Caitlin Kindervatter-Clark terkejut. Guru di Amerika Serikat yang mengajar sejumlah murid keturunan Arab di UC Berkeley Extension ini mendengar kata "hamas" berulang-ulang diucapkan murid-muridnya. Mereka sedang membahas tugas esai.
Caitlin yakin diskusi murid-muridnya yang menggunakan campuran bahasa Arab dan Inggris sudah menyimpang dari topik. Baginya, hamas mengingatkannya pada Jalur Gaza di Palestina. Namun, para murid meyakinkan bahwa diskusi tetap masih soal tugas esai mereka.
"Lalu, mengapa kalian terus membahas tentang Palestina?" tanya Caitlin.
Para murid itu memandang Caitlin dengan aneh sebelum akhirnya tawa pun pecah. Caitlin akhirnya paham, kata hamas yang mereka ucapkan berarti "semangat". Sang guru pun paham, mereka tak sedang membahas Palestina. Pengalaman Caitlin ini dituangkan dalam artikel di Washington Post, Rabu (20/4). Rupanya, kata "hamas" diucapkan sebagai ekspresi untuk saling menyemangati.
Akhirnya kata hamas menjadi candaan di kelas. "Jangan terlalu hamas," ujar Caitlin ketika kelas mulai ramai dan berisik. Seisi kelas biasanya tertawa.
Caitlin kemudian menulis, insiden itu membuatnya sadar bahwa pemahamannya terhadap istilah Arab ternyata diterima lewat kacamata media tentang perang dan terorisme. Saat ia mencoba mencari arti hamas yang tidak terkait Palestina, pencarian Caitlin berakhir dengan tangan kosong.
Murid-muridnya kemudian mengajari Caitlin kata-kata harian yang biasanya dipandang orang Amerika sebagai kata-kata terkait ekstremisme Islam.
Setiap hari, para muridnya shalat dan mengucapkan Allahu akbar. Kini, Caitlin menilai ucapan takbir itu sebagai kata yang khusyuk dan damai.
Para murid juga mengajari Caitlin kata "qawaeid" yang artinya tata bahasa. Namun, kata itu dipakai oleh kelompok teroris Alqaidah. Caitlin pun menulis, "Saya hanya bisa membayangkan betapa orang Amerika akan sangat curiga dan menyalahartikan percakapan para murid saya tentang tata bahasa."
"Berkat para murid saya, saya memiliki kesempatan untuk secara rutin mendengarkan istilah bahasa Arab dengan makna yang netral dan dipakai sehari-hari. Kata-kata itu kerap terdengar di ruang kelas kami saat istirahat dan diskusi kelompok," tulis Caitlin.
"Para murid saya menggabungkannya dengan bahasa Inggris dan nama sehingga saya sering dapat memahami makna kata yang mereka ucapkan tanpa diterjemahkan. Mereka berbincang hal yang sama seperti remaja Amerika belasan tahun: tentang pendaftaran kuliah, film, musik, masalah dengan guru dan ujian, atau rencana musim semi," kata Caitlin melanjutkan.
Caitlin pun mengingatkan diskriminasi yang terjadi pada penumpang Southwest Airlines gara-gara ia berbicara dalam bahasa Arab. Menurut guru bahasa Inggris ini, warga Amerika seharusnya lebih sering mendengarkan bahasa Arab dalam hal yang normal dan keseharian.
"Murid-murid saya mengatakan, mereka tidak akan berbicara bahasa Arab di bandara Amerika mana pun karena berisiko tinggi akan dicap sebagai ancaman keamanan," tulis Caitlin.
Caitlin pun bertanya, akankah orang Amerika merasa lebih aman jika 300 juta orang berbahasa Arab tidak lagi berbincang dalam bahasa itu di bandara atau tempat umum lainnya? "Rasanya tidak," katanya. "Kita justru perlu mendengar bahasa Arab apa adanya. Hanya itu caranya kita bisa mulai mengaitkan bahasa dengan maknanya yang luas dan berlapis daripada sekadar dengan makna yang terbatas pada istilah yang digunakan ekstremis."
Kini, kata Caitlin, "Saya tidak mengaitkan bahasa Arab dengan ekstremisme agama. Saya mengaitkan bahasa itu dengan penerimaan dan penolakan yang dirasakan para murid saya dengan drama dan tawa mereka, dengan harapan mereka akan masa depan: baik untuk mereka sendiri, negara mereka, dan dunia." Oleh Yeyen Rostiyani