Senin 13 Oct 2014 15:00 WIB

DPR Diminta Prioritaskan RUU PTT

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso berharap, RUU pembatasan transaksi tunai bisa masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pemerintah dan DPR.

"Mudah-mudahan bisa masuk prioritas Prolegnas pemerintah dan DPR," ujarnya kepada Republika saat dihubungi, Ahad (12/10).

Ia menuturkan, draf RUU pembatasan transaksi tunai sudah rampung diselesaikan beserta naskah akademiknya. 

Menurutnya, dalam RUU pembatasan transaksi tunai berisi tentang kewajiban membatasi transaksi tunai maksimal sampai Rp 100 juta. Apabila lebih dari nilai tersebut, harus dilakukan via transfer.

Agus mengatakan, dengan demikian, jika RUU tersebut disahkan menjadi UU, UU pembatasan transaksi akan menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan transaksi di pemerintahan pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.

Menurutnya, banyak hal yang menguntungkan yang dapat diperoleh dengan UU pembatasan transaksi tunai, di antaranya, merupakan upaya terobosan untuk mencegah korupsi dan TPPU.

Serta, mendorong cepat terwujudnya kebiasaan transaksi nontunai (less cash society) dan mendorong efisiensi dalam pengelolaan uang kartal dan uang yang beredar.

Selain itu, meningkatkan perlindungan masyarakat untuk terhindar dari uang palsu.

Pakar hukum tindak pidana pencucian uang Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan, sudah seharusnya DPR membahas dan kalau bisa, segera mengesahkan RUU ini. Jika tidak, kejahatan korupsi berupa tindak pidana pencucian uang akan sulit terlacak.

"Kejahatan korupsi sulit dilacak kalau dengan transaksi tunai," kata Yenti saat dihubungi Republika, Ahad (12/10).

Tetapi, jika transaksi menggunakan jalur perbankan, akan mudah dilacak. Baik itu transaksi menggunakan uang halal maupun hasil kejahatan.

Dari segi keamanan pun transaksi uang tunai harus dibatasi. Ia mencontohkan, sopir Akil Mochtar yang membeli mobil mewah dengan membawa uang tunai yang dimasukkan ke dalam kardus. "Ini tidak patut," katanya.

Selain itu, Yenti mengatakan, jika belum ada aturan resmi soal pembatasan transaksi tunai, bukan tidak mungkin kejahatan pencucian uang terus akan terjadi. Selama ini, kasus pencucian uang didahului oleh terungkapnya kasus korupsi. "Jika tidak ada kasus, ribuan tindak pencucian uang yang lain tak akan terungkap," kata Yenti.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menyatakan bahwa pembatasan transaksi tunai merupakan kondisi yang mendesak. Menurut Bambang, kalau transaksi tunai dibatasi, tentu akan meminimalisasi peredaran uang palsu.

Bambang mengatakan, transaksi tunai ini kemudian menjadi masalah yang salah satunya disebabkan oleh masalah yang berawal dari hulu satu organisasi yang dalam hal ini dicontohkan berupa partai politik. Dengan tidak memiliki sistem pengujian akuntabilitas keuangan yang baik, biaya politik tinggi.

"Ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang karena sebagian besar pengurus partai di hilir adalah pemegang kekuasaan," kata Bambang. c75 ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement