lahir 1982) dan Beti Winandari (1985).

Dullah dan Waginem membesarkan kedua putrinya itu dengan mengandalkan gaji guru dan usaha ternak sapi yang mereka miliki. Pada 2005, Indri pun berhasil menjadi sarjana pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Setahun kemudian, kabar gembira menghampiri keluarga Dullah dan Waginem lantaran Indri diterima bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Kalimantan. Namun, saat persiapan melepas putri sulung mereka melanglang buana, gempa bumi mengoyak Yogyakarta pada Mei 2006.

"Mbak Indri meninggal tertimpa langit-langit rumah saat gempa terjadi," ujar Pak Dullah. Pak Dullah mengingat kembali semua kenangan bersama sang putri tercinta. "Dulu, setelah lulus kuliah, Mbak Indri pernah bilang ndak mau menikah sebelum bisa ke sini. Dia mau pergi ke sini dulu, beribadah langsung di depan Ka'bah, baru menikah." Dullah kembali menangis. Saya kembali merangkul pundaknya.

Percakapan kami terhenti lantaran azan Subuh berkumandang. Seusai shalat, Pak Dullah memberikan nomor telepon genggamnya pada saya dan menawarkan agar saya tak sungkan mampir ke rumahnya apabila ke Yogyakarta.

"Ini nomor saya nomor sama yang dipakai Mbak Indri waktu kuliah dulu. Saya ndak pernah beli handphone lain kecuali punya Mbak Indri ini," kata Pak Dullah. Ya Allah, jadikanlah putri Pak Dullah dan Waginem seorang syahidah. Beri kemabruran haji bagi Pak Dullah dan istrinya, Ya Allah.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement