Ahad 27 Nov 2016 15:00 WIB

Indonesia Siapa Punya?

Red:

Siapa sesungguhnya pemilik Indonesia? Di negeri ini, tentu tak satu pihak manapun berhak menepuk dada sebagai paling berdarah Merah Putih. Mengklaim diri sebagai pewaris dan penjaga utama Negara Kesatuan Republik Idonesia, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Indonesia milik semua untuk semua.

Sangat gegabah jika ada orang menyatakan bahwa Indonesia belum teruji kebinekaannya jika minoritas belum menjadi seorang presiden. Lebih-lebih ketika ujaran itu diungkapkan dengan nada angkuh, seolah ukuran keindonesiaan ialah kedigdayaan diri dalam singgasana kuasa. Sebuah kesombongan yang dapat menjadi duri tajam di tubuh negeri ini.

Manakala ada segelintir orang ingin menguasai Indonesia dengan hasrat kuasa berlebih, ingatlah pesan Bung Karno, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki Indonesia dengan nafsu chauvinis.

Bercerminlah pada jiwa kenegarawan para pendiri bangsa. Tatkala Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan gagasan Islam sebagai dasar negara pada sisang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah seorang bangsa Indonesia tulen dan sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka.

Pengorbanan Umat

Umat Islam, meski mayoritas dan kuat keyakinan keagamaannya, sungguh mencintai dan menjadi tonggak penyangga keindonesiaan yang setia. Umat juga sangat toleran dan menjunjung tinggi kebinekaan. Keislamannya tidak oposisi biner dengan keindonesiaan dan kemajemukan bangsa, bahkan menjadi perekat utama. Islam menjadi kekuatan integrasi nasional, demikian disampaikan Prof Koentjaraningrat.

Merupakan suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai golongan eksklusif, yang hanya mementingkan urusannya sendiri. Keislaman juga bukan tidak berseberangan dengan keindonesiaan. Jika ada yang berlogika, Tak perlulah bicara Islam, sebutlah Indonesia, pandangan itu justru beraroma eksklusif karena mengandung makna penegasian Islam di negerinya sendiri.

Tak perlu ada Islamofobia di negeri Muslim terbesar ini karena watak umatnya juga toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukankah primordialisme. Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.

Pandangan negatif itu tentu sangat tidak beralasan. Perjuangan umat Islam melawan penjajah beratus tahun sarat heroisme. Islam dan umat Ialam sangat ditakuti penjajah, hingga memggunakan berbagai muslihat yang licik. Para tokoh, seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah karena ditipu. Snouck Hurgronje bahkan harus mengaku Muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia guna mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam.

Ketika pergerakan nasional awal abad kedua puluh menggunakan cara-cara modern, umat Islam pun berdiri di garda depan. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah nasib rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaan dan kemajuan. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah.

Tatkala Indonesia di ambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus berkorban luar biasa. Padahal, Piagam Jakarta kala itu merupakan gentlement agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Sukarno.

Para tokoh Islam, yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, dilakukan para wakil umat Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kurang apa lagi sebenarnya pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk bangsa dan negaranya? Jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti terjadi. Lebih-lebih tokoh sentral seperti Sukarno menjadi pemrakarsa dan sangat mendukung Piagam Jakarta itu, hingga pada 5 Juli 1959 dalam dekrit presiden, konsisten menjadikan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Namun, ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya samudra. Meski laksana anak gemuk yang memperoleh baju sempit karena semua diberi pakaian berukuran sama, umat Islam tetap selalu memberi dan tak pernah meminta lebih. Apalagi, tatkala ada segolongan kecil menguasai kue nasional yang melampaui takaran, umat Islam tetap tak marah meski hatinya terluka dan dirinya marginal dari pusaran utama Indonesia.

Urat sabar umat Islam juga cukup lebar dan tidak putus. Tatkala hak-hak dasarnya kurang terpenuhi, karena satu dan banyak sebab, yang menjadikan dirinya terpinggir dalam sejumlah hal, pengkhidmatannya untuk negara tak kenal lekang. Bahkan, ketika denyut nadi keagamaannya tersakiti dan menunut keadilan, malah dipandang sebagai ancaman bagi kehinekaan. Kebinekaan terkesan milik sekelompok orang yang bersuara lantang di ruang publik.

Nilai luhur utama

Keindonesiaan itu luhur dan bercita-cita. Bung Hatta berkata, Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita, yakni hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun ruhani. Hatta menarik keindonesiaan pada cita-cita dan perwujudannya dalam dunia nyata. Manakala ada segolongan kecil yang bahagia dan berkemakmuran, sementara mayoritas nestapa, maka kondisi timpang ini harus diluruskan dan dipecahkan secara kolektif. Negara atau pemerintah wajib hadir dan tidak boleh abai atas disparitas nasional ini.

Pemilik Indonesia juga bukan mereka yang setiap hari lantang memekikkan kata merdeka. Bukan pula karena sering merayakan segala kegiatan simbolik berlabel Indonesia, kebinekaan, dan jargon-jargon bernuansa Merah-Putih lainnya. Semua baju luar itu sekadar atribut dan verbalisme, belum membuktikan keindonesiaan yang esesni dan sejati. Keindonesiaan itu harus bersemi dalam jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan yang luhur dan utama sebagaimana disemaikan oleh para pendiri bangsa tahun 1945 secara autentik. Keindonesiaan yang membumi.

Maka, dalam keindonesiaan, termasuk di dalamnya kebinekaan, sesungguhnya ada nilai-nilai utama yang mesti dijadikan pedoman dan ditegakkan oleh seluruh komponen bangsa. Tumpuannya pada nilai-nilai fundamental yang hidup subur dalam bumi rakyat Indonesia, sebutlah agama dan Pancasila. Agama di negeri ini bahkan telah menjadi jiwa kebangsaan dan mendapat tempat konstitusional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya Pasal 29. Ingatlah kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. Agama juga telah hidup mendarah daging dalam jati diri bangsa jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.

Agama harus memperoleh tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Agama apa pun tidak boleh disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan dari denyut nadi kehidupan bangsa dan negara. Sekali agama dan perasaan beragama dicederai, dinodai, dan dinista oleh perangai yang sembrono, maka keindonesiaan dan kehinekaan pun terlukai. Ada niat atau tidak diniati, tindakan yang berakibat pada pencederaan keyakinan dan rasa keberagamaan tetaplah bermasalah dan muaranya menodai keberagamaan.

Namun, bagi umat beragama, tentu agama pun harus menjadi nilai luhur transendental yang mencerahkan jiwa, hati, pikiran, sikap, dan tindakan bagi para pemeluknya. Sehingga, dengan agama para umatnya hidup berketuhanan, berperikemanusiaan, dan berkeadaban mulia. Setiap insan beragama menjadi saleh secara individual dan sosial serta melahirkan sosok-sosok teladan yang autentik. Jujur dan tidak menjualbelikan urusan agama. Beragama dan menyuarakan ajaran damai pun bukanlah retorika di pentas forum dan wacana megah, tetapi harus dalam perbuatan autentik. Para tokohnya pun lurus hati dan tidak seperti burung merak. Agama harus benar-benar menjadi rahmat bagi semesta.

Nilai luhur lain dalam hidup berbangsa ialah kebersamaan yang autentik atau genuin sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan kebudayaan bangsa. Tidak boleh segelintir orang menguasai Indonesia, yang menyebabkan hilangnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tidak boleh seseorang atau sekelompok orang karena merasa digdaya lantas berbuat sekehendak dirinya, yang menyebabkan kehidupan berbangsa secara kolektif menjadi retak berantakan. Apalagi, manakala perangai ugal-ugalan itu mengatasnamakan keindonesiaan, kehinekaan, dan Pancasila.

Jika semua merasa memiliki Indonesia, belajarlah hidup dalam kebersamaan yang autentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun tidak anarki. Semua harus saling berbagi, memahami, serta menjamin hak hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura. Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati dan menghargai mayoritas, ujar Presiden Joko Widodo. Lalu, untuk apa menguasai Indonesia dengan hasrat angkara?       Oleh Haedar Nashir

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement