Jumat 05 Jun 2015 14:00 WIB

Riak Konflik di Laut Cina Selatan (4): Tanda Tanya di Ujung Lidah Sapi

Red:

Ketegangan di Laut Cina Selatan kian meningkat belakangan. Pemerintah Republik Rakyat Cina terus melakukan reklamasi di pulau dan wilayah karang yang disengketakan, sementara Amerika Serikat meningkatkan kegiatan militer di sekitarnya. Apa yang membuat Laut Cina Selatan sedemikian krusial? Wartawan Republika, Fitriyan Zamzami, menyambangi Kepulauan Hawaii di AS, Beijing dan Hainan di RRC, Masinloc dan Manila di Filipina, serta Singapura untuk mengupas kawasan itu. Berikut tulisan berserinya.

 

Gedung Institut Nasional Studi Laut Cina Selatan (NISCSS) tak sedemikian megah. Ia adalah bangunan setinggi empat lantai dengan arsitektur kaku. Bukan kebetulan juga bangunan itu terletak di Pulau Hainan, tak jauh dari pantai yang langsung menghadap ke Laut Cina Selatan.

Dalam gedung tersebutlah klaim Cina atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan dirancang dan ditata dengan apik. Dalam gedung NISCSS juga bekerja pemikir-¬pemikir terbaik Cina soal Laut Cina Selatan.

Di ruang arsip gedung itu, aneka dokumen sejarah guna mendukung keabsahan klaim Cina berdiam dan dipajang dengan rapi. Republika dan rombongan wartawan asing peserta Jefferson Fellowship 2015 yang disponsori lembaga East-West Center dari AS tak dibolehkan mengambil gambar di ruangan itu.

Dalam ruangan, ada peta dari abad ke-¬17 yang menunjukkan luasnya jangkauan pelaut-pelaut masa kerajaan Cina dipajang di dinding. Ada pula peta terperinci wilayah Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara dari zaman kolonial.

Yang utama adalah arsip-¬arsip rancangan awal klaim yang bertanggal jauh sampai 1930, sebelum akhirnya ia diresmikan selepas Perang Dunia II pada 1947. Beberapa peta itu menggambarkan sembilan garis putus-putus yang menyelimuti hampir seluruh Laut Cina Selatan.

 

Titik awalnya garis-garis yang membentuk huruf "U" tersebut di mulai dari perairan Hainan, dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Sisi timur dan barat garis-garis yang merunut bentuknya itu juga disebut "Lidah Sapi" menyinggung perairan Vietnam dan Filipina.

 

Garis-garis tersebut akhirnya berbalik arah kembali ke utara saat mendekati Kalimantan. Tak jauh di luar putaran arah itu, ada sebuah noktah kecil bernama Pulau Natuna Besar milik Indonesia.

DI Beijing, Republika menemui Deputi Direktur Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina, Li Guoqiang, untuk mencari tahu. Akademi Ilmu Sosial Cina adalah institusi penelitian sekaligus think-tank terpenting di Cina. Ia terafiliasi dengan pemerintah pusat Cina. Studi perbatasan di akademi itu telah melakukan riset sejak 1993 untuk menentukan titik geografis Sembilan Garis Putus-Putus.

 

Saat membuat peta garis putus-putus pada 1947, Cina belum menentukan koordinat yang presisi terkait jangkauan geografis klaim Cina. Namun, menurut Li Guoqiang, saat ini Pemerintah Cina telah memiliki koordinat geografis tersebut.

Dari riset mereka, kata Li Guoqiang, garis itu bersinggungan sengan ZEE sejumlah negara ASEAN  yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Studi Perbatasan menemukan, ada sebanyak  1,5 juta kilometer persegi wilayah ZEE negara lain yang tumpang-tindih dengan Sembilan Garis Putus-Putus.

"Anda bertanya soal Indonesia? Ada seluas 50 ribu kilometer persegi wilayah tumpang tindih antara klaim Cina melalui Sembilan Garis Putus-Putus dengan ZEE Indonesia," kata Li Guoqiang. Wartawan-wartawan dari wilayah ASEAN yang ikut menemui Li Guoqiang jadi riuh mendengar jawaban itu.

Pasalnya, selama ini Indonesia selalu mengambil posisi sebagai nonklaiman. Posisi itu membuat Indonesia sedianya mampu memainkan peran lebih signifikan sebagai penengah yang adil antara Cina dan ASEAN.

 

Contohnya, saat pendapat ASEAN terpecah soal Laut Cina Selatan pada 2012, Marty Natalegawa , menteri luar negeri saat itu, langsung melakukan respons cepat dengan mendatangi negara-negara ASEAN dan mendorong dikeluarkannya pernyataan bersama. Langkah tersebut berhasil meredam ketegangan.

Aileen San Pablo-Baviera, profesor studi Cina dan hubungan internasional di Universitas Filipina, mengatakan, jika titik geografis klaim Cina diumumkan dan bersinggungan dengan Indonesia, kondisinya akan menjadi lain di regional ASEAN. Sebagai klaiman, Indonesia dinilai bisa secara signifikan menguatkan posisi negara-negara ASEAN yang ikut bersengketa di Laut Cina Selatan.  

Pemerintah Cina tak menyangkal kemungkinan adanya tumpang tindih klaim antara Indonesia dan RRC. Kendati demikian, menurut Dirjen Departemen Perbatasan dan Kelautan Kementerian Luar Negeri Cina, Ouyang Yujing, angka akurat luas lokasi tumpang-tindih tersebut belum bisa ia sebutkan karena belum ada publikasi resmi dari RRC.

Ia mengindikasikan, area yang tumpang-tindih tersebut terletak di perairan sebelah barat daya Kepulauan Spratly yang berbatasan langsung dengan perairan Kepulauan Natuna milik Indonesia. "Karena kami belum memublikasikan titik-titik geografis yang menjadi basis klaim di Kepulauan Nansha (sebutan Cina untuk Spratly), sangat sulit bagi kami untuk menghitung luasnya area yang tumpang-tindih," kata Yujing menjawab pertanyaan Republika, di kantor Kementerian Luar Negeri Cina di Beijing. Yujing menekankan, Cina akan mengambil jalur-¬jalur damai dan negosiatif dengan Indonesia jika sengketa tersebut nantinya naik ke permukaan.

Belakangan, pihak militer melalui TNI Angkatan Udara (AU) dan TNI Angkatan Laut (AL) gencar mendorong penguatan pasukan di Kepulauan Natuna. Sedangkan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko telah merestui latihan dengan militer AS di wilayah itu.

Lain lagi kebijakan dari Istana Negara. Presiden Joko Widodo dalam peringatan Konferensi Asia Afrika di Bandung, bulan lalu, menandatangani kesepakatan dengan Presiden Cina Xi Jinping. Salah satu isinya, Cina akan membangun sebanyak 24 pelabuhan di seantero nusantara.

Direktur Eksekutif Forum Pasifik CSIS Brad Glosserman menilai sikap mendua Indonesia tersebut adalah gambaran ASEAN secara keseluruhan. "Negara-negara ASEAN tergantung secara militer dengan AS, tetapi punya hubungan ekonomi yang kuat dengan Cina," ujarnya, di Honolulu, Hawaii.

Siwage Dharma Negara, peneliti LIPI yang tengah mengkaji kebijakan bantuan infrastruktur Cina di Institut Studi Asia Tenggara di Singapura, mengatakan, kerja sama pembangunan infrastruktur dengan Cina bisa membuat rumit posisi Indonesia terkait konflik di Laut Cina Selatan. Indonesia, menurut dia, tak akan bisa mengambil posisi yang benar-benar tegas. "Bukan tak mungkin Indonesia meninggalkan negara-negara ASEAN," ujarnya.

Saat ini, menurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Indonesia masih tetap sebagai nonklaiman dan tak memihak siapa pun. Buat Indonesia, yang terpenting adalah sengketa di Laut Cina Selatan tak menjadi konflik terbuka. Yang menjadi masalah, pihak-pihak di Washington dan Beijing atau juga di Manila dan Hanoi belum ada yang bisa menjamin hal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement