Kamis 06 Oct 2016 14:00 WIB

Pernikahan Dini Rentan Perceraian

Red:
Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pernikahan Dini

JAKARTA - Pernikahan dini dinilai jadi salah satu penyebab utama terus meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Sejauh ini praktik tersebut masih marak terjadi di seantero Tanah Air.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Sutrapaty mengatakan, pernikahan yang dilakukan sebelum usia 21 tahun memang rentan perceraian. "Memang benar pernikahan usia dini menjadi salah satu penyebab perceraian. Kami selalu menekankan bahwa menikah harus terencana, bukan karena bencana," ujar Surya kepada Republika, Rabu (5/10).

Sebelum usia 21 tahun, kata dia, mental remaja belum sepenuhnya siap untuk menikah. Sebab, di usia tersebut proses pembelajaran remaja menjadi individu dewasa belum tuntas. Keinginan untuk belajar dan mencari jati diri masih berpengaruh kuat pada diri remaja.

Sementara, dari sisi fisik, sistem reproduksi remaja perempuan belum sepenuhnya matang. Menikah di usia dini berisiko kelahiran prematur, angka kematian ibu serta bayi pun tinggi.

Karena itu, Surya menyarankan remaja agar sebisa mungkin menghindari pernikahan sebelum usia 21 tahun. Remaja juga diminta memahami informasi tentang kesehatan reproduksi untuk menghindari seks bebas.

Dia menegaskan, pernikahan dini yang diikuti perceraian berpengaruh buruk bagi anak yang dilahirkan. Sebab, anak-anak yang lahir dari kondisi tersebut cenderung mendapat pola pengasuhan yang tidak kondusif.

Menurut dia, upaya menciptakan generasi unggul mestinya dimulai dari kehamilan. "Pascamelahirkan, masa balita, anak-anak, hingga remaja pun mestinya dihabiskan dalam situasi keluarga yang kondusif dengan perhatian cukup dari ayah dan ibu," ujar Surya melanjutkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan Badan PBB untuk Anak-Anak (Unicef) menemukan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia tergolong tinggi, pada kisaran 25 persen dari total pernikahan dalam setahun. Persentase tersebut mengalami kenaikan sejak 2010, seiring dengan meningkatnya persentase perceraian di Indonesia.

Direktur Pembinaan Administrasi Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Hasbi Hasan mengiyakan pernikahan dini sebagai salah satu faktor penyebab perceraian di antara faktor-faktor yang lain. Pernikahan dini ini biasanya banyak terjadi di masyarakat perdesaan dengan latar pendidikan masyarakatnya yang tergolong rendah. "Menikahnya itu di bawah usia 20 tahun, ada juga yang 15 tahun. Kalau kota, rata-rata di atas 20 tahun," kata dia.

Ia meyakini, tingkat pendidikan seseorang menentukan kapan ia akan menikah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, lanjut Hasbi, waktu pernikahannya dilakukan di usia-usia dewasa, seperti di atas 20 tahun atau di atas 25 tahun.

Menurut dia, pernikahan dini cenderung dilakukan oleh pasangan yang sebetulnya belum siap dari sisi kematangan mental dan masih labil. Apalagi, menurut dia, tren anak muda saat ini kurang memiliki sikap kemandirian. "Kalaupun bisa (menjalani pernikahan dini), ya, seadanya. Kalaupun itu berjalan terus, tapi kan itu jadi membosankan, dan itu memicu keretakan rumah tangga," tutur dia.

Salah satu daerah yang tergolong tinggi tingkat pernikahan dininya di Indonesia adalah Nusa Tenggara Barat. Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi NTB Lalu Makripuddin mengatakan, tingkat pernikahan di bawah usia dini di NTB mencapai 50,8 persen berdasarkan hasil pendataan keluarga 2015.  

Banyaknya jumlah pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia 21 tahun ditengarai berkorelasi dengan tingginya tingkat perceraian. Ia memaparkan, 21,55 persen warga NTB berstatus janda dan duda. "Pernikahan usia dini kita salah satu faktor yang menyebabkan perceraian," katanya kepada Republika, di kantor BKKBN NTB, kemarin.

Menurut dia, pernikahan dini sangat tidak dianjurkan mengingat banyak hal yang dinilai belum disiapkan, baik dari segi ekonomi, psikis, dan kesiapan mental. Banyak dari remaja yang menikah pada usia dini belum siap mental sehingga kata cerai kerap menjadi jalan keluar saat pertengkaran terjadi. rep: Dian Erika Nugraheny, Umar Mukhtar  Muhammad Nursyamsi ed: Fitriyan Zamzami

NAIK SEIRING

2010:

Pernikahan Dini: 24,5 persen

Perkara Cerai:

Gugat: 39871

Talak: 18933

2011:

Pernikahan Dini: 24,7 persen

Perkara Cerai:

Gugat: 69.665

Talak: 29.578

2012:

Pernikahan Dini: 25,0 persen

Perkara Cerai:

Gugat: 278.700

Talak: 125.549

Sumber: penelitian bps-unicef 2015/susenas 2008-2012/infoperkara.badilag.net

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement