Kamis 19 Nov 2015 13:00 WIB

HAM Indonesia Adil Dan Beradab

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,HAM Indonesia Adil Dan Beradab


Bagi bangsa Indonesia, Pan casila adalah dasar negara. Para penyusun dasar nega ra ini mayoritas kaum Mus lim. Beberapa diantaranya adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan A Kahar Muzakkir. Keempat tokoh itu adalah bagian dari Panitia Sembilan yang me rumuskan Piagam Jakarta – yang me muat kelima Sila dalam Pancasila. Dekrit Pre siden 5 Juli 1959 menegaskan, bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan meru pa kan satu kesatuan dengan UUD 1945. Jadi, Piagam Jakarta adalah "ruh" Pancasila dan UUD 1945. Soekarno menyebut Piagam Ja kar ta adalah hasil kompromis yang sebaik-baiknya.

Keutamaan (core) Pancasila itu adalah pada sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Bila sila pertama itu adalah core Pancasila maka cara membaca yang tepat dan cara pandang yang benar dalam memahami Pancasila haruslah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (3) Persatuan Indonesia yang ber dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan berda sar kan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (5) Keadilan sosial bagi selu ruh rakyat Indonesia berdasarkan Ketuhan an Yang Maha Esa. Bila Ketuhanan Yang Ma ha Esa adalah core Pancasila, (dan me mang ya), maka seluruh turunannya (UUD 1945, UU, PP, SKM, JUKNIS) haruslah menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai core.

Sedangkan landasan HAM Indonesia adalah sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Konsep "adil" dan "beradab" pada sila kedua itu seharusnya di pa hami sebagai konsep yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Sebelum keda tangan Islam di Indonesia, kata "adil" dan "adab" belum dikenal, sehingga untuk me ma haminya seharusnya dirujuk kepada makna-makna yang dipahami dalam konsep Islam, bukan pada pandangan dunia (worldview) lainnya.

Karena itu, tafsiran Pancasila yang ber sifat "netral agama" (sekuler) tidaklah tepat. Jika ditelusuri, tampak, pandangan ini sebenarnya kurang memiliki basis ilmiah yang kuat, tetapi lebih merupakan harapan dan keinginan. Seperti diketahui, rumusan "Yang Maha Esa" dalam Pancasila adalah hasil ke se pakatan Hatta dengan para tokoh Islam yang menegaskan, bahwa Ketuhanan Yang Ma ha Esa adalah konsep Ketuhanan menu rut Islam (tauhid). Tafsir otentik para peru mus Pancasila ini tidak bisa diabaikan begitu saja dalam memahami makna Panca sila. Juga, keberadaan lafaz Allah di dalam Pem bukaan UUD 1945 memberikan indika si yang sangat kuat bahwa Ketuhanan Yang Ma ha Esa lebih tepat dipahami dalam per spe ktif pandangan dunia Islam (Islamic worldview), dan bukan dari sudut pandang netral agama.

Sebagai contoh, kaum komunis mempunyai pemahaman bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk juga kebebasan untuk "tidak beragama". Model penafsiran sila pertama semacam ini, juga kini banyak digunakan kaum liberal yang "merujuk" kepada DUHAM Pasal 18, "Se tiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk me nyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan yang lain, di muka umum maupun sendiri".

Karena itulah, pemerintah RI di masa Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres No 1/PNPS/1965 yang kemudian menjadi UU No 1/PNPS/1965, tentang Penodaan Agama. UU Ini pun menetapkan ada 6 aga ma yang diakui di Indonesia. Siapa yang me lakukan penafsiran terhadap suatu aga ma yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama-agama tersebut, maka itu adalah suatu bentuuk Penodaan Agama dan dipandang sebagai suatu tindak kriminal. Berda sarkan UU tersebut, sejumlah aliran seperti Ahmadiyah, agama Lia Eden, dan beberapa orang yang mengaku sebagai Nabi, dapat ditetapkan sebagai agama dan kelompok terlarang di Indonesia. UU No 1/PNPS/1965 ini, pada 2010, digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Tetapi, gugatan itu ditolak. Ini menunjukkan, bahwa UUD 1945 tidak menganut paham kebebasan beragama yang netral agama, sebagaimana dianut oleh sejumlah negara Barat. 

Adil dan beradab 

Berbagai pihak yang menafsirkan HAM secara sekuler sebenarnya telah menyimpang dari prinsip sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dalam pandangan Islam, adil dan beradab tidaklah mencakup kebebasan untuk durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Kemanusiaan harus tetap mengacu kepada prinsip-prinsip yang berasal dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidaklah tepat, menerapkan prinsip kema nusiaan dalam kasus perkawinan sesama jenis yang jelas-jelas dilarang oleh Islam dan beberapa agama lainnya. Begitu pula beberapa kelompok agama yang mengajarkan seks bebas dan penyembahan kepada setan, tidak dapat dibenarkan berkembang dalam negara Indonesia.

Memberikan kedudukan yang sama antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah di Indonesia jelas bertentangan dengan prin sip HAM yang adil dan beradab. Sebab, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tidak adil menyamakan antara polisi de ngan perampok. Begitu pula aliran sesat tidak dapat disamakan dengan aliran yang benar. Adil bukanlah sama rata-sama rasa. Dalam KUHP, dianggap adil jika Presiden diberikan hak pengampunan kepada pelaku kejahatan. Dalam konsep hukum Islam, lebih adil jika hak pengampunan itu dibe rikan kepada keluarga korban kejahatan. Da lam pandangan Islam, adalah adil dan ber adab, jika negara melarang perkawinan homo dan lesbi; melarang perkawinan musli mah dengan non-muslim; melarang perka winan orang Indonesia dengan anjing, dan sebagainya.

Karena itu, sudah sepatutnya, Indonesia bersifat selektif dalam menerima sejumlah pasal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), seperti kebebasan untuk menikah dengan siapa saja, seperti disebutkan dalam pasal 16: "Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk meni kah dan untuk membentuk keluarga.

Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian." Dalam UU Perkawinan No 1/1974, disebutkan, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama. Dan Islam sudah memberikan batas an dalam perkawinan antar pemeluk agama. Tidak benar jika kemudian sebagian aktivis HAM meminta agar pemerintah mencabut seluruh peraturan perundangundangan yang menghalangi perkawinan antar pemeluk agama, dengan alasan bertentangan dengan prinsip HAM.

Jadi, dalam perspektif HAM yang adil dan beradab, umat Islam sudah sepatutnya memandang masalah kebebasan dan hakhak kemanusiaan dari sudut pandang Islam. Umat lain dipersilakan memahami sesuai dengan kemauan dan visi mereka sendiri. Tetapi, juga tidak pada tempatnya jika mereka memaksakan pandangan ko mu nis atau sekular (netral agama) kepada umat Islam, dengan menyatakan, bahwa pemahaman yang benar terhadap Pancasila adalah yang netral agama, dan bukan menu rut pemahaman satu agama saja. Umat Islam juga akan menghormati jika kaum Kristen menyatakan, bahwa Ketu hanan Yang Maha Esa adalah rumusan konsep "Alah-Tritunggal".

Itu hak kaum Kristen, yang tentunya juga tidak dapat dipaksakan kepada kaum Muslim. Jika kaum Kristen ingin mengajukan RUU Makanan Halal bagi Kristen, RUU Perkawinan Kristen, pun juga boleh-boleh saja. Yang keliru adalah jika menganggap seolah-olah konsep netral agama adalah konsep yang lebih baik dari konsep Islam, dan menuduh umat Islam anti-Pancasila jika menolak pemahaman netral agama.

Adalah sangat tidak masuk akal, bahwa hukum kolonial Belanda dikatakan sebagai hukum yang lebih baik dari hukum Islam. Sebab, hukum kolonial Belanda tidak memi hak satu agama. Jika suatu konsep keluar dari konsep satu agama, bukankah konsep itu berarti konsep netral agama, alias "konsep tanpa agama?" Cara pandang sekular inilah yang sejak awal berdirinya negara RI sudah dijelaskan kekeliruannya oleh para tokoh Islam.

Dalam perspektif HAM, adalah adil jika memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Itu juga dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 (2), bahwa: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Juga merupakan ke tidakadilan jika pandangan dunia se kularliberal dipaksakan kepada umat manusia, termasuk kepada umat Islam. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante, pada 12 November 1957, Mohammad Natsir menyam paikan pidatonya yang menolak sekularisme dalam ketatanegaraan.

Sekularisme, menurut Natsir, adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas ke duniaan dan tidak mengakui wahyu se bagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Islam jelas menawarkan pandangan dunia yang lebih baik dari sekulerisme, karena membawa kepada kebahagiaan dunia-akhirat. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (kemanusiaan). Kata Natsir, "Di mana sumber HAM itu?"

Pertanyaan Mohammad Natsir itu sangat mendasar. Jika sumber HAM itu berasal diri manusia itu sendiri, maka ma nusia dianggap memiliki kebebasan "se mau nya" sendiri. Karena itu, ada yang ber pandangan bahwa hidup bersama laki-laki dan perempuan tanpa nikah tidak melanggar kesusilaan dan kemanusiaan. Sebab, perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak mengganggu orang lain. Atas dasar itu pula, mereka berpandangan, bahwa disamping ada hak untuk hidup, manusia juga punya hak untuk mati (bunuh diri), sesuai dengan kemauannya sendiri. Konsep kebebasan sekuler inilah yang saat ini menimbulkan kebingungan moral di negara-negara sekuler. Misalnya, ketika mereka harus memutuskan, apakah perkawinan sesama jenis harus dilarang atau disahkan?

Menurut Mohammad Natsir, In donesia perlu menentukan sikap yang tegas, bah wa sekularisme tidak dapat memberi pandangan yang tegas dalam berbagai masalah kemanusiaan. Sedangkan agama dapat memberi keputusan yang terang. Kemhali ke pertanyaan Mohammad Natsir, "kemanusiaan" berdasarkan apa? Di mana sumber HAM itu?" HAM sekuler tidak me miliki landasan wahyu. Nilainya relatif, tergantung kesepakatan dan kondisi suatu masyarakat. Atas nama HAM, masyarakat Barat mengizinkan bahkan mengesahkan perkawinan homoseksual. Atas nama HAM, hukuman mati disebut tidak manusiawi.

Atas nama HAM, para pelacur diberi kebebasan untuk "mencari nafkah". Atas nama HAM, pemeran porno diizinkan menja lankan profesinya. Atas nama HAM, pelaku zina tidak dijatuhi hukuman dan pemakai khamar/Narkoba dibebaskan menjalankan aksinya, dengan syarat tidak mengganggu orang lain. Jadi, lagi-lagi, seperti pertanyaan Natsir, "Di mana sumber HAM itu?".

Konsep sekuler-liberal itulah yang digugat oleh Natsir dan para tokoh nasionalis Muslim lainnya. Ketika Pancasila diseret ke kutub sekularisme-liberalisme, bahkan ke kutub sekularisme-liberalisme ekstrim, seperti komunisme, ateisme, nihi lisme, maka para tokoh nasionalis Muslim berteriak lantang menentangnya. Karena itulah, Panitia Sembilan memutuskan ru musan Piagam Jakarta?termasuk Pan ca sila? de ngan menambahkan kata "adil dan beradab" pada sila kedua. Konsep ini ber beda dengan Pancasila usulan Soekano dan Mo hammad Yamin yang hanya menyebut da sar "kemanusiaan" dan "perikemanusiaan".

Penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan menjawab pertanyaan, "Bagaimana konsep HAM yang ideal untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan budaya Indonesia? Jawabannya adalah konsep "HAM yang Adil dan Beradab". Ini konsekuensi logis karena landasan HAM Indonesia adalah sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Konsep "adil" dan "beradab" pada sila kedua itu seharusnya dipahami sebagai konsep yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Banyak ayat-ayat al- Quran dan hadits Nabi Muhammad yang menjelaskan makna adil dan beradab. Seorang muslim pasti meyakini bahwa al- Quran adalah kitab sucinya; bukan kitab Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Meskipun, tentu saja, umat Islam tidak bersikap a priori menolak hal-hal positif yang ada pada kitab DUHAM.

Apalagi, dunia kini pun semakin me lihat, bahwa HAM yang diklaim sebagai ber sifat universal, ternyata juga tidak lepas dari pandangan sekuler, yang bersifat partikular, se bab berasal dari pengalaman sejarah dan ke aga maan masyarakat Barat itu sendiri. Ka re na itu, memaknai adil dan adab dengan mak na kebebasan model Barat tidak tepat un tuk kaum muslim, dan juga bangsa Indonesia.

Sebelum kedatangan Islam di Indo nesia, kata "adil" dan "adab" belum dikenal di wilayah Nusantara, sehingga untuk me mahaminya seharusnya dirujuk kepada makna-makna yang dipahami dalam konsep Islam, bukan pada pandangan dunia lain nya. Masuknya dua istilah itu dalam Pan casila sebenarnya telah menutup pintu rapat-rapat bagi masuknya konsep "HAM sekular dan liberal" yang bisa dilekatkan pada kata "perikemanusiaan" saja. Dengan de mikian, konsep "HAM secular dan li beral" bukan saja tidak sesuai dengan Pan casila, UUD 1945, dan budaya Indonesia, tetapi juga tidak adil dan tidak beradab. 

Dr Maneger Nasution 

Komisioner Komnas HAM

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement