Rabu 29 Apr 2015 13:00 WIB

Metromini Terancam Mati (Bagian 2): Butuh Alasan untuk Pertahankan Kernet

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menurut data Polda Metro Jaya, dari 17.523.967 kendaraan bermotor yang ada di Jakarta per akhir 2014, sebanyak 13.084.372 adalah sepeda motor dan 3.266.009 adalah mobil pribadi. Akibatnya, angkutan umum semakin sepi penumpang. Metro Mini--dengan armada yang banyak berusia di atas 30 tahun--telah menjadi korban, hanya ramai penumpang di jam-jam sibuk. Wartawan Republika menelusuri keberadaan angkutan umum yang ada sejak 1962 ketika dihelat ajang Ganefo dan kemudian dinaungi PT Metro Mini sejak 1976.

Ari Wibowo menjadi salah satu sopir yang masih menggunakan kernet. Sopir Metro Mini 46 trayek Pulogadung-Manggarai ini menggunakan kernet dengan alasan persaudaraan. "Yang jadi kernet saudara yang punya Metro Mini ini," ujar mantan kernet itu.

Mereka bergantian mengoperasikan Metro Mini. Ari kebagian jadwal dari pagi sampai sore. Kernetnya kebagian menyopir dari sore hingga malam. Beroperasi malam, kernet Ari itu menyopiri Metro Mini juga menggunakan bantuan kernet yang juga masih ada hubungan keluarga. Namun, sopir yang masih menggunakan kernet tergolong sedikit. "Dari sekitar 30 armada Metro Mini 46, hanya lima sopir yang menggunakan kernet," ungkap Ari.

Meski menggunakan bantuan kernet, Ari mengaku beruntung karena trayeknya masih ramai penumpang. Siang hari juga ramai karena melewati beberapa sekolah, yaitu SMA Negeri 36, SMP dan SMA Tirta Sari, dan SMA Diponegoro. "Penghasilannya kalau dapat Rp 120 ribu, saya Rp 70 ribu, kenek Rp 50 ribu," ungkap Ari.

Di trayek Kampung Melayu-Manggarai, sebagian besar sopir Metro Mini 61 sudah tidak menggunakan kernet. Armada Metro Mini 61 hanya belasan jumlahnya. "Ada sembilan yang tidak menggunakan kernet," ungkap Hardani, sopir Metro Mini 61.

Adapun Metro Mini 75 trayek Pasar Minggu-Blok M, masih banyak kernet yang ikut beroperasi. "Dari 35 Metro Mini 75, hanya 40 persen yang tidak menggunakan kernet," ungkap Gepeng, sopir Metro Mini 75.

Trayek Pasar Minggu-Blok M, menurut Gepeng, merupakan jalur macet di jam-jam sibuk. Karena itu, Gepeng mengaku, susah-susah gampang jika membawa Metro Mini tanpa bantuan kernet di saat jalanan macet.

Ia mengajak teman yang sedang membutuhkan uang untuk menjadi kernet tembak. Ia memberinya Rp 30 ribu selama dua rit di jam sibuk mulai sore hari. Dalam sehari, ia membawa Metro Mini sampai enam rit. "Kalau macet, butuh juga kernet buat buka-buka jalan," kata Gepeng.

Meski harus berbagi penghasilan, Masyudi juga mempertahakan kernetnya. "Yang penting, sewanya jadi banyak karena ada yang ngeliatin sewa mau naik," kata sopir Metro Mini 75 ini, Jumat (10/4).

Darinto juga masih menggunakan kernet. Sopir Metro Mini 49 trayek Pulogadung-Manggarai ini mempunyai dua alasan. Pertama, untuk menjaga jarak dengan Metro Mini sebelum dan sesudahnya. Kedua, kata Darinto, Ahad (12/4), "Repot kasih kembalian kalau tanpa kernet."

Menyetir sekaligus harus menagih ongkos dari penumpang membuat Darinto merasa repot. Jika penumpang sedang penuh, tiadanya kernet juga merepotkan penumpang di belakang. Mereka harus berjejalan saat hendak menghampiri sopir untuk membayar. Penumpang di belakang yang tiba-tiba turun ketika Metro Mini sudah berhenti juga sering terjadi. Mereka lupa membayar ongkos.

Karenanya, Darinto memilih tetap menggunakan kernet. Setelah dibagi dengan kernet, ia masih bisa membawa pulang Rp 100 ribu-Rp 150 ribu. "Dengan kernet bisa mendapatkan penumpang lebih banyak daripada sendirian," ujar Darinto.

Kernet juga masih dibutuhkan oleh Januara Tanjung. "Untuk membantu jika ada gangguan di jalan, seperti mesin rusak," ujar sopir Metro Mini 506 trayek Kampung Melayu–Pondok Kopi itu.

Dengan kernetnya yang bernama Khusen (50 tahun), Tanjung harus rela berbagi penghasilan. "Biasanya, kalau dapat Rp 110 ribu, saya kasih Rp 50 ribu buat kernet," ujar Tanjung yang sudah 30 tahun menyopiri Metro Mini.

Kini, kata Tanjung, jumlah armada Metro Mini 506 tinggal 30 unit dan hanya beberapa yang menggunakan kernet. Itu pun kernet yang masih ada hubungan keluarga. Solihin (45 tahun), misalnya, meminta istrinya mengerneti Metro Mini 506 yang ia operasikan.

Sudah empat bulan ini ia dikerneti istrinya yang bernama Suripah (45 tahun). "Soalnya, kalau pulang suka sedikit bawanya, makanya yang jadi kernet istri saya," ungkap Solihin memberi alasan.

Penghasilan kecil, kata Solihin, karena Metro Mininya sepi penumpang. Ketika masih dikerneti orang lain, Solihin hanya bisa membawa pulang Rp 60 ribu dari Rp 100 ribu yang ia dapatkan. Yang Rp 40 ribu harus ia berikan ke kernet. Setelah dikerneti istri, penghasilan Rp 100 ribu tak perlu dibagi ke orang lain.

Satar (65 tahun), sopir Metro Mini 506 juga membawa istrinya sebagai kernet. Menjadi kernet membuat istrinya memiliki kegiatan. Satar sebenarnya bisa berhenti menjadi sopir karena anak-anaknya sudah bekerja. Tapi, ia mengaku, tak bisa berdiam diri. "Nanti, jadi gampang sakit kalau nggak ngapa-ngapain," ungkap bapak enam anak ini yang menjadi sopir sejak 1987.

Menyopiri Metro Mini sejak 1986, Reza Sihombing (50 tahun) tetap menggunakan kernet hingga kini. "Soalnya, kalau nggak pakai kernet repot," ujar sopir Metro Mini 45 trayek Pulogadung-Pondok Gede itu.

Reza memilih memenuhi Metro Mininya di terminal keberangkatan. Risikonya, ia harus mengeluarkan uang lebih untuk membayar calo terminal. Di Terminal Pulogadung ia membayar calo Rp 15 ribu dan di Terminal Pondok Gede Rp 14 ribu.

Masih ada lagi yang memalaknya Rp 4.000 setiap kali lewat terminal. "Bisa kena Rp 80 ribu itu sehari sama calo. Bilangnya sih calo, sebenarnya preman. Kalau nggak bayar, kita nggak aman," kata Reza.

Ia harus berangkat dengan penumpang penuh lantaran di sepanjang perjalanan sudah sepi penumpang. Metro Mini 45 melewati ruas jalan yang juga dilewati banyak angkot--saingan terberatnya selain sepeda motor. Pertumbuhan sepeda motor cukup pesat. Pada 2005, data di Polda Metro Jaya menunjukkan jumlah sepeda motor masih sekitar 4,2 juta unit. Jumlah itu meningkat lagi menjadi enam jutaan unit pada 2007. Kini, ada 13 juta sepeda motor di Jakarta.

Apabila jumlah sepeda motor terus bertambah, Parulian Simbolon merasa Metro Mini tetap harus seperti saat ini keadaannya. Tetap sebagai angkutan yang murah meriah, tak perlu diremajakan menjadi Metro Mini AC.

Namun, jika Metro Mini tidak bisa bertahan, Parulian yang merupakan lulusan Kimia IPB ini mengaku tidak khawatir. Ia sudah mempersiapkan cadangan sumber penghasilan.

"Sudah buka toko sembako di Jati Asih, Bekasi," ungkap sopir Metro Mini 49 trayek Pulogadung-Manggarai itu.

Alih profesi

Roy Darmawan (35 tahun) sudah memilih meninggalkan sopir sebagai profesi pada September 2013. Ia menjadi sopir Metro Mini 24 trayek Pasar Senen-Tanjung Priok selama enam tahun. Bersaing dengan 59 armada lainnya pada awal-awal menyopiri Metro Mini 24, ia bisa menghasilkan Rp 650 ribu. Sebanyak Rp 300 ribu di antaranya ia berikan kepada kernetnya.

Tetapi, jumlah penghasilannya terus berkurang seiring penambahan sepeda motor. "Waktu terakhir saya narik pada September tahun lalu, paling banyak dapat Rp 100 ribu, itu pun tanpa kernet," keluh Roy.

Ia kemudian menjadi sopir mobil pengangkut sampah dengan gaji Rp 2,65 juta per bulan, dipekerjakan oleh PT Wiratama, perusahaan mitra Pemprov DKI Jakarta. Tugasnya mengangkut sampah dari Sungai Sunter.

Wawan, sopir Metro Mini 640 trayek Pasar Minggu-Tanah Abang juga sudah memilih melepaskan pekerjaannya. "Daripada terus jadi sopir Metro Mini, penumpangnya udah kagak ada, kagak sanggup ngejar setoran lagi," tutur Wawan, di Manggarai, Selasa (21/4).

Wawan merasakan repotnya berpenghasilan kecil karena penumpang Metro Mini 640 juga sudah semakin berkurang. Armada yang rusak, kata Wawan, membuat semakin tidak nyaman ditumpangi sehingga penumpang memilih moda lain yang lebih nyaman dan cepat.

Wawan kemudian melamar sebagai pembersih sungai di Dinas Kebersihan. Ia ditempatkan di Pintu Air Manggarai, dengan gaji Rp 2,65 juta per bulan. "Lebih pasti penghasilannya dibanding ketika masih bawa Metro Mini," ujar Wawan.

Menjadi sopir Metro Mini, ia bekerja 20-22 hari kerja. Jika rata-rata per hari dapat Rp 70 ribu, ia hanya mengantongi Rp 1,4 juta – Rp 1,6 juta per bulan.  c37/c29 ed: Priyantono Oemar

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement