Ahad 24 May 2015 18:56 WIB

Semoga tak Ada Motif Desakralisasi

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sebetulnya, tulisan ini tidak akan memperuncing kontroversi dan perbedaan boleh tidaknya membaca Alquran dengan langgam jawa seperti yang terjadi pada peringatan Isra Mi'raj di Istana Negara Jakarta, Jumat (15/5), atau varian lagu lain yang notabene non-Arab dan populer selama ini.

 Jangankan langgam jawa, seriosa, atau kategori lagu yang lain, lagu yang memang jamak diketahui dan diperdengarkan sekarang pun diperselisihkan. Ada saja pro dan kontra. Masing-masing pun memiliki argumen tersendiri. Yang tersisa saat ini tentu tinggal bagaimana etika menghormati mereka yang berbeda pendapat.

 Dalam kitabnya yang bertajuk al- Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Alquran, Dr Basyar Awad Ma'ruf memaparkan perbedaan pendapat di kalangan ulama menyikapi pembacaan Alquran dengan lagu (nagham). Sejumlah ulama klasik berpendapat hukum jenis bacaan Alquran semacam ini adalah makruh. 

Mereka, di antaranya, Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Said bin al- Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan al- Bashri, Ibnu Sirin, dan Ibrahim an- Nakhai. Dari ulama generasi kontemporer, nama Syekh Muhammad Abu Zahrah tercatat sebagai tokoh yang memakruhkan lagu bacaan Alquran. 

Ada pula ulama yang memperbolehkan. Mereka, antara lain, Abu Hanifah, Syafi'i, Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibnu Bathal, Abu Bakar bin al-Arabi, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Menurut Dr Basyar, sahabat Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas'ud, dan lainnya juga membolehkan Alquran dibaca dengan cara dilagukan. 

Syekh Rasyid Ridha, Syekh Labib as-Sa'd, dan Dr Abd al-Mun'im al-Bahi merupakan ulama kontemporer yang mendukung diperbolehkannya membaca Alquran dengan cara dilagukan.

Menurut saya, terlepas dari pro dan kontra di atas, keputusan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk mengangkat langgam Jawa ketika itu tidak sepenuhnya benar dan juga tak seratus persen keliru. Tentu kesimpulan ini sebatas penilaian pada tataran kulit, soal apa niat dan motif sesungguhnya yang dimiliki Menag, itu bukan urusan saya, tentu. Wallahu yatawalla as-Sarair. Hanya Menag dan Allah SWT yang tahu. 

Maksud dari tak seratus persen keliru karena bisa jadi niatan Menag mulia. Memasyarakatkan langgam Jawa yang terancam punah sekaligus kembali mempertegas karakteristik Islam nusantara yang begitu unik. Islam mampu berselaras dengan budaya lokal, pun demikian juga sebetulnya, jika kita fair bahwa munculnya lagu-lagu itu pun adalah bentuk dari produk asimilasi budaya Arab yang konon juga gemar melantunkan nagham- naghaman lokal. Selama tidak menabrak kaidah-kaidah bacaan Alquran, varian lagu itu, pada satu sisi, justru menunjukkan universalitas Alquran itu sendiri. 

Namun, pada saat bersamaan, keputusan Menag tersebut juga tak sepenuhnya benar. Ada cara-cara yang lebih elegan untuk memperkenalkan langgam tersebut. 

Mungkin dalam forum yang lebih ilmiah dan terbatas atau di hadapan para qari, misalnya. Saya masih berbaik sangka, jika Menag tidak bermaksud untuk membuat sensasi, lantas ingin banyak dikenal khalayak, dalam adagium Arab, khalif tu'raf. 

Semakin Anda melakukan hal kontroversial, tentu popularitas Anda akan melejit. Bagaimanapun, publik di Tanah Air belum begitu siap untuk menerima segala macam perkara yang belum akrab di mata atau telinga mereka sehingga wajar meminjam istilah Ali bin Abi Thalib, an- nasu a'dahu ma jahilu, tabiat manusia akan menolak apa pun perkara asing dan aneh yang belum familier. Entah pada sisi ini apa yang begitu mendorong Menag membuat keputusan yang lantas disaksikan jutaan mata pemirsa dan apakah sudah melewati pertimbangan yang matang. Al-khu ruj min al-khilaf mustahab menghindari munculnya polemik dan kontroversi sangat di anjurkan, bu kan malah me mancing masalah.

 Polemik ini pun anehnya telah dicampuraduk kan dengan bumbu-bumbu politik oleh sebagian kalangan. Mereka pun tak segan mengaitkannya dengan karakter rezim penguasa saat ini sehingga memuculkan kecurigaan sesama kita. Jika demikian taruhlah, sekalipun niatan Menag baik, tetapi efek dan imbasnya justru kontraproduktif. Lalu, mana yang lebih dipilih seharusnya? 

Akhirnya, kita semua berharap bahwa memang niatan Menag tersebut mulia, sekalipun pada praktiknya mendapat respons yang tak sedap. Pada saat yang sama, kita berharap pula bahwa kecurigaan yang mampir di benak saya secara liar (atau mungkin juga tak sedikit dari publik di Tanah Air?), yaitu upaya desakralisasi Alquran (berlebihan?) kian masif di negara ini. Semoga saja tidak dan cukuplah sampai di sini kontroversi kontrapoduktif itu. 

 

Oleh Nashih Nashrullah 

[email protected] 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement