Kamis 30 Oct 2014 14:13 WIB

Polri Tetap Usut Kasus Penghinaan Presiden

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Satu warga Ciracas, Jakarta Timur, berinisial MA (24) ditangkap petugas Sub Direktorat Cyber Crime Polri, pada Kamis (23/10) atas dugaan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mabes Polri menegaskan, tetap memproses kasus MA meski tersangka telah meminta maaf kepada Jokowi. “Tersangka diduga memuat mengedarkan memperbanyak gambar pornografi. Dia juga akan dikenakan UU KUHP Pasal 310-311 tentang penghinaan secara tertulis atau pencemaran nama baik,” jelas Dirtipideksus Brigjen Polisi Kamil Razak, Rabu (29/10).

Polisi menjerat MA dengan Undang-Undang Pornografi dengan ancaman 12 tahun penjara. Adapun soal sangkaan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Presiden Jokowi, polisi menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP. Kamil menerangkan, MA diduga menyebarkan gambar, foto, dan kalimat yang mengandung unsur pornografi. Gambar-gambar tersebut, lanjut Kamil, diedit sendiri oleh tersangka.

Kamil menjelaskan, proses hukum akan terus berlanjut karena kasus tersebut adalah delik biasa dan bukan delik aduan. Jadi, tanpa laporan yang masuk pun, lanjutnya, polisi akan tetap melakukan penindakan. “Pelaku sudah minta maaf itu silakan, urusan pelaku sendiri. Kita tidak melakukan inisiasi. Ini kembali pada kebijakan Pak Jokowi,” kata Kamil.

MA sendiri ditangkap atas laporan kuasa hukum Jokowi sekaligus politisi PDIP Henry Yosodiningrat  pada 27 Juli lalu. Kamil menerangkan, sehari sebelum dilaporkan, Henry menerima pesan melalui Blackberry Messanger (BBM) berisi gambar-gambar Jokowi dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang mengandung unsur pornografi. Penyidik baru bisa memeriksa Henry pada Agustus dan saksi, yaitu Jokowi pada 10 Oktober.

Ketua RW 01 Kelurahan Rambutan Juli Karyadi menerangkan, tiga hari sebelum penangkapan terhadap MA, yakni pada 20 Oktober, sejumlah intel Mabes Polri sudah memantau situasi di lingkungannya. "Polisi berpakaian sipil sudah mondar-mandir di warung kopi dekat rumah MA,” katanya. Hingga akhirnya pada 23 Oktober, petugas polisi memberitahukan surat penangkapan kepada Ketua RT 09 Nur Ali dengan menyertakan bukti-bukti tindak pidana yang dilakukan tersangka.

Pada waktu proses penangkapan, ibu tersangka, Mursidah, tidak mengerti saat polisi menyodorkan surat penangkapan kepadanya. Alasannya, Mursidah tidak bisa membaca atau buta huruf. Saat ini kondisi Mursidah masih syok. “Saya nggak nyangka anak saya seperti itu, saya mohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan anak saya kepada Bapak Joko Widodo,” kata Mursidah.

Fahrur Rohman yang mewakili keluarga MA mengklaim tersangka tidak begitu mengerti soal jejaring media sosial di internet. Ia menyangkal tuduhan dari pihak kepolisian dengan alasan tersangka tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam menggunakan teknologi internet. “Dia tuh baru belajar copy paste. Kalau ke warnet juga hanya setengah jam, nggak pernah lama-lama,” kata Fahrur, kemarin.

Fahrur menambahkan kesehariannya MA hanya sebagai karyawan di sebuah warung sate milik Haji Margani. MA pun aktif di Majlis Nurul Mustofa. ”Sepekan tiga kali MA rutin datang ke majelis,” ujarnya. Fahrur mewakili keluarga dan seluruh warga memohon maaf kepada Presiden Joko Widodo dan berharap Jokowi akan membebaskan MA dari jeratan hukum.

Pengacara tersangka, Irfan Hakim, mengatakan, kliennya hanya terbawa suasana pascapilpres yang panas. “Kita sama-sama tahu suasananya begitu panas, dua kubu saling serang. Beredar foto-foto editan, gambar wajah capres yang badannya diganti yang menurut UU masuk dalam pasal pencemaran, penghinaan, dan pornografi,” kata Irfan kepada Republika, Rabu.

Irfan mengatakan, MA sama sekali tidak mengetahui dampak dari perbuatannya. Hal tersebut, menurutnya, terlihat dari akun Facebook tersangka yang tidak dikunci dan menggunakan nama serta foto asli. “Dia itu polos, karena biasanya perang itu kan akun-akun anonim. Tapi ini akun asli dan bukan anonim, karena dia melihat situasi panas dia ikut-ikutan.”

Mantan Koordinator Tim Hukum dari Tim Kampanye Nasional Jokowi-JK, Henry Yosodiningrat, menyatakan, media telah memelintir pemberitaan sehingga mengesankan Presiden Jokowi dan PDIP sebagai pihak yang jahat karena tega memenjarakan orang miskin. “Media mendramatisir. Jadinya, seakan Jokowi itu presiden yang bejat. Padahal, saya saat melaporkan itu  tidak tahu, apakah ia tentara, brigadir polisi,  profesional, apa dia tukang sate, tukang jagal babi, mana saya tahu,” kata Henry.

Henry menuturkan, dalam menegakkan hukum, tidak dapat memandang status pelaku. Menurutnya, latar bekang tersangka yang miskin dengan profesi tukang sate tidak dapat dijadikan alasan pembenaran dari sebuah tindakan penghinaan. “Yang kita laporkan itu perilakunya, bukan manusianya.”

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai, kepolisian ibarat hukum yang hidup peka terhadap pelanggaran hukum. Meski secara normatif polisi dapat melanjutkan proses hukum, namun lanjut Bambang, kepolisian harus bisa membaca konteks kasus penghinaan yang dilakukan MA secara luas. “Prinsipnya jangan hanya bekerja normatif, tetapi juga harus bekerja sosiologis,” ujarnya

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, sikap Polri dalam menangani kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi oleh tersangka MA, sangat aneh dan diskriminatif. Menurut Neta, polisi hanya berani bersikap secara aktif dalam kasus yang melibatkan rakyat kecil yang tidak berpengaruh. “Giliran yang melakukan penghinaan adalah orang kuat dan berpengaruh, Polri tidak segera melakukan penangkapan,” kata Neta.

Neta mencontohkan, Polri terkesan berputar-putar dalam menuntaskan kasus tabloid Obor Rakyat yang juga merupakan kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi sewaktu musim kampanye pilpres. "Lihat saja kasus Obor Rakyat, sampai sekarang dua tersangkanya belum ditangkap dan ditahan Polri.” Jika sikap seperti ini terus berlanjut, Neta mengatakan, akan memperburuk citra Polri di mata masyarakat. n c82/c94/c96/c16/c08 rep: muhammad akbar wijaya ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement