Ahad 01 Feb 2015 16:10 WIB

BABAD ING TANAH PACITAN

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Di bawah sengatan mentari tengah hari, saya sempat sempoyongan saat turun dari bus di terminal Pacitan, Jawa Timur (Jatim). Rasa pusing di kepala bukan tanpa sebab. Sebelum kedua kaki saya akhirnya menginjak tanah di kabupaten selatan Jawa Timur itu, badan ini digoyang hampir satu jam lamanya.

Total perjalanan enam jam saya lalui dari stasiun Balapan Solo, Jawa Tengah (Jateng), untuk sampai ke Pacitan. Rute masih terasa normal hingga di satu jam menjelang memasuki Kabupaten Pacitan, jalanan mulai berkelok liar.

Khas armada umum di daerah-daerah, sopir bus yang saya tumpangi ini juga seolah malas mengurangi kecepatan apa pun medannya. Walhasil, rute menurun nan berkelok-kelok itu membuat perut saya mual dan kepala pusing tujuh keliling.

Di terminal, saya tak membuang waktu berleha-leha. Pikiran serasa melompat untuk segera menjelajah kota tempat kelahiran presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Saat mulai menyusuri kotanya, terasa benar Pacitan memiliki aura sunyi yang kentara dibanding tempat lainnya. Itu saya lihat kala menyusuri jalan utama di kabupaten ini, Jalan Ahmad Yani. Saya rasakan betapa sepinya lalu lintas Pacitan meski pada siang hari. Tak ada angkutan publik, seperti angkot atau taksi yang melintas. Hanya terlihat berseliweran becak kayuh, termasuk seperti yang saya tumpangi saat itu.

Selain jenis kayuh, sedikit di antaranya saya hitung dengan jari beberapa becak ada juga yang dioperasikan dengan mesin ber motor. Kursi dan tandu becaknya ditaruh di depan, motornya mendorong dari belakang.

Setelah berputar di Jalan Ahmad Yani melintasi alun-alun dan taman kota, saya menuju ke Jalan Sudirman untuk melihat keramaian pusat niaga. Tak lupa, saya ke Jalan Gatot Subroto menengok pasar tradisionalnya dan meminta sopir becak menuju sebuah bangunan.

Bangunan bernama Gedung Arsip dan Perpustakaan Pacitan itu tampak sepi berdiri di bawah rindangnya pohon-pohon di sisi Jalan Ahmad Yani. Di dalamnya, saya mendapati perjalanan sejarah cukup singkat dan ringkas dari terbentuknya kabupaten yang memiliki luas `hanya' 1.389,87 km persegi ini.

Masih hutan belantara Pada abad ke-14, ketika bagian Indonesia lainnya sudah berpenghuni dengan peradaban maju, Pacitan 700 tahun lalu masih berupa hutan lebat bernama Wengker Kidul. Dari isi salinan Babad Ing Tanah Pacitan terjemahan Indonesia yang saya gali di Gedung Arsip dan Perpustakaan, diketahui, saat itu peradaban Pacitan masih dinaungi kepercayaan Hindu-Buddha.

Tak ada peninggalan seperti rumah ibadah atau arca khas Hindu-Buddha di kawasan ini. Namun, diyakini, saat itu, kepercayaan ini sampai ke Wengker Kidul karena dekat dengan pusat pemerintahan Majapahit di Mojokerto, Jatim.

Alkisah, pada masa itu hutan belantara Wengker Kidul didatangi seorang sakti mandraguna bernama Ki Ageng Petung yang sampai saat ini makamnya masih berdiri di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.

"Ketika itu, Ki Ageng Petung sedang membabat hutan untuk membuka lahan kehidupan baru atas perintah Raja Demak, tapi ternyata ada seseorang yang menyatakan daerah ini sudah berpenghuni," ujar Suroto, petugas Arsip dan Perpustakaan Pacitan.

Awalnya, pihak Arsip dan Perpustakaan Pacitan enggan memberikan buku Babad Ing Pacitanini kepada saya. Menurut mereka, ini adalah satu-satunya salinan asli dari kisah sejarah terbentuknya Kabupaten Pacitan. Mereka takut saya tak sengaja merusaknya. Jadilah untuk menggali sejarah munculnya Pacitan saya harus mendengar dari tuturan Suroto yang membaca salinan kitab tersebut.

Dari kisah yang dibacakan itu, diketahui seseorang pengklaim wilayah Wengker Kidul itu bernama Ki Buwono Keling. Dia mengaku, telah menempati wilayah tersebut sejak akhir abad ke-12 atas titah kerajaan Majapahit. Ki Ageng Petung yang juga dikenal sebagai Sunan Siti Geseng lantas merangkul Buwono untuk masuk ke dalam Islam.

Buwono menolak, dia pun memerangi Ki Ageng Petung. Saat itu, Ki Ageng Petung mendapat bala bantuan dari beberapa rekan seperguruannya di Demak, seperti Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi. Selain itu, ia juga mendapat bantuan sejumlah pasukan dari Adipati Ponorogo.

Singkat cerita, pertarungan antara para mahasakti itu dimenangkan Ki Ageng Petung dan rekan. Kemenangan ini lalu ditahbiskan Ki Ageng Petung. Dia menancapkan sebuah bambu di tengah Wengker Kidul sebagai tonggak awal baru peradaban yang lebih mulia di tanah lereng perbukitan Gunung Sewu itu.

Oleh: Gilang Akbar Prambadi ed: Nina Chairani

Bertandang ke Rumah Presiden ke-6

Sebelum meninggalkan Pacitan, saya menyempatkan diri bertamu ke rumah masa kecil dan tempat Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilahirkan. Rumah itu terletak di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di Kelurahan Ploso, hanya sekitar satu kilometer dari Alun-alun Pacitan.

Di tengah halaman tanah yang luas itu, sebuah rumah dengan gaya atap keraton terlihat.

Bercat putih, genting tanah liat, dan daun jendela yang dipenuhi kaca, rumah itu berdiri dengan luas 20 x 10 meter.

Suasananya asri. Meski tak banyak bunga bermekaran, tapi ada sebuah pohon mangga menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang rimbun meneduhkan sekitarnya.

Dua daun pintu masuk rumah itu terbuka, aneh, tak ada yang menjaga. Saya melepas sepatu dan masuk, di tengah rumah, terdapat banyak galeri foto keluarga SBY saat remaja hingga menikah dan memimpin Indonesia. Di sisi timurnya, tersimpan seperangkat alat gamelan lengkap.

Di bagian utara rumah, terdapat ruang keluarga yang dipenuhi kursi dan foto-foto keluarga SBY. Terselip di sisi kiri ruang tersebut, ada sebuah kamar tak lebih luas dari 1,5 x 3 meter.

Di dalamnya hanya ada sebuah ranjang kayu dengan meja di sampingnya. "Ini kamarnya Pak SBY sebelum bertugas menjadi tentara," kata Hartono warga setempat yang selalu menemani perjalanan saya di Pacitan.

Bangunan Kokoh Pertama

Melihat kehidupan rakyat Wengker Kidul yang belum terangkat, Ki Ageng Petung lalu berinisiatif mendirikan bangunan semitembok pertama di daerah tersebut. Tak lain dan tak bukan, bangunan pertama itu adalah rumah ibadah umat Islam, masjid. "Dari sana, barulah kehidupan di Pacitan mulai membaik dan mengakar hingga ratusan tahun kemudian, seperti sekarang ini," kata Suroto.

Masjid yang diceritakan dalam Kitab Babad Ing Pacitanitu masih berdiri tegap di Desa Semanten, Kecamatan Pacitan. Saya bersama Prayogi sempat kesulitan memburu masjid bernama Tiban ini.

Namun, akhirnya setelah berkeliling dua jam lamanya, kami menemukan bangunan yang dimaksud. Jaraknya ternyata tak terlalu jauh, sekitar 10 kilometer dari pusat kota. Dari kepala lurah setempat, Muhaimin, kami diceritakan bahwa benar adanya ini adalah bangunan kokoh pertama di tanah Pacitan.

"Bisa dilihat dari bangunannya yang sudah sangat keropos dimakan usia," ujarnya.

Bangunan putih ini memilki gaya konstruksi masjid tempo dulu yang sangat khas.

Tampak jelas konsep kuno diterapkan oleh Ki Ageng Petung dalam membangun masjid ini.

Itu terlihat dari gaya pundek berundak yang menjulang di menara masjid setinggi 11 meter ini.

Bangunan dalamnya ditopang empat tiang yang masih kokoh mengitari luas masjid berukuran 10 x 10 meter ini. Daun-daun jendela kayunya terlihat sudah dimakan usia, berbeda dengan pintu dan gentingnya yang masih kuat dan keras.

Sampai saat ini, bangunan tersebut masih rutin menjadi kegiatan keagamaan desa setempat. Meski demikian, tak ada perawatan khusus bagi masjid yang diyakini menyimpan banyak nilai sejarah terbentuknya Pacitan ini.

"Dulu, masjid Tiban terkenal se-Jawa Timur, ya sampai sekitar 1990 lah, mulai sepi karena banyak masjid lebih besar berdiri di Desa Semanten," kata Muhaimin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement