Rabu 26 Nov 2014 12:00 WIB

Lika-liku Layanan BPJS (Bagian 1): Sabar Antre dan Penawar Jasa Kartu

Red:

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini menjadi andalan bagi warga yang ingin berobat. Tak mengherankan jika para pendaftar begitu membeludak. Bagaimana BPJS bekerja, berikut laporan khusus wartawan Republika, Bambang Noroyono, yang disajikan berseri.

Udara dingin subuh masih berasa saat Ade keluar rumah. Tapi tanpa terasa, matahari sudah hadir mendekati kepala. Lima jam lamanya laki-laki yang bekerja serabutan ini menunggu. Mengantre sebuah jaminan kesehatan, tetapi terkendala birokrasi dan administrasi pendaftaran.

Hari itu, Senin (3/11), Ade sedang tak kerja. Dari kediamannya di Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, dia melaju ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) cabang Jakarta Selatan. Niatnya untuk menjadi anggota program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) milik pemerintah tersebut.

Sebenarnya Ade tak perlu melaju sepagi itu. Waktu tempuh dari rumahnya ke tempat tujuan cuma sekejap. Macet sekalipun, sepeda motor akan mengantarkannya tak lebih dari setengah jam. Tapi, Ade seolah mahfum keadaan yang bakal dihadapinya.

Tak meleset. Tiba di gedung di Jalan Raya Pasar Minggu 17 itu, bukan lagi puluhan, tapi hampir seribuan kepala, padat mendesak masuk ke halaman. Menanti pagar dibuka dan menunggu antrean dimulai. Semuanya punya maksud sama: mendaftarkan diri kepesertaan jaminan kesehatan murah tersebut.

Ade punya dua tujuan ke BPJS hari itu. Pertama, mendaftarkan namanya. Kedua, tapi utama, mengganti keikutsertaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) atas nama neneknya, Girah Prawirodiryo, ke dalam program BPJS. Girah tak bisa mengganti kartu keanggotaannya sendirian. "Nenek saya umurnya itu sudah 80 tahun. Mau dibawa ke (Rumah Sakit) Dharmais," kata dia.

Girah divonis kanker. Pengobatannya selama ini ditanggung Pemprov DKI Jakarta via kepesertaan KJS. Belakangan, rumah sakit tak lagi menerima jaminan lewat APBD tersebut. Keluarga diminta mengganti pembiayaan lewat BPJS.

Kalkulasi waktu pendaftaran hari itu ditaksir dia sehari kelar. Ternyata tidak, bahkan bisa dibilang sia-sia. Ade hadir sebelum loket antrean dibuka. Dia ada di barisan tengah ketika petugas keamanan meminta pengantre berbaris dan tertib. Jam sudah di angka delapan lewat. Seperti pengantre lainnya, Ade berdiri menunggu, sesekali jongkok mengelabui matahari yang mulai memanggang.

Tiba giliran Ade di barisan depan. Petugas keamanan merangkap pembagi tiket antrean, Endang M, lancar menjelaskan. Tujuan yang pertama tak ada persoalan. Endang memberikan karcis antrean berkombinasi angka C 112.

Tujuan kedua yang menjadi masalah. Endang menerangkan agar Ade terlebih dahulu pergi ke kantor perwakilan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) DKI Jakarta. Ade diminta membawa surat pengantar serta pencabutan kepesertaan KJS atas nama Girah.

Kalau surat dari Jamkesda tak ada, kata Endang, migrasi nama Girah ke program BPJS dipastikan tak akan bisa. Selanjutnya, Ade diminta keluar dari barisan antrean. Keputusan cepat dia ambil, memburu surat dari Jamkesda. Pada jam itu juga, motor bebek miliknya melaju ke Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Di sanalah kantor JKS DKI Jakarta beralamat.

Namun, sebelum berangkat, tak terpikir ramainya antrean di BPJS dan setiap pengantre mesti selalu siaga menunggu dipanggil. Jika pemegang nomor antrean tak muncul ke meja verifikasi pendataan saat dipanggil, antreannya akan dilompati nomor antrean selanjutnya. Risikonya, pemilik antrean semula kembali ke lobi awal untuk mengambil nomor antrean baru.

Ade percaya diri menyerahkan bukti antreannya ke meja verifikasi selesai dari Jamkesda. Namun, nomor antrean Ade ditolak. Tim verifikasi data sudah sampai ke pekerjaan pengecekan dokumen bernomor antrean pendaftar di angka tiga ratusan. Pemilik nomor C 112 dianggap tak ada. Masam Ade kecewa. Tapi, dia tetap menuruti karena bukan cuma Ade korbannya.

"Perintah dari dalam (atasan) antrean pendaftaran itu cuma sampai jam sebelas. Kalau cuma mau ngambil formulirnya aja boleh," kata Endang. Endang menyarankan agar Ade kembali besok. Ade pun memilih pulang. "Jadi ribet. Besok lagi disuruh ke sini. Ribet," kata dia sambil lalu.

Purnomo pun merasakan kemengkalan serupa. Bedanya, bapak dua anak ini tetap ngotot. Dia memaksa pendaftaran untuknya bisa diproses hari itu juga. Putri keduanya, berusia dua tahun sembilan bulan, sedang menunggu di RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur, untuk dirawat inap.

Meski begitu, usaha laki-laki 35-an tahun itu seperti Ade. Meski Purnomo mondar-mandir, berusaha potong jalur, mencari solusi ke meja verifikasi, tapi tetap mentah. Padahal, dokumen dan syarat kepesertaan sudah lengkap.

Jika kantor BPJS Jakarta Selatan memberikan jatah antrean 700 orang per hari, aturan berbeda diterapkan perwakilan BPJS Jakarta Pusat. Di hari yang sama, Republika mengecek antrean serupa di kantor yang beralamat di Jalan Proklamasi 17, Menteng, tersebut.

Seorang petugas di lobi nomor antrean mengatakan, perwakilan BPJS Jakarta Pusat tak mengenal sistem kuota. Petugas yang tak mau menyebutkan nama itu mengatakan, batas pengambilan nomor antrean ditutup pukul 13:00 WIB. Proses verifikasi berkas, entry pendataan, pembayaran iuran perdana, dan cetak kartu, serta lain-lain, hanya sampai pukul 16:00.

Jasa antrean

Mengantre saban hari tiga hari berturut-turut, bukan kegiatan ringan. Beberapa pengantre mengakui itu buang-buang waktu dan tenaga. Beberapa pengantre terpaksa membolos kerja.

Republika mencari cara agar pendaftaran BPJS hari itu tanpa perlu mengantre panjang. Calo adalah pilihannya. Jika keluar dari pelataran antrean calon peserta BPJS di gedung tersebut, akan tampak sekumpulan tukang ojek. Mereka ngetem di pangkalan yang lengkap dengan penjual kopi dan rokok.

Pangkalan itu bahkan lebih sejuk dan nyaman ketimbang di tempat antrean kepesertaan BPJS. Seorang penunggu pangkalan mengatakan, tak perlu capek seharian antre dan panas-panasan kalau bisa mendaftar dengan perwakilan. "Udah jadi, Bang? Ngopi aja dulu di sini. Biasanya memang lama di sini," tanya si penjual kopi.

Perempuan 50-an tahun itu mengaku bernama Winda. Setiap wajah baru yang singgah ke pangkalan akan dia tebak sebagai pendaftar di BPJS. Bersama anak perempuannya, Dina, keduanya tanpa basa-basi menawarkan jasa.

"Kalau baru mau ngurus, saya urusin aja dah sini, Bang. Capek mah kalau mau ditungguin. Lama antreannya," kata dia meyakinkan. Republika bergeming, mencari cara agar tak mengundang curiga.

Republika menanyakan harga, tapi harga kopi yang keluar dari mulutnya. Dina tertawa. Dia lalu bertanya ke ibunya tentang berapa uang untuk jasa pembuatan kartu kepesertaan BPJS itu.

Jasanya di harga Rp 190 ribu per orang. Itu untuk pendaftaran kelas satu dan sudah termasuk iuran perdana ke BPJS Rp 59.500. Untuk kelas dua, dia menetapkan jasa Rp 150 ribu per orang. Harga itu juga sudah dihitung dengan iuran kelas dua Rp 42.500. Sedangkan, jasa kelas tiga Rp 125 ribu.

Winda mengatakan, jasanya itu tak mahal. Sebanding dengan hasil yang diperoleh tanpa perlu berpanasan dan merasakan gerah antrean dan lama. "Sehari jadi. Beres dah semuanya, Bang," kata dia.

Memang, selain Winda dan Dina, banyak warga lokal di pangkalan itu merangkap calo. Dari penjual kopi, para tukang ojek, sampai tukang parkir dan tambal ban pun mengaku bisa membantu pengurusan kepesertaan BPJS dalam sehari. Maksimal mereka katakan selesai dua hari.

Untuk hari itu, ada lima klien yang harus diserahkan kartu kepesertaan BPJS lewat tangannya. Winda enggan membeberkan nama dari pihak BPJS yang bekerja sama dengannya. Hanya saja, dia memastikan, setiap calo di pangkalan ojek bermuara ke satu nama yang mengurusi setiap pendaftaran sampai dengan proses pembuatan kartu. n ed: nur hasan murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement