Jumat 07 Oct 2016 15:40 WIB

Kasus Anak Korban Perceraian Tinggi

Red:

JAKARTA -- Kasus terkait anak korban perceraian menduduki peringkat kedua dari total pengaduan kasus-kasus perlindungan anak kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Terkait hal itu, pihak-pihak terkait diminta meminimalkan potensi kekerasan terhadap anak korban perceraian.

Berdasarkan data yang dihimpun Republika dari KPAI, sepanjang periode 2011-2016, tercatat 4.294 pengaduan kasus anak korban pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif. Jika dilihat dari keseluruhan kategori pengaduan, jumlah ini menduduki peringkat kedua setelah kategori laporan kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang mencapai 7.698 kasus.

Komisioner KPAI Rita Pranawati menuturkan, menurut data KPAI, anak-anak korban perceraian rawan mengalami lima bentuk kekerasan. "Anak-anak korban perceraian rawan mengalami perebutan hak asuh, pelanggaran akses bertemu orang tua, penelantaran hak diberi nafkah, anak hilang, serta menjadi korban penculikan keluarga. Kasus-kasus anak korban perceraian yang kami alami meliputi lima kategori tersebut," ujar Rita kepada Republika, Rabu (5/10).

Menurutnya, data pengaduan itu dihimpun dari berbagai sumber, seperti laporan langsung, laporan secara daring, pendataan dari lembaga mitra KPAI, dan pemantauan media. Rita mengklaim, mayoritas aduan kasus anak akibat perceraian didahului oleh orang tua yang menikah pada usia dini.

Orang tua muda yang bercerai, menurutnya, masih banyak yang belum menyadari jika konflik dapat membuat anak merasa terintimidasi. Jika demikian, secara jangka panjang ada dampak trauma psikologis yang diderita anak.

Rita mengiyakan, konflik akibat perceraian dapat mengurangi kualitas generasi muda secara jangka panjang. Karena itu, pihaknya menyarankan agar orang tua yang bercerai mau menyadari pentingnya menjaga pola asuh bersama. Meski sudah berpisah, kedua orang tua wajib memberikan kasih sayang yang sama rata kepada anak.

Orang tua pun disarankan tidak membuat suasana menjadi intimidatif. "Jangan paksa anak memilih orang tuanya. Sebaiknya orang tua tetap bekerja sama memberikan kasih sayang dan mendampingi anak hingga dewasa," kata Rita.

Sedangkan, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP-PA) Pribudiarta Nur Sitepu menyarankan orang tua yang bercerai tetap menjaga relasi yang baik dengan anak. Hal ini penting dilakukan mengingat ada potensi kekerasan dan dampak psikologis akibat perceraian terhadap anak.

Ia mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, setiap anak harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, hak bermain, hak mendapat pendidikan, kesehatan, maupun nafkah dari orang tua. "Anak-anak korban perceraian pun berhak atas hal-hal seperti itu," ujar Pribudiarta kepada Republika, Kamis (6/10).

Karena itu, kedua orang tua yang telah bercerai tetap wajib memenuhi hak-hak tersebut. Orang tua disarankan memberikan waktu yang seimbang kepada anak.

Menurut Pribudiarta, anak-anak korban perceraian akan mengalami dampak psikologis seperti trauma atau kondisi mental yang tidak stabil. Selain itu, mereka juga rawan menerima bentuk-bentuk kekerasan akibat ego dari orangtua yang sudah bercerai. "Relasi orangtua dengan anak harus terjaga, begitu pula dengan kasih sayang sehingga mental anak tetap stabil," kata Pribudiarta.

Sebelumnya, pihak Direktorat Badan Pengadilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat angka perceraian yang terus menerus mengalami peningkatan. Tak hanya dari segi jumlah, persentase perceraian dibanding pernikahan dalam setahun juga terus meningkat.

Peningkatan terus-menerus itu, menurut sejumlah pihak yang ditanyai Republika sepekan belakangan, tak bisa lagi dibiarkan. Para pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait diharapkan melakukan tindakan preventif guna mencegah ancaman penurunan kualitas anak-anak Indonesia yang terdampak akibat meningkatnya jumlah perceraian.     rep: Dian Erika Nugraheny, ed: Fitriyan Zamzami

***

ADUAN ANAK TERKAIT PERCERAIAN

Korban Perebutan Hak Asuh

2013: 368 (4,3 persen)

2014: 374 (3,7 persen)

2015: 287 (3,3 persen)

2016: 186 (3,4 persen)

Pelarangan Akses Bertemu Orang Tua

2013: 256 (3,0 persen)

2014: 282 (2,8 persen)

2015: 312 (3,6 persen)

2016: 193 (3,6 persen)

Penelantaran Ekonomi

2013: 237 (2,7 persen)

2014: 223 (2,2 persen)

2015: 182 (2,1 persen)

2016: 124 (2,3 persen)

PEMUNCAK ADUAN ANAK (2011-Juli 2016)

Anak Berurusan dengan Hukum: 7.698 (34,8 persen)

Keluarga dan Pengasuhan Alternatif: 4.294 (19,4 persen)

Pendidikan: 2.435 (11 persen)

Sumber: Diolah dari bankdata.kpai.go.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement