Selasa 19 Apr 2016 13:00 WIB

Pemerintah Diminta Keluarkan Travel Warning

Red:

JAKARTA -- Pemerintah diminta segera mengeluarkan peringatan perjalanan atau travel warning menuju perairan rawan. Terutama, perairan yang berpotensi menjadi tempat aksi perompakan dan penyanderaan oleh kelompok Abu Sayyaf. Dalam sebulan terakhir, sudah terjadi tiga kali pembajakan kapal yang ditumpangi warga Indonesia di perairan Filipina Selatan.

''Harusnya, pemerintah buat travel warning supaya warga Indonesia tak mendekati perairan Filipina yang menjadi tempat kejadian penyanderaan warga kita kemarin,'' kata Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Fadli Zon, Senin (18/4). Fadli mencontohkan, perairan rawan adalah Tawi-Tawi, Filipina.

Pada Jumat (15/4), empat awak kapal asal Indonesia kembali menjadi sandera setelah kapal mereka dirompak di perairan perbatasan Sabah, Malaysia, dan Tawi-Tawi, Filipina. Sebelumnya, sudah ada 10 WNI yang menjadi sandera karena kapal mereka juga dirompak Abu Sayyaf di perairan Filipina. Fadli menjelaskan, peringatan perjalanan itu merupakan salah satu upaya lazim pemerintah untuk melindungi warganya.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Suzie Sudarman mengatakan, travel warning bisa menjadi pilihan. Menurut dia, kebijakan ini merupakan cara yang murah untuk menghindari konflik. Sementara kondisi belum aman dan Pemerintah Filipina sendiri belum sanggup melakukan pengamanan tersebut, tentunya oleh pemerintah diambil jalan yang paling murah. "Jangan sampai timbul konflik, jadi kita menghindar dari wilayah-wilayah tertentu," ujar Suzie.

Menurut dia, untuk beberapa wilayah tertentu yang dibayangi kemungkinan perompakan dan penyanderaan, wajar-wajar saja untuk memberlakukan peringatan perjalanan. Dalam masalah penyanderaan, ada hukum internasional yang juga harus dihormati.

Hukum tersebut menyatakan, tidak boleh menyerang negara tempat penyanderaan berlangsung. Suzie mencontohkan kasus yang dihadapi Indonesia saat penyanderaan oleh perompak Somalia. Kala itu, sandera telah dibebaskan.

Namun, pasukan pembebasan kembali menghadapi serangan dari perompak saat akan pulang. Dalam kasus tersebut, pasukan Indonesia berhak membalas serangan sebab para perompak lebih dulu menyerang. "Tapi, kalau tidak dalam kondisi diserbu, ya nggak bisa.''

Saat ini, yang terjadi adalah Filipina dapat melakukan pengamanan di wilayah Filipina Selatan. Dengan demikian, menurut Suzie, cara paling murah untuk mencegah agar tak terjadi konflik adalah menghindari wilayah tersebut.

Merespons desakan adanya travel warning, juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menjelaskan, itu hanya akan dikeluarkan untuk warga suatu negara yang berkunjung ke negara yang dianggap tidak aman. Ini tak diperuntukkan pelayaran kapal.

Ia mengakui, pembajakan kapal Indonesia memang terjadi di luar jalur pelayaran yang dilalui untuk perdagangan dengan Filipina. "Kapal memang harus lewat sana kalau mau kirim barang," ujar Arrmanatha dalam pesan singkatnya kepada Republika, kemarin.

Saat ini, langkah yang diambil pemerintah adalah meningkatkan keamanan di wilayah tersebut. Arrmanatha yang sedang mendampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Berlin, Jerman, juga mengatakan, pemerintah terus berkoordinasi dengan Filipina soal nasib sandera.

''Negosiasi perlu ditempuh karena Indonesia tak mungkin menerjunkan kekuatan militer ke Filipina,'' kata Arrmanatha.

Laman berita Pontianak Post, edisi Senin (18/4), melaporkan, Otoritas Pelabuhan Tarakan, Kalimantan Utara, menghentikan izin pelayaran kapal menuju Filipina. Penghentian itu dilakukan menyusul insiden pembajakan tiga kapal di sekitar perairan Filipina. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Umar Aris membenarkan adanya penghentian tersebut.

Dia menuturkan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pelabuhan Tarakan telah berkoordinasi dengannya untuk diizinkan menetapkan kebijakan itu. ''Teman-teman di lapangan merasa amannya demikian daripada berisiko.''

Patroli bersama

Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, ke depan, mungkin Indonesia menggelar patroli bersama untuk melindungi kapal-kapal yang berlayar di perairan Filipina Selatan.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyesalkan tak adanya patroli maritim bersama. Padahal, usulan patroli bersama sudah diusulkan setahun lalu. Bila itu dijalankan, pembajakan dan penyanderaan oleh kelompok teroris tidak akan terjadi.

''Kita tidak tahu. Kalau itu dilakukan, tak akan pernah begini dan kejadian sekarang seperti ini, berarti tak pernah dilakukan, sudahlah,'' kata Ryamizard. Patroli bersama, ia melanjutkan, juga merupakan bentuk persaudaraan di negara-negara ASEAN.

Untuk mencegah kemungkinan terulangnya pembajakan kapal oleh teroris, butuh keseriusan semua pihak. Khususnya, untu meminimalisasi kejadian serupa.  Namun, menurutnya, tidak perlu ada pengawalan secara khusus dari TNI AL.

Menhan Malaysia Hishammuddin Hussein menyatakan, siap menangani perompakan di perairan Sulu bersama Indonesia dan Filipina. Ini bisa dilakukan dengan patroli maritim bersama serta pengawasan melalui udara.

''Ini saatnya menjamin keamanan di Laut Sulu seiring meningkatnya penculikan di perairan itu. Dampaknya tak hanya dirasakan Malaysia, tetapi juga negara tetangga,'' kata Hishammuddin, seperti dilansir Manila Times, Ahad (17/4).

Belum ada respons dari Filipina, tapi negara ini telah menandatangani kesepakatan patroli bersama di perbatasan dengan Malaysia serta Indonesia pada 1990-an. Namun, militer Filipina melakukan operasi di Sulu untuk memburu kelompok Abu Sayyaf.

Akhir-akhir ini, kelompok Abu Sayyaf menculik warga Malaysia dan Indonesia di perairan antara Sabah, Malaysia, dan Provinsi Tawi-Tawi, Filipina. Bahkan, sejak 2000, Abu Sayyaf menyusup ke Sabah, kemudian menculik puluhan wisatawan asal Eropa.

Tak dibunuh 

Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu meyakini, berdasarkan informasi intelijen, kelompok Abu Sayyaf tak akan membunuh 14 WNI yang saat ini menjadi sandera. ''Tim intelijen bilang sandera tak akan dibunuh. Mereka minta uang,'' katanya, kemarin.

Namun, ia menegaskan, pemerintah tak berencana menggelontorkan sepeser pun uang negara. ''Negosiasi, kita ikut negosiasi. Tapi, pemerintah tak boleh keluarkan uang.'' Menurut dia, pemerintah masih mengusahakan jalur negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf.

Jika terpaksa harus membayar, menurutnya, itu merupakan tanggung jawab perusahaan tempat WNI yang disandera. Ryamizard mengaku, saat ini pemerintah sudah mengetahui posisi sandera berada. Namun, ia enggan menjelaskan dengan alasan masih sangat sensitif.

Menurut Ryamizard, berdasarkan pengalaman membebaskan sandera, langkah yang sudah dilakukan pemerintah sudah benar. " Ya, itu tadi, diplomasi, negosiasi, operasi militer," ujarnya. Jalur diplomasi, kata dia, sebenarnya merupakan ranah Kementerian Luar Negeri.

Namun, Ryamizard mengaku, kementeriannya juga membantu lewat koordinasi dengan Menhan Filipina dan Malaysia. Selain diplomasi, ada negosiasi dan opsi terakhir operasi militer. ''Tapi, yang jelas kita harus mau damai. Kalau mau perang terus, ya perang lah.''    rep: Gita Amanda, Umi Nur Fadhilah, Lintar Satria/antara, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement