Jumat 22 Jan 2016 14:00 WIB

Penindakan Terorisme Tetap di Polisi

Red:
Petugas Gegana Polda Metro Jaya bersiap untuk mengamankan plastik yang mencurigakan di lokasi ledakan Pos Polisi Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1).    (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas Gegana Polda Metro Jaya bersiap untuk mengamankan plastik yang mencurigakan di lokasi ledakan Pos Polisi Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1). (Republika/Wihdan)

JAKARTA  -- Diwarnai oleh perdebatan antarlembaga, Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan mengambil opsi merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Presiden lebih memilih memberi tambahan kewenangan kepada kepolisian untuk mencegah terorisme.

"Arahan Pak Presiden ya kalau penegakan hukum kan tetap pada polisi, Badan Intelijen Negara (BIN) tidak," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Kamis (21/1). Yasonna juga membeberkan, rapat terbatas yang dipimpin Presiden itu diwarnai dengan perdebatan antarlembaga, yaitu Polri, BIN, dan TNI, mengenai lembaga mana yang akan mendapat perluasan kewenangan memberantas terorisme.

Akhirnya, disepakati bahwa institusi yang mendapat perluasan kewenangan adalah Polri. Arahan Presiden tersebut, menurut Yasonna, juga diperkuat dengan argumen dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mengibaratkan BIN sebagai mata dan telinga Presiden. Dengan demikian, setiap informasi yang didapat intelijen akan diteruskan ke Polri dan kejaksaan. Lagi pula, sambung Menkumham, tugas dan kewenangan BIN sudah diatur dalam UU sendiri.

Rencana pemerintah merevisi UU Pemberantasan Terorisme kencang disuarakan sehari selepas peristiwa pengeboman dan penembakan di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/1). Saat itu, Kepala BIN Sutiyoso meminta revisi undang-undang agar lembaganya bisa menahan para terduga teroris. Usulan itu sempat diamini Menko Polhukam Luhut Pandjaitan.

Yasonna kemudian memaparkan, poin yang akan direvisi antara lain yaitu polisi dapat melakukan penahanan sementara terhadap terduga teroris untuk waktu yang lebih lama. Yasonna menyebut, masa penahanan sementara akan diperpanjang dari yang semula tiga hari menjadi satu pekan. Masa penahanan sementara ini dapat digunakan Polri untuk menggali informasi dari terduga teroris terkait tindakan mereka yang dianggap sudah mengancam keamanan negara.

Selain itu, pemerintah juga akan mempermudah izin bagi polisi dalam melakukan penahanan sementara tersebut. Dalam UU yang berlaku saat ini, penahanan sementara baru boleh dilakukan apabila sudah ada izin dari kepala pengadilan negeri.

Syarat itu rencananya akan diubah sehingga hanya perlu izin dari hakim pengadilan. "Akan kita bicarakan, cukup hakim misalnya untuk mengajukan permohonan izin supaya cepat. Tapi, tetap kita mengedepankan prinsip praduga tak bersalah," kata Yasonna.

Kemudian, pemerintah juga akan mengatur soal pencabutan paspor bagi WNI yang terbukti bergabung dan mengikuti latihan militer di kantong-kantong ISIS, seperti Suriah.

Yasonna menyebut bahwa poin-poin revisi itu belum final. Masih perlu pembahasan lebih dalam sebelum diajukan ke DPR. Dia optimistis dewan akan memproses usulan revisi UU Terorisme dengan cepat. Targetnya, revisi tersebut dapat selesai paling lambat dalam dua masa sidang.

Dengan memutuskan jalur revisi UU, pemerintah tak akan mengambil alternatif lainnya, yakni dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau merancang undang-undang baru. "Setelah mendengar pendapat dan masukan, Presiden memberi arahan kepada Menko Polhukam, Kapolri, BIN, BNPT, yang dilakukan adalah revisi terhadap UU tersebut," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung seusai rapat terbatas

Menurut Pramono, Presiden ingin revisi nantinya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dan pendekatan HAM. Presiden juga ingin hal-hal yang berkaitan dengan persoalan deradikalisasi dalam revisi UU Terorisme harus mempertimbangkan berbagai perkembangan dalam masyarakat, seperti ideologi, kekerasan, pendidikan, ketimpangan, dan kesenjangan. Dalam hal pencegahan terorisme, kata Pramono, Presiden meminta menteri komunikasi dan informasi menutup akun-akun yang menyebarkan radikalisme. rep: Halimatus Sa'diyah, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement