Jumat 06 Jan 2017 14:00 WIB

Polri Catat 25 Kasus Intoleransi

Red:

JAKARTA -- Polri mencatat 25 kasus intoleransi terjadi sepanjang 2016. Kasus tersebut berlangsung dalam bentuk pelarangan hingga perusakan rumah ibadah.

Kasus intoleransi terjadi disebabkan perbedaan penafsiran ajaran agama. Hal itu ditemukan dalam beberapa kasus intoleransi yang ditangani Polri di lapangan. "Tumbuhnya aliran yang memfitnah, mengharamkan, mengafirkan aliran lain, akhirnya jadi satu masalah," kata Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono dalam diskusi Wahid Foundation "Potret Toleransi di Indonesia tahun 2017", di Jakarta, Kamis (5/1).

Selain itu, terdapat aksi penolakan pendirian tempat ibadah. Kasus ini terjadi di beberapa daerah. Masyarakat di sana menolak pendirian rumah ibadah. Awi mencontohkan, di Pulau Jawa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, misalnya, terjadi penolakan pendirian gereja. Sedangkan, di Manado, dengan mayoritas penduduk beragama Nasrani, terjadi penolakan pendirian masjid.

Sementara, Komnas HAM mencatat terjadi peningkatan kasus intoleransi dibanding dua tahun sebelumnya. Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM Jayadi Damanik mengatakan, pada 2014, pihaknya mencatat sebanyak 74 kasus intoleransi masuk dalam meja pengaduan Desk KBB. Tahun 2015, jumlah pengaduan meningkat, dengan total pengaduan sebesar 87 kasus.

"Tahun 2016 hampir 100 kasus. Kami akan publikasikan datanya tanggal 10 nanti," ucap Jayadi.

Program Officer Advokasi dan Riset Wahid Foundation Alamsyah M Dja'far mengungkapkan, Muslim Indonesia meyakini Pancasila dan demokrasi sebagai modal besar bangsa Indonesia. Masyarakat sangat mendukung toleransi.

Sinergi semua pemangku kepentingan seperti organisasi masyarakat sipil, pegiat perdamaian, tokoh agama, dan pemerintah menjadi kunci mengatasi intoleransi," ujar Alamsyah. 

Menurut Alamsyah, intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dipengaruhi banyak faktor, seperti sosial, ekonomi, politik, termasuk meningkatnya ujaran kebencian. Intoleransi berbasis agama terjadi karena faktor kesenjangan pengetahuan dan ekonomi, termasuk pengaruh konflik yang ada di luar negeri.

Alamsyah menekankan, modal mengatasi persoalan ini cukup besar. Sebenarnya bisa teratasi asal ada komitmen dan usaha semua pihak. Terlebih, kata dia, survei nasional Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia 2016 lalu menyatakan, 72 persen umat Islam di Indonesia menolak radikalisme.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Imam Aziz mengungkapkan, prinsip kehidupan ulama bisa menjadi pemicu toleransi dalam masyarakat. "Ulama memiliki prinsip kehidupan masyarakat tersendiri yang toleran dan moderat," kata Imam.

Nahdlatul Ulama memiliki prinsip tidak akan pernah mengafirkan, membid'ahkan, dan menyesatkan orang lain tanpa klarifikasi terlebih dulu. Prinsip ini dinilainya penting untuk menjaga kerukunan hidup umat beragama di Indonesia.

Imam memproyeksikan, kondisi toleransi di Indonesia pada 2017 akan bergantung kepada penegakan hukum, terutama atas kasus-kasus yang menyangkut kehidupan beragama. Pihaknya meminta hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.     rep: Wahyu Suryana, ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement