Ahad 01 Feb 2015 20:14 WIB

MUSLIM ERITERIA Dihantui Penindasan dan Konflik

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Eritrea termasuk salah satu daerah Afrika yang pertama kali menerima sentuhan Islam.

Kendati demikian, kehidupan kaum Muslimin di negeri itu jarang sekali diungkap oleh media arus utama dunia.

Eritrea terletak di kawasan tandus Afrika. Negeri ini berbatasan langsung dengan Laut Merah di timur, Sudan di barat, Etiopia di selatan, dan Djibouti di sebelah tenggara. Pada masa lalu, Eritrea merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Aksum (Habasyah).

Seperti halnya Ethiopia, Eritrea meru pa kan salah satu kawasan yang menerima Islam secara damai pada periode risalah Nabi Muhammad SAW. Dekatnya jarak Eritrea ke Makkah, membuat proses masuknya Islam ke negeri ini berlangsung alamiah.

"Hari ini, Islam telah mengakar kuat di Eritrea. Islam memberi warna tersendiri pada kultur, sejarah, dan norma-norma sosial masyarakat di negara tersebut," tulis Ismael Mukhtar dalam makalah"Milestones in the History of Islam in Eritrea".

Menurut catatan sejarah, Islam mulai masuk ke Eritrea sekira 615 M. Ketika itu, kaum Muslimin menghadapi gangguan dan penyiksaan yang kejam dari orang-orang kafir Makkah. Demi menyelematkan iman mereka, Rasulullah lantas memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke negeri Habasyah.

Proses hijrah kaum Muslimin pada waktu itu dibagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada tahun kelima risalah Nabi (sekira 615 M). Rombongan ketika itu terdiri dari 11 laki-laki dan empat perempuan. Beberapa tokoh yang menonjol, di antaranya Ruqayah (putri Nabi Muhammad SAW) dan suaminya, Utsman bin Affan RA. Mereka menetap di Habasyah untuk waktu yang sangat singkat.

Gelombang berikutnya terdiri dari 83 laki-laki dan 18 perempuan. Mereka tinggal di Habasyah hingga tahun ke-8 Hijriyah (628 M). Dalam rombongan kedua ini terdapat Ja\'far bin Abi Thalib RA. Dia adalah saudara sepupu Nabi SAW yang berperan penting dalam penyebaran syiar Islam di Habasyah.

Penindasan Eritrea jatuh ke dalam cengkeraman kolonialisme Italia sejak 1889. Selanjutnya, keputusan PBB 1952 menetapkan Eritrea sebagai negara bagian Etiopia. Akan tetapi, masyarakat Eritrea menolak keputusan tersebut sehingga memicu sejumlah pem berontakan di penjuru negeri itu.

Semasa pemerintahan Haile Selassie (Kaisar Ethiopia yang memerintah hingga 1974), umat Islam Eritrea mengalami berbagai macam penindasan dan penyiksaan. Banyak Muslim yang tewas karena menen tang rezim tirani tersebut.

Antara 1967 hingga awal dekade 1970-an, ratusan ribu warga Eritrea ter paksa mengungsi meninggalkan kam pung halaman mereka lantaran sudah tidak tahan lagi dengan berbagai teror dan kekerasan yang dilakukan penguasa Ethiopia. Tidak sedikit perempuan, anak-anak, dan lansia yang meninggal dalam peng ngsian mereka.

"Tidak sampai di situ saja, ada sekitar 200 ribu warga Eritrea yang mati kelaparan karena kebijakan pertanian yang salah arah dari pemerintah," ung kap Harun Yahya dalam artikelnya, "The Struggle of Eritrean Muslims".

Kaisar Haile Selassie digulingkan melalui sebuah kudeta pada 1974. Pemerintahan Ethiopia selanjutnya diambil alih oleh junta militer yang berhaluan marxisme. Namun, situasi tersebut tidak mengubah keadaan umat Islam Eritrea.

Kaum Muslimin terus saja menghadapi penindasan, penyiksaan, dan penangkapan di bawah rezim komunis itu.

Pemimpin marxis Ethiopia, Mengistu Haile Mariam, tidak segan-segan membunuh orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dengan dirinya.

Selama 17 tahun kekuasaannya, 10 ribu masjid di Ethiopia dan Eritrea dihancurkan. Sekitar satu juta warga Muslim terpaksa mengungsi atau mencari suaka ke negara tetangga Sudan dan Somalia.

Rezim komunis Mengistu di Ethiopia berakhir menyusul runtuhnya Blok Timur pada 1991. Kelompok oposisi yang dipimpin oleh Isaias Afeworki kemudian menyerukan dibentuknya negara Eritrea merdeka. Hasil referendum yang dilakukan pada 25 April 1993 pun akhirnya memutuskan, Eritrea tidak lagi menjadi bagian dari Ethiopia.

Afeworki menjabat sebagai presiden Eritrea pertama pascakemerdekaan.

Namun, di bawah pemerintahan sang presiden, umat Islam Eritrea masih saja mengalami berbagai macam penindasan.

Banyak sekolah Islam yang ditutup dan tidak sedikit pula masjid yang dihancurkan selama periode Afeworki. Bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa resmi di Eritrea.

Ratusan ribu warga Eritrea meninggalkan rumah mereka dan berlindung di Sudan.

Afeworki--yang sampai hari ini masih menjadi presiden--juga membawa Eritrea ke ambang perang dengan negara-negara tetangga, seperti Yaman dan Djibouti.

Tidak hanya itu, dia juga memusuhi Sudan karena menampung pelarian politik dari negaranya.

Oleh Ahmad Islamy Jamil ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement