Rabu 25 May 2016 18:00 WIB

Kemesraan Dua Mantan Musuh Perang

Red:

Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama tiba dengan pesawat kepresidenan Air Force One pada Ahad (22/5) malam. Ia dijadwalkan berada di Vietnam selama tiga hari. Kehadirannya diharapkan dapat membuat kemajuan dalam meningkatkan hubungan dua negara dalam berbagai isu, khususnya pampasan perang dan ekonomi.

Pada Senin (23/5), AS akhirnya mencabut embargo senjata mematikan yang selama ini diberlakukan kepada Vietnam. Langkah bersejarah ini seakan membaurkan garis tegas yang selama ini membatasi dua musuh bebuyutan Perang Dingin. Tak hanya itu, pencabutan embargo memberi pesan bahwa kedua negara berbagi kekhawatiran bersama terhadap kekuatan militer Cina yang kian kuat.

Penghapusan embargo penjualan senjata dari AS ke Vietnam dinilai dapat memperkuat pertahanan negara di Asia Tenggara ini. Salah satunya adalah dalam menghadapi sengketa dengan Cina di Laut Cina Selatan.

"Jika AS mencabut embargo senjata, Cina tak bisa melihat Vietnam sebagai negara yang lemah," ujar salah seorang warga Vietnam, Khang.

Selama ini, konflik di Kawasan Laut Cina Selatan terjadi antara Cina, Taiwan, Filipina, dan beberapa negara lain, yaitu Malaysia, Thailand, serta Vietnam. Tiap negara itu memperebutkan kawasan yang berperan penting dalam lalu lintas perdagangan dunia tersebut.

Salah seorang pejabat di Departemen Pertahanan AS, John Kirby, mengatakan, Vietnam mendorongan hubungan yang lebih kuat dalam bidang pertahanan dengan AS. Menurutnya, AS siap untuk tetap terlibat membantu negara tersebut, termasuk dengan mempertimbangkan pencabutan penuh embargo senjata.

Sebelum kunjungan Obama, sejumlah pejabat AS, di antaranya adalah Deputi Menteri Luar Negeri AS Antony J Blinken, ingin memastikan jaminan hak asasi manusia (HAM) dari Vietnam. Hal ini agar sanksi embargo atas penjualan senjata dari AS ke Vietnam memungkinkan untuk dicabut.

Sebelumnya, Blinken mengatakan bahwa Vietnam telah membuat beberapa kemajuan dalam HAM, termasuk di antaranya meratifikasi Convention Against Torture dan Convention on the Rights of Persons with Disabilities

Namun, ia mendesak Pemerintah Vietnam untuk membebaskan semua tahanan yang terkait dalam sejumlah kasus. Di antaranya mereka yang ditahan karena mengutarakan pandangan politik di negara tersebut.

"Tak ada yang harus dipenjara semata karena mengekspresikan pandangan politik secara damai," kata Blinken menjelaskan.

Asa pada Obama

Tak sekadar penguasa di negara adidaya, kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Vietnam tentu memberi kesan yang berbeda bagi banyak orang di seluruh dunia. Khusus bagi warga di negara tersebut, AS tentunya tak terlupakan karena menjadi bagian dari sejarah mereka.

Seorang siswi sekolah menengah atas (SMA) di Vietnam bernama Xuan Mai mengatakan begitu antusias menyambut kedatangan Presiden AS. Menurut dia, ini merupakan kesempatan bagi negaranya unjuk diri pada dunia.

"Ini adalah kesempatan untuk memperlihatkan bagaimana negara kami telah berkembang," ujar perempuan berusia 16 tahun itu, dilansir USAtoday. 

Sementara itu, seorang pria bernama Bao Khang mengatakan, kunjungan Obama bukan hal yang mengejutkan. Ia yang bekerja sebagai akuntan publik menekankan Vietnam kini bukanlah sebuah negara yang miskin.

"Begitu banyak pemimpin dunia yang kini datang ke Vietnam. Keadaan negara kami telah jauh berbeda dari masa lalu," kata pria berusia 29 tahun itu.

Kunjungan Obama ke Vietnam sebagai bagian dari kunjungan Asia menekankan kembali komitmen AS dalam menyeimbangkan hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik

Vietnam adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi bagian dari Trans-Pacific Partnership, sebuah pakta perdagangan bebas yang begitu besar dan terdiri atas 12 anggota serta memengaruhi sekitar 40 persen dari ekonomi global.

Waktu kunjungan Obama ini juga bertepatan dengan akan berakhirnya masa jabatan presiden AS tersebut pada November mendatang.

"Ini membuktikan bahwa mantan musuh dapat menjadi mitra yang kuat," ujar Deputi Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dilansir the Diplomat.  Oleh Puti Almas/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani

***

Setelah 41 Tahun Berlalu

Amerika Serikat (AS) adalah negara yang pernah melangsungkan peperangan dengan Vietnam pada masa Perang Dingin yang terjadi antara 1957 dan 1975. Dikenal dengan Perang Vietnam atau Perang Indocina Kedua, perang yang berakhir pada 1975 ini merupakan perang antara dua kubu ideologi besar, yaitu komunis dan liberal.

Saat itu, dua kubu yang terbagi atas Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) saling berperang. AS dan beberapa negara lainnya, yaitu Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina berpihak pada Vietnam Selatan.

Sementara, Vietnam Utara yang berideologi komunis didukung oleh Uni Soviet dan Cina. Pada awalnya, Ho Chi Minh, yang dikenal sebagai presiden pertama Vietnam, berhasil mengusir Jepang yang menginvasi dan menduduki Vietnam selama Perang Dunia II, serta Pemerintah Kolonial Prancis yang berkuasa di sana sejak akhir abad-19, tepatnya pada 1945.

Ho Chi Minh yang sebelumnya telah membentuk Viet Minh atau Liga Kemerdekaan Vietnam, mendeklarasikan Republik Demokratik Vietnam atau DRV. Namun, Prancis yang saat itu ingin mendapatkan kembali kontrol atas wilayah di Vietnam, didukung oleh Kaisar Bao Dai mendirikan sebuah negara yang dikenal dengan Vietnam Selatan pada 1949 dengan Saigon sebagai ibu kota. Konflik bersenjata terus berlangsung hingga berakhir dengan kekalahan pasukan Prancis oleh Viet Minh.

Setelah itu, terjadi negosiasi perjanjian di Jenewa yang membagi Vietnam sebagai paralel ke-17, yaitu Ho memegang kontrol wilayah Utara dan Bao di Selatan. Meski demikian, Bao yang diangkat sebagai Presiden bersama dengan Perdana Menteri yang ditunjuk, Ngo Dinh Diem, terus berupaya mencari dukungan untuk melawan paham komunis.

Saat itu, Perang Dingin terus meningkat intensitasnya dan AS di bawah kepemimpinan Presiden Dwight D Eisenhower terus mencoba melawan Uni Soviet. AS menjanjikan dukungan kuat untuk Vietnam Selatan dengan pelatihan dan peralatan militer dari negara adidaya tersebut. 

Pasukan Viet Minh serta penentang rezim represif Diem berjuang pada 1957 dengan mengintensifkan serangan terhadap pasukan darat Vietnam Selatan dan militer AS.

Pada 1963, setelah Presiden AS John F Kennedy tewas, penggantinya Presiden Lyndon B Johnson serta Menteri Pertahanan AS Robert McNamara meningkatkan dukungan militer AS untuk Vietnam. Peningkatan pasukan militer juga dilakukan, mulai dari 1965 dengan jumlah sebanyak 82 ribu, hingga akhir Juli 1965 mencapai lebih dari 175 ribu personel dan 1967 mendekati 500 ribu.

Puncak keterlibatan AS dalam perang adalah pada 1969 saat lebih dari 500 ribu personel militer AS dikerahkan. Saat itu juga, tumbuh oposisi terhadap perang di AS yang menyebabkan perpecahan di antara kalangan orang Amerika. Bahkan, hal itu tetap berlangsung setelah pada 1973, Presiden AS Richard Nixon memerintahkan penarikan pasukan dari Vietnam.

Pada 1975, pasukan komunis menguasai Saigon dan mengganti nama kota tersebut menjadi Ho Chi Minh. Hal ini juga sekaligus menjadi tanda berakhirnya Perang Vietnam. Pada tahun berikutnya, negara itu bersatu sebagai Republik Sosialis Vietnam.

Dampak perang tersebut dirasakan Vietnam maupun AS. Pada 1986, perekonomian Vietnam yang sempat hancur akibat perang pun mulai membaik. Belum lagi, pendapatan ekspor minyak dan masuknya modal asing juga mendukung kemajuan negeri ini.

Bagi AS, Perang Vietnam yang berlangsung pada 1965 hingga 1973 merupakan perang yang menghabiskan kekayaan negara, yaitu lebih dari 120 miliar dolar AS. Hal ini menyebabkan inflasi luas dan diperburuk dengan krisis minyak dunia pada 1973, serta melonjaknya harga bahan bakar minyak (BBM). 

Meski demikian, pada 1990-an, hubungan diplomatik dan perdagangan antara Vietnam dan AS terjadi kembali. Presiden AS Bill Clinton juga menjadi pemimpin negara adidaya pertama yang datang mengunjungi Vietnam sejak berakhirnya perang.

Saat itu, Clinton mencoba untuk melakukan normalisasi hubungan antara AS dan Vietnam. Perjalanan suami dari Hillary Clinton itu sekaligus menjadi perjalanan luar biasa dalam masa kepresidenannya.

Kemudian, Presiden George W Bush pada 2006 juga mengunjungi Vietnam. Namun, tidak ada gagasan yang berhubungan dengan perdamaian atas perang di masa lalu tak terucap sedikit pun darinya.

Kali ini, 41 tahun setelah Perang Vietnam berakhir, Obama sebagai presiden AS ketiga yang mengunjungi Vietnam. Ia disebut-sebut membawa misi yang lebih dramatis. Setelah dua negara pernah terlibat dalam permusuhan panjang, kali ini kesempatan untuk menciptakan kemitraan terbuka lebih luas.   reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani

***

Serba-Serbi

-Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama tiba di Vietnam pada Senin (23/5) untuk melakukan kunjungan tiga hari.

-Kini, 41 tahun setelah Perang Vietnam berakhir, Obama sebagai presiden AS ketiga yang mengunjungi Vietnam.

-Pada Senin, Obama mencabut embargo senjata mematikan yang selama ini dijatuhkan pada Vietnam.

-Vietnam adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi bagian dari Trans-Pacific Partnership (TPP), sebuah pakta perdagangan bebas yang digagas AS. TPP memiliki 12 anggota serta memengaruhi sekitar 40 persen dari ekonomi global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement