Ahad 20 Dec 2015 13:00 WIB

Dewi Purnamawati Terkucil dari Keluarga demi Iman

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Dewi Purnamawati Terkucil dari Keluarga demi Iman

Kegalauan spiritualitasnya tak terjawab oleh Bibel.

Perempuan itu kini aktif mengisi pengajian di mana-mana. Selayang pandang, orang mungkin tidak menyangka, dia mantan aktivis gereja yang pernah begitu membenci Islam. 

Perempuan bernama lengkap Dewi Purnamawati itu tumbuh besar di lingkungan Katolik. Kekristenan sang ibu sangat kuat. 

Sang ibu adalah aktivis gereja yang berhasil memurtadkan tokoh agama Islam di kampungnya di Lombok. Sejak kecil, Dewi dan adik-adiknya dididik menjadi Kristen fanatik. 

Dewi juga menapaki jalan serupa sebelum berislam. Perempuan kelahiran Solo pada 1962 ini, sewaktu kecil sering mengajak teman- temannya ikut sekolah Minggu. "Pada 1970-an, mereka dibaptis bersama saya. Herannya, orang tua mereka tidak risau sama sekali," kata dia. 

Misi tersebut dia jalani hingga remaja. Sang ibu bahkan mendorong agar dia berpacaran dengan Muslim. Dewi pun menjalin hubungan dengan seorang aktivis gerakan mahasiswa Islam. Selama masa pacaran itu, Dewi tak menampakkan misinya, justru menonjolkan toleransi dan kepedulian. 

\"Jadi, kita bisa banyak membantunya dan membuatnya banyak bergantung pada kita,\" kata perempuan yang baru saja meraih gelar master di Universitas Muhammadiyah Surakarta ini (UMS) ini. Pelan-pelan, aktivis itu mulai merasa goyah dan rela dibaptis tanpa perlawanan. Pada 1985, mereka menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. 

Perkawinan itu tidak berumur panjang. Pada 1992, ia bercerai. Anaknya diasuh oleh orang tuanya di Lombok dan dididik menjadi Kristen militan. Pada masa-masa ini, kegelisahan Dewi mulai mencuat. \"Mengapa ada yang beragama Islam, Katolik, dan Kristen. Sesungguhnya, beragama Islam, Katolik, dan Kristen itu siapa yang memerintahkan?\" Pertanyaan demi pertanyaan mulai menghampiri.

Di dalam Bibel, dia tidak menemukan perintah beragama Katolik atau Kristen. 

Lebih lanjut, kata dia, ternyata Yesus tidak kenal Kristen atau Katolik. Istilah Kristen baru muncul pada masa Paulus, puluhan tahun sesudah Yesus wafat. 

Dulu, setiap kali Dewi bertanya kepada frater, pendeta, atau pastur, jawaban mereka pasti berputar-putar. Mereka mengatakan hal seperti itu tidak boleh dipertanyakan, cukup diimani.

Dewi mengaku sudah biasa dihukum karena bertanya. Dia juga pernah di-tengking pendeta (semacam di-ruqyah) karena dianggap kemasukan roh jahat. Setiap kali di-tengking, ia akan berpura-pura ndleming supaya pendeta mengira dia sudah kemasukan Roh Kudus. 

Meski menyimpan keraguan, perempuan asal Solo itu tetap setia dengan kekristenan karena kuatnya didikan sang ibu. Waktu itu, Dewi masih memandang rendah Islam. 

Opini buruk telanjur mencengkeram benaknya. Islam agama orang bodoh, pemalas, melarat, agama pedang, dan biang kerok segala kerusuhan. Kebetulan, gambaran umat Islam yang dia lihat di Lombok mendukung kesan negatif itu. 

Segudang pertanyaan Namun, hidayah Allah tak seorang pun mampu menolak. \"Jika memang Bibel sudah tuntas sempurna, mengapa Tuhan masih menurunkan Alquran? Fakta itu mengusik logika saya. Menggoyahkan iman Kristen saya,\" tutur Dewi. 

Ia lantas bertanya-tanya, benarkan Bibel kitab suci, bila di dalamnya termuat adegan vulgar dan tidak senonoh, seperti perzinaan? 

Bibel melarang minum anggur, tapi mengapa minuman itu dijadikan lambang darah Yesus dalam perjamuan kudus di gereja?

Masalah ketuhanan Yesus turut mengusiknya. 

Tuhan yang mati, Tuhan yang menjelma manusia, Tuhan yang dilahirkan, semua itu tidak dapat dinalar. Seabreg tanya, kemusykilan, kontradiksi, dan amoralitas di dalam Bibel membuat dia semakin bimbang. Dia jadi enggan ke gereja. Kalau toh memaksakan diri ke gereja, dia merasa tidak mendapatkan ketenteraman.

Saat ia tengah berada dalam krisis spiritualitas, sebuah peristiwa mengerikan nyaris merenggut nyawanya. Awal 1999, saat Dewi tengah melaju kencang dengan mobil menuju Madiun, ban mobilnya tiba-tiba bocor terkena potongan pelat besi. Sontak, mobil berjalan zig-zag tak keruan. Dia pucat pasi. 

Ketakutan akan kematian spontan menghantui.

Untungnya, dia belum ditakdirkan meninggal saat itu. Tuhan masih menyelamatkan. Dewi berhasil mengendalikan mobil dan menepi. Dia berhenti di pinggir persawahan yang sangat luas, jauh dari permukiman. Saat itulah, tiba-tiba terdengar kumandang azan Maghrib. Hatinya bergetar. Ia merasa harus segera memutuskan.

Setelah bertahun-tahun dalam pergulatan batin dan memohon petunjuk Tuhan, pada Februari 1999, Allah melapangkan dadanya untuk memeluk Islam. \"Islam adalah satu- satunya agama yang jelas-jelas Allah menyuruh manusia untuk menganutnya,\" ungkap Dewi, seraya merujuk surah al-Baqarah ayat ke-208. 

Ujian demi ujian Pada awal masuk Islam, Dewi menghadapi berbagai ujian. Keluarga, teman, dan tetangganya yang beragama Kristen mengucilkan dia, sementara orang-orang Islam masih mencurigai keislamannya. Dia pun pernah ditipu seorang kiai yang berlagak membimbing. Akibatnya, usahanya mengalami kebangkrutan. Ujian demi ujian dia jadikan bahan introspeksi.

Tak lama setelah berislam, Dewi menikah dengan seorang Muslim taat. Suaminya seorang manajer di sebuah perusahaan otomotif besar. Lelaki itu teguh memegang keislaman. 

Dia memilih keluar dari perusahaan ketika mengalami tekanan dan diskriminasi dari atasan non-Muslim. 

Akan tetapi, nasib berkehendak lain. Pada 18 Agustus 2003, ketika keislaman Dewi mulai bersemi, sang suami yang mengenalkan dan membimbingnya berislam, tanpa sakit dipanggil ke hadapan Allah.

Sepekan setelah kematian suaminya, sang ibu datang dari Lombok. Ibunya mendesak Dewi kembali pada kekristenan. Menghadapi desakan itu, Dewi tetap teguh. Ia tidak ingin melepas kebenaran yang telah dia pegang.

Akibatnya, semua biaya hidup Dewi sejak kecil hingga dewasa dihitung utang dan diberi tempo satu pekan untuk mengembalikan. Bila tidak mampu, dia harus kembali memeluk Kristen. Alhamdulillah. Dibantu ustaz dan beberapa rekan, dia mampu mengembalikan uang tersebut.

Yang paling pedih, dia tidak diaku ibu oleh anak kandungnya sendiri. Anak semata wayangnya tidak bersedia tinggal bersama dia, kecuali Dewi kembali ke Kristen. Ramadhan 2004, sang anak menelepon dari Lombok dan memberi pilihan: anak atau agama. 

Dewi tetap memilih Islam, anaknya tidak mau lagi mengakui dia sebagai ibu. \"Anak saya satu-satunya pun telah tidak lagi mengakui saya sebagai ibunya. Dia bilang ibunya sudah mati,\" 

kisah Dewi. Sejak itu, dia resmi mendapatkan pemutusan hubungan dari keluarga besar. 

Perempuan itu pun telah dipertemukan lagi dengan lelaki Muslim yang bisa menjadi imam dan teman seperjuangan. Meski menghadapi ancaman dan cobaan berulang, dia percaya, gelombang ujian bertubi-tubi tidak untuk menyurutkan iman. \"Allah mencintai hamba- Nya, menatar dan menggembleng hamba-Nya agar layak menempati kedudukan yang lebih mulia di sisi-Nya.\" 

(c38, ed: nashih nashrullah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement