Ahad 26 Apr 2015 12:35 WIB

Marwah Para Pemimpin

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Siapa tak kenal Umar bin Khattab? Dia khalifah utama pasca-Abu Bakar, dikenal sosok pemberani dan perkasa. Penaklukan wilayah di jazirah Arab banyak dilakukan pada masanya. Sikap hidupnya populis, tetapi tegas dan sukses memimpin bangsanya menuju kejayaan. Dia disegani penguasa manapun!

Namun, Umar, sang penguasa digdaya itu, tak pernah sok kuasa. Suatu kali, Amirul Mukminin yang gagah dan bersahaja itu hendak membeli seekor kuda dari warganya. Umar mencoba menunggangi kuda itu. Malang, kudanya terjatuh dan terluka parah.

Kejadian kecil itu diadukan pemilik kuda ke pengadilan. Umar dengan rendah hati bersedia jadi terdakwa. Sama sekali tak ada perlawanan, padahal ia penguasa tertinggi. Persidangan memutuskan sang khalifah bersalah dan harus mengganti kuda itu. Dia patuhi keputusan hakim dengan taat.

Khalifah kedua itu sama sekali tak menggunakan kedudukannya untuk melawan proses hukum dan peng adilan. Padahal, jika dia mau, tentu dapat melakukannya. Institusi kekhalifahan serta aparat bawahannya tidak dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan dirinya. Apalagi, menjadikan kasus itu sebagai ajang unjuk kuasa yang menimbulkan kegaduhan publik.

Umar dan banyak pemimpin berkarakter utama di panggung sejarah adalah suri teladan bagaimana men- jadi penguasa dengan marwah atau martabat yang mulia. Menjadi pemimpin, pejabat, dan elite publik bukan sekadar perkasa di atas takhta. Tetapi, bagaimana bertakhta dengan kehormatan dan harga diri yang luhur, melampaui takaran orang biasa.

Mutiara perilaku

Menjadi pemimpin, pejabat publik, dan elite negeri selain memerlukan kehebatan kemampuan, tak kalah penting memiliki marwah diri yang utama. Marwah itu bermakna mutiara. Mutiara adalah benda berharga. Secara simbolis, mutiara sering dijadikan penanda hal-hal yang langka dan bernilai tinggi. Marwah diri itu segala mozaik perilaku emas yang tidak banyak orang memilikinya, kecuali yang memiliki pandangan hidup yang utama.

George Washington, pendiri bangsa Amerika, dieluk-elukkan rakyat untuk memimpin kembali negerinya, tapi dia tak mau. Presiden AS pertama itu menolak untuk jabatan kedua kalinya. Dia merasa cukup meletakkan fondasi negeri dan mengabdi bagi bagsanya. Dia memancarkan warwah keutamaan dalam menduduki takhta bahwa kekuasaan itu tidak memabukkan meski berkesempatan. Dia sosok negarawan sejati, bukan politikus yang bertakhta tak berkesudahan.

Nelson Mandela sebelum menjadi presiden Afrika Selatan dikenal pejuang antiapartheid. Bertahun-tahun melawan kaum kulit putih yang menjajah dan mendiskriminasi bangsanya hingga dipenjara sangat lama dalam sejuta derita. Di penjara, dia dihinakan seorang polisi yang mengencingi dirinya layaknya makhluk rendahan. Setelah perjuangannya membuahkan hasil, Mandela didaulat rakyatnya memimpin negerinya. Marwah Mandela teruji ketika bertakhta. Di belakang hari ketika sang polisi bersimpuh meminta maaf di hadapannya, tokoh legendaris itu jus tru berkata, "Aku maafkan engkau meski tidak akan kulupakan!"

Mahatma Gandhi bahkan harus membayar mahal atas sikapnya yang cinta damai dan antikekerasan. Sejak awal, dia menggelorakan spirit ahimsa untuk seluruh negerinya, yakni hidup damai nirkekerasan. Gandhi juga mengajarkan hidup bersahaja dan antikeserakahan ketika dia berkata, "Bumi ini lebih dari cukup dihuni oleh seorang rakus." Namun, pejuang kemerdekaan India dan penegak nilai-nilai kemanusiaan universal itu harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia ditembak mati oleh pengikut Hindu garis keras karena diangap berdamai dengan Muslim di negerinya.

Di negeri ini pun banyak pelajaran berharga tentang marwah para pemimpin bangsa. Para pendiri negeri, seperti Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, Samanhudi, Tjipto Mangun koesoemo, Sukarno, Hatta, Ki Bagus Hadikusuma, Soedirman, Natsir, dan tokoh bangsa lainnya memiliki marwah tinggi selaku pemimpin negeri. Mereka mengharumkan bangsa dan negerinya dengan perilaku dan keteladanan utama. Pengabdiannya untuk bangsa dan negerinya melebihi segalanya.

Para pemimpin sejati itu hadir di manapun untuk mem beri suri teladan bagi umat dan bangsanya. Bukan untuk kebesaran dirinya. Itulah perangai utama para pemimpin yang memiliki marwah diri yang autentik. Mereka istiqamah di jalan lurus menjadi pemimpin yang tulus, jujur, amanah, dan berbudi mulia.

Nilai filosofis Seiring dengan dunia kehidupan yang serbainstan dan pragmatis, para pemimpin bermarwah utama cenderung kian langka. Lahirlah para pemimpin penguasa yang hadir minus marwah kenegarawanan. Lebih- lebih sekadar pemimpin pejabat yang kepemimpinannya lahir karena otoritas formal dan berjiwa kerdil. Sikap menjunjung tinggi martabat dan kehormatan diri jauh panggang dari api karena dininabobo oleh gemerlap materi dan kursi. Hukum dan institusi sekuat apa pun dikangkangi demi kesuksesan diri. Kekuasaan hanya digunakan untuk kedigdayaan diri belaka.

Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keutamaan luruh dari jiwa para pemimpin dan peting gi negeri. Materi dan kedudukan jauh lebih menggiurkan ketimbang marwah diri. Demi uang dan jabatan tak peduli hukum dan institusi dikorbankan, moral dinegasikan, dan kebajikan digadaikan. Di antaranya, bahkan tak sungkan melakukan nista demi meraih takhta kejayaan. Akibatnya, marwah sebagai mutiara kebajikan makin menjauh dari dirnya sehingga yang tampil sosok-sosok perkasa nirspiritualitas utama.

Apa yang hilang dari mereka? Allah SWT melukiskan sosok orang-orang yang direndahkan derajat hidupnya melalui firman- Nya surah al-A'raf ayat 176.

Sungguh kini makin mende-sak keniscayaan menyebarluaskan kesadaran filosofis tentang nilai marwah pada siapa pun yang ingin menjadi petinggi negeri agar tidak menjadi pejabat korup, tebal muka, dan nista. Kesadaran nurani dan akal kognisisnya harus dijejali dengan nilai dasar kebenaran, kebajikan, dan kepatutan agar tidak menjadi sosok-sosok predator. Rasa malu dan martabat diri didorong jadi budaya elite dan warga agar negeri ini makin diurus dengan sepenuh hati demi kebajikan semesta dan tidak dirusak dengan segala cara yang nista.

Semua dimulai dari para pemimpin puncak di setiap lini.

Pemimpin itu niscaya memiliki visi nilai filosofis dalam mengemban amanat kepemimpinannya. Simaklah penggalan pidato Abu Bakar ketika diangkat menjadi khalifah, "Sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pemimpin atas kalian dan aku bukanlah yang terbaik dari kalian. Maka, jika aku berbuat kebaikan, bantulah. Jika aku bertindak keliru, luruskanlah. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya, barang siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya."

Abu Bakar sosok pemimpin sejati yang rendah hati dan jujur hingga Nabi menamainya ash- Shiddiq. Dia bahkan tak berpikir akan diangkat menjadi khalifah pertama memimpin umat meneruskan risalah Nabi. Tapi, dia juga tegas dan memiliki visi kepemimpinan yang melampaui. Tatkala awal menjalankan kekhalifahan, dia harus melawan pemberontakan kaum separatis, pembangkang yang tak mau bayar zakat, kelompok murtad, dan para nabi palsu, seperti Musallamah al-Kadzdzab, Tulaiha al-Asadi, dan al-Aswad al Ansi. Semua dilakukan berhasil ditumpas dan nilai-nilai kebenaran ditegakkan tanpa pandang bulu. Pada masanya, ekspansi ke Irak dan Syam berhasil dilakukan. Inilah sosok pemimpin bermarwah utama!

Oleh Haedar Nasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement