Rabu 06 Aug 2014 12:00 WIB

Angkutan Umum Terpukul

Red:

JAKARTA -- Pembatasan penjualan solar bersubsidi membuat perusahaan angkutan umum mengkaji kenaikan tarif penumpang. Kementerian Perhubungan pun sedang mendalami besaran kenaikan tarif angkutan.

Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan mengatakan, penghitungan tarif itu, antara lain, diukur sesuai dengan perbandingan jarak dan bahan bakar. "Kami akan mengkaji lagi kenaikan tarif," kata Mangindaan, di Jakarta, Selasa (5/8). Menhub berharap, andaikata penyesuaian tarif itu diberlakukan, kenaikannya tidak tajam agar masyarakat pengguna angkutan umum tidak terlalu terbebani.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menginstruksikan pembatasan penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat per 1 Agustus 2014. Per 4 Agustus, penjualan solar bersubsidi di wilayah tertentu di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali dibatasi pada pukul 18.00 hingga 06.00 WIB. Namun, SPBU yang berada di jalur utama distribusi logistik tidak ada pembatasan waktu penjualan solar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Per 4 Agustus, alokasi solar subsidi untuk lembaga penyalur nelayan dipotong 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 ton. Mulai 6 Agustus, SPBU di jalan tol hanya menjual Pertamax.

Sekjen DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda) Andriansyah berpendapat pembatasan solar subsidi tak hanya merugikan pengusaha angkutan umum, tapi juga menyengsarakan rakyat kecil. "Kebanyakan pengguna jasa angkutan umum itu masyarakat kelas menengah ke bawah. Pembatasan solar bersubsidi jelas bukan kebijakan prorakyat," kata Andriansyah.

Kebijakan itu bakal menyulitkan penyedia jasa angkutan umum mengoperasikan armada. Jika menggunakan solar nonsubsidi yang harganya mahal, akan membengkakkan biaya operasional. Opsi kenaikan tarif pun menjadi tak terelakkan guna menutupi ongkos operasional.

Menurut Andriansyah, Organda telah meminta BPH Migas mencabut instruksi pembatasan penjualan solar bersubsidi. "Kalau instruksi itu tidak dicabut, kami memilih setop beroperasi," ujarnya.

Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng menegaskan, kendaraan umum dan logistik akan tetap menerima layanan BBM bersubsidi sehingga tidak perlu ada perubahan apa pun terkait tarif transportasi. Dia meminta masyarakat tak perlu takut tarif transportasi naik akibat pengendalian penggunaan BBM bersubsidi.

Sebab, pengendalian penggunaan BBM bersubsidi ini berlaku untuk pengguna kendaraan pribadi. Menurut Andy, solar untuk transportasi publik, logistik, kereta api, dan transportasi laut tetap mendapat layanan BBM bersubsidi. "Jadi, tidak akan ada pembatasan solar yang dibutuhkan untuk kegiatan ekonomi," katanya.

Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan, pengendalian BBM dilakukan karena kuota BBM bersubsidi jenis solar terancam habis pada akhir November bila penggunaannya tidak dikendalikan. Menko Perekonomian Chairul Tanjung menambahkan, serangkaian upaya ini bersifat sementara, yakni hanya untuk mengamankan APBN.

Presiden terpilih Joko Widodo menilai kebijakan pembatasan solar tak efektif karena tidak diterapkan secara merata. "Kalau menurut saya, kalau memang mau naik, ya naik saja, harus tegas. Jangan hanya dibatasi, tapi di lokasi tertentu karena nanti mereka minggir ke SPBU lain, apa bedanya?" kata Jokowi. Namun, Jokowi menolak jika menaikkan harga BBM lebih baik dibandingkan membatasi pasokan BBM.

Apalagi, jika pembatasan solar subsidi itu menimbulkan kesenjangan ekonomi bagi pengusaha SPBU. "SPBU yang ada di kota nanti akan teriak karena jadi sepi. Tapi, tentu saja kalau mau menaikkan harus ada kalkulasi, hitungannya harus ada, hitungan ekonomi, hitungan politik, dan dampak sosial juga harus dihitung," tutur dia. n aldian wahyu ramadhan/antara  red: ahmad islamy jamil, ed: nur hasan murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement