Jumat 18 Mar 2016 14:00 WIB

Kapolri Persilakan Autopsi Ulang Siyono

Red:

 

Antara                               

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA - Kematian Siyono (34), seorang warga Klaten, Jawa Tengah, di tangan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) masih mengundang tanya bagi sebagian pihak. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyilakan pihak-pihak yang berkepentingan melakukan autopsi ulang untuk memastikan penyebab kematian yang bersangkutan.

"Ya, boleh saja. Silakan saja kalau memang diperlukan maka autopsi ulang saja," ujar Badrodin, Kamis (17/3). Sebelumnya, muncul permohonan autopsi forensik menyeluruh guna mengungkap penyebab kematian Siyono. Pihak kuasa hukum keluarga menilai kematian Siyono di luar kewajaran. Hal tersebut mereka simpulkan dari kondisi jenazah saat dikembalikan kepolisian.

Siyono dijemput tiga petugas Densus 88 pada Selasa (8/3). Keesokan harinya, Densus 88 menggeledah tempat tinggal Siyono dan orang tuanya yang juga menjadi lokasi TK Rouddatul Athfal Terpadu (RAT) Amanah Ummah saat jam belajar.

Berdasarkan informasi dari pihak lain yang sebelumnya ditangkap, petugas polisi kemudian membawa ayah beranak lima itu untuk menunjukkan lokasi tempat menyimpan senjata api yang menurut polisi diketahui yang bersangkutan. Namun, upaya itu tak membuahkan hasil.

Menurut keterangan Mabes Polri, setelah itu, saat tiba di satu tempat di Prambanan, Klaten, Siyono meminta penutup wajah dan borgolnya dilepas. Siyono kemudian melakukan perlawanan dan memukul anggota Densus 88. Siyono tewas akibat perlawanan tersebut.

Badrodin mengatakan, kepolisian sudah melakukan autopsi atas jenazah Siyono selepas kematiannya. Ia mengatakan, autopsi yang dilakukan oleh polisi melibatkan dokter-dokter yang terpercaya. Badrodin mengatakan, dokter yang memeriksa jasad Siyono di bawah sumpah dan tak mungkin ingkar.

Badrodin juga menegaskan bahwa prosedur yang dilakukan Polri dalam penangkapan Siyono sudah benar. Menurut dia, tindakan terhadap yang bersangkutan dilakukan karena Siyono melakukan perlawanan. "Kami sudah sesuai prosedur," ujar Badrodin.

Berkebalikan dengan pernyataan Kapolri, Kadiv Humas Polri Brigjen Anton Charliyan pada Senin (14/3) menuturkan ada kelalaian dan kesalahan prosedur dalam penanganan Siyono. Menurut Anton, petugas yang mengawal Siyono lebih sedikit dari yang disyaratkan. Tindakan petugas melepas borgol dan penutup mata Siyono juga, menurut Kadiv Humas, tak sesuai prosedur.

Kepala Pusat Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Mabes Polri Brigjen Arthur Tampi sebelumnya mengatakan, Siyono meninggal akibat benturan dengan benda tumpul. Arthur menuturkan, berdasarkan pemindaian, dia melihat ada luka memar dan pendarahan di rongga kepala bagian belakang. Di samping itu, hasil visum menunjukkan beberapa luka memar di wajah, tangan, dan kaki.

Tim Labfor Mabes Polri juga telah melakukan visum terhadap anggota Polri yang berkelahi dengan Siyono. "Ada luka memar di leher kiri dan kanan. Luka gores pada lengan bawah kiri dan lengan bawah kanan," kata Arthur.

Sementara, aksi unjuk rasa mempertanyakan kematian Siyono kembali digelar di Solo, Jawa Tengah. Aksi kemarin adalah yang ketiga kalinya dalam tiga hari berturut-turut.

Sebelumnya, pada Selasa (15/3), ratusan orang yang tergabung dalam Komunitas Nahi Munkar Solo (Konas) melakukan aksi demonstrasi di Bunderan Gladag Solo. Pada Rabu (16/3), giliran mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Muslim Soloraya yang berunjuk rasa di pusat kota.

Pada aksi kemarin, ratusan orang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Solo unjuk rasa di depan Markas Polres Kota Surakarta. Para pengunjuk rasa tersebut selain menyerukan yel-yel juga menggelar sejumlah poster yang antara lain bertuliskan "Densus Taat Hukum", "Densus Transparan harga Mati", dan "Usut Tuntas Oknum Anggota Densus, tewasnya Siyono".

Menurut Amir Rudin Dawan, salah satu koordinator aksi, Densus 88 yang menjadi alat untuk memberantas terorisme sering kali melakukan pelanggaran HAM dan salah tangkap. "Untuk itu, kami menuntut empat hal agar kasus-kasus yang melanggar HAM yang dilakukan oleh Densus 88 tidak terulang lagi," ucapnya.

Menurut dia, pihaknya menuntut penyelesaian secara tegas, tuntas, dan transparan dari Polri atas kasus kematian Siyono. Selain itu, mahasiswa juga menuntut perbaikan sistem Densus 88 terkait penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dengan menjamin hak hidup warga negara Indonesia.

Pengamat terorisme dari Certified International Investment Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya, mengatakan, sejauh ini belum pernah ada proses evaluasi yang dilakukan terhadap para aparat yang bertugas dalam operasi Densus 88. "Hingga saat ini belum pernah sekali pun ada personel Densus 88 yang mendapat sanksi karena lalai atau tidak profesional saat bertugas atau mereka menyalahi prosedur hukum. Padahal, sudah banyak korban terduga teroris yang ternyata salah tangkap," kata Harits kepada Republika.

Dalam catatannya, Harits mengatakan, hingga saat ini ada sebanyak 120 terduga teroris yang tewas saat proses penangkapan berlangsung. Kemudian, 40 orang terduga teroris yang ditangkap tidak terbukti bersalah. Ia mencatat, belum ada tindakan dari kepolisian yang dipublikasikan secara transparan terhadap para petugas yang melakukan kelalaian-kelalaian tersebut.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito Karnavian, kemarin, mengatakan, penindakan tegas terkait pemberantasan terorisme menjadi salah satu perhatiannya. Ia mengindikasikan, perlu ada evaluasi dari upaya-upaya tersebut. "Saya akan evaluasi ulang," kata dia. rep: Intan Pratiwi, Puti Almas/antara, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement