Jumat 20 Mar 2015 11:00 WIB
FOKUS PUBLIK-

Setop Diskriminasi Siswa Madrasah

Red:

JAKARTA — Seleksi Olimpiade Sains Nasional (OSN) Semarang pada 24 Februari 2015 lalu menyisakan cerita berbau diskriminasi. Di Kabupaten Semarang, para siswa dari madrasah ibtidaiyah (MI) tak diperkenankan ikut OSN. Saling lempar kewenangan pun sempat terjadi antara Kementerian Agama sebagai pengayom madrasah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan OSN.

Tiga madrasah, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Bidayah, Bandungan, MI Wonokasihan, Jambu, dan MI Kalijero, Ungaran Timur, tak bisa mengikuti OSN. Padahal, para siswa madrasah tersebut menunjukkan prestasi.

"Ini kan diskriminasi terhadap prestasi siswa madrasah," kata Kepala MI Kalijero Zunaedi, di Ungaran, Selasa (10/3). Seharusnya, kata dia, aturan dari kementerian ini juga memberi ruang prestasi yang sama bagi siswa madrasah.

Kepala MI Al Bidayah Kholid Mawardi mengatakan, madrasah terpaksa harus mengikuti aturan. Menurut dia, ketiga madrasah ini berusaha meminta kejelasan dari panitia dan juknis tersebut ke Kementerian Agama Kabupaten Semarang.

Kasi Pendidikan Madrasah Kemenag Kabupaten Semarang Muhtadi menelusuri juknis itu. Dirjen Pendidikan Dasar, kata dia, menuangkannya dalam surat edaran Nomor 056/02/TE/2015 tentang Olimpiade Tingkat SD Tahun Anggaran 2015. Di sana disebutkan, kepesertaan OSN di tingkat provinsi hanya diikuti siswa SD, tak disebut siswa madrasah. Hal yang sama juga terdapat dalam juknis Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Nomor 421.7/06548 tentang Penyelenggaraan OSN SD dan SMP.

Direktur Pendidikan Madrasah Kementerian Agama M Nur Kholis Setiawan mengakui bahwa kasus semacam ini sering terjadi. "Dari dulu sudah banyak terjadi," katanya. Ia meminta siswa madrasah tidak patah arang karena masih banyak jalan untuk berprestasi.

Karena itu, direktorat yang dipimpinnya menggelar Kompetisi Sains Madrasah (KSM) untuk siswa madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah setiap tahun. Ini berlangsung dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional.

Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Hamid Muhammad membantah ada diskriminasi siswa madrasah. Menurut dia, Kemenag yang meminta agar siswa MI tak lagi dimasukkan ke dalam OSN. Kesepakatan ini terjadi saat rapat kerja internal dua kementerian pada 2009. Hal itu disepakati dan mulai diterapkan sejak 2010.

Menurut dia, Kemenag melakukannya mungkin karena ingin melaksanakan OSN versi Kemenag yang dikenal dengan KSM. Peraturan itu tidak berlaku untuk OSN tingkat pendidikan menengah. Hamid menekankan, apabila Kemenag berkeinginan untuk mengikutkan kembali siswa MI dalam OSN, Kemendikbud siap melakukannya.

Hal ini dibantah Kemenag. Nur Kholis mengklaim tak pernah meminta siswa MI tak lagi ikut OSN. Dia pun meragukan adanya pembicaraan itu dengan Kemendikbud. "Setelah melakukan pengecekan, direktorat madrasah tidak menemukan dokumen tertulis penyelenggaraan rapat internal 2009 yang disampaikan Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Hamid Muhammad," katanya.

Untunglah Kemenag dan Kemendikbud dapat menyelesaikan masalah tersebut. Mereka pun sepakat siswa madrasah dapat ikut OSN. Menag Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Kemendikbud setuju merevisi petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan OSN yang sebelumnya membatasi siswa MI mengikuti OSN tingkat kabupaten/kota saja.

Lukman menjelaskan, Kemenag dan Kemendikbud memiliki semangat yang sama bahwa OSN bukan hanya milik sekolah umum, melainkan juga milik madrasah. Lukman menegaskan, pada dasarnya antara sekolah umum dan madrasah tidak memiliki perbedaan. Hal yang berbeda hanyalah wadah formalnya.

n ed: a syalaby ichsan

***

Fokus Publik Madrasah

Stop Diskriminasi!

Busrol Chabibi – Demak, Jawa Tengah

Anak dari madrasah tidak dapat mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN). Hal tersebut hanya disebabkan sekolahnya berstatus madrasah ibtidaiyah. Aneh bukan? Padahal, dalam dunia pendidikan sebetulnya tidak perlu adanya pembeda antara madrasah ibtidaiyah dan sekolah dasar. Toh buktinya ada beberapa dari anak-anak yang berstatus siswa madrasah tersebut justru mempunyai kecerdasan lebih dalam bidang sains dibanding dengan anak-anak sekolah yang berstatus sekolah dasar.

Kebijakan ini justru akan merusak semangat anak-anak yang mempunyai keunggulan dalam bidang sains tersebut. Sebab, pada mulanya anak tersebut memiliki semangat tinggi untuk mengembangkan bakatnya. Akan tetapi, karena adanya pendiskriminasian terhadap anak yang berstatus madrasah tersebut, mereka justru memilih untuk tidak mengembangkan bakatnya karena berpikir bahwa bakatnya tidak akan berguna dalam kehidupan dunia.

Bahkan, hal tersebut juga akan berimbas kepada teman-temannya yang berstatus siswa madrasah yang mempunyai kelebihan dalam bidang lain, misalkan dalam matematika, atletik, dan lain sebagainya. Sehingga, mindset mereka menjadi terbalik. Mereka yang seharusnya berpikir untuk mengembangkan bakatnya justru akan berpikir untuk memutuskan tidak melangkah lebih maju.

Pendiskriminasian terhadap madrasah ibtidaiyah ini harus segera dihilangkan. Jika hal tersebut biarkan begitu saja, pendidikan di Indonesia akan lebih mengalami kemunduran. Sebab, anak-anak yang sebetulnya cerdas dan mempunyai tekad untuk menuntun negaranya lebih maju justru dihalang-halangi dengan adanya pendiskriminasian tersebut.

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kartika

Sesuai dengan isi dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi "... mencerdaskan kehidupan bangsa..." seharusnya anak-anak yang bersekolah di madrasah ibtidaiyah pun memilki hak yang sama untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional. Karena tidak dapat dimungkiri, mereka merupakan aset bangsa yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa yang membanggakan. Tidak sedikit pula anak-anak yang bersekolah di MI memilki kecerdasan dan kreativitas yang tinggi dan tidak kalah dengan yang bersekolah di sekolah negeri.

Penganaktirian Ilmu Agama Sejak SD

Herwin Nur, Tangerang Selatan, Banten

Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 056/02/TE/2015 tentang Penyelenggaraan Festival, Lomba, dan Olimpiade Tingkat SD Tahun 2015. Kelima ajang kompetisi siswa SD tersebut adalah Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), International Mathematic and Science Olympic (INSO), Apresiasi Sastra Siswa Sekolah Dasar (AS3D), dan Lomba Cipta Seni Pelajar (LCSP).     

Prakteknya ada beberapa ajang kompetisi yang ditengarai masih mendiskriminasikan madrasah ibtidaiyah (MI), khususnya Olimpiade Sains Nasional (OSN) hanya milik sekolah umum. Secara formal menetapkan siswa MI tidak berhak ikut OSN. Bahkan, OSN tingkat provinsi pun ditolak, walau lolos babak penyisihan tingkat kabupaten/kota.

Apa pun dalih kebijakan yang dibuat oleh penguasa dunia pendidikan dasar merupakan bukti bahwa sejak pendidikan dasar, ilmu agama (agama Islam) maupun sekolah agama MI dianaktirikan secara sistematis. Apakah modus operasi ini sebagai tindak lanjut mata rantai sistem atau turunan dari praktek kebijakan bahwa mata kuliah agama Islam di pendidikan atau perguruan tinggi, khususnya PTN, hanya sebagai pelengkap.

Madrasah Harus Berinovasi

Fauzan Suhada, Bogor

Pada saat ini, memang tenaga pendidik terutama yang di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia sedang mendapat berbagai macam rintangan. Mulai dari perlakuan diskriminatif yang dialami siswa yang menempuh jalur pendidikan madrasah saat melanjutkan pendidikan ke jalur pendidikan yang sekuler (atau yang tak terlalu mementingkan pendidikan agama) hingga perlakuan diskriminatif bagi lulusan pendidikan madrasah dan jam'iyah saat berada di masyarakat.

Saya sendiri juga mengalami perlakuan diskriminatif ini ketika saya berusaha menghidupkan nilai-nilai ajaran Islam di lingkungan sekolah menengah dan perguruan tinggi. Semua ujian yang ada kita harus hadapi dengan sabar karena sabar ini adalah senjata rahasia bagi mukmin sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS al Baqarah: Yaa Ayyuhalladziina aamanuus ta'iinuu bish shabri wash shalaati InnallaHa ma'ash shabiiriin.

Saya berpendapat, sebaiknya pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia perlu lebih pro aktif dalam melakukan inovasi agar madrasah bisa dikenal masyarakat lebih luas.

Tak Masuk Akal

Giyat Yunianto

Madrasah ibtidaiyah adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia yang pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Tak bisa ikutnya siswa madrasah ibtidaiyah pada Olimpiade Sains Nasional sangat tidak masuk akal dan sangat diskriminatif. Karena, biar bagaimanapun juga siswa madrasah ibtidaiyah adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak asasi yang sama untuk berkompetisi mengharumkan nama bangsa.

Meskipun pada madrasah ibtidaiyah lebih banyak porsi mengenai pendidikan agama Islam, hal tersebut bukanlah alasan yang kuat untuk melarang siswa madrasah ibtidaiyah ikut berkompetisi pada Olimpiade Sains Nasional. Siswa madrasah ibtidaiyah merupakan calon generasi penerus bangsa yang harus dibina dan dikembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Ya Allah, berilah kesabaran dan kekuatan kepada seluruh siswa dan siswi madrasah ibtidaiyah agar mampu bersaing menjadi manusia terbaik di masa yang akan datang.

Sangat Membingungkan

Bintar, Yogyakarta

Seharusnya tidak boleh ada diskriminasi semacam ini. Hanya karena MI itu sekolah Islam atau swasta lalu dilarang mengikuti OSN? Bukankah sangat membingungkan, MI boleh mengikuti OSN di tingkat kabupaten, tetapi kemudian dilarang di tingkat provinsi? Apakah ada peraturanya? Atau hanya karena MI itu sekolah Islam dan swasta lantas dilarang? Jika yang kedua benar, artinya ada pihak yang masih memiliki pemikiran kolot tentang pembedaan yang swasta dan negeri, yang beragama dan yang tidak. Setop diskriminasi, gimana Indonesia mau maju, kalau mindset pejabat pendidikan masih seperti ini.

Maju Terus Sekolah Islam

Rizal, Medan

Maju terus sekolah Islam. Saya sangat bangga dulu anak saya sekolah di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan yang terakreditasi ranking 1 se-Sumut.

Supaya Madrasah Terbelakang

Hendri Yunanda

Pencekalan sekolah berlabel Islam bertujuan mengurangi dominasi madrasah sebagai sekolah yang unggul di bidang sains dan agar difokuskan sebagai sekolah terbelakang dan tidak kompetitif. Harus disanksi bagi mereka yang mencekal kebebasan untuk lebih maju karena sudah melanggar hak siswa yang berprestasi di bidang sains yang berasal dari madrasah.

Pemerintah 'Begal' Hak Madarasah

Rudi Sharudin Ahmad, Kuningan

Juknis (petunjuk teknis) sebagai pemutus hak madrasah untuk berprestasi di kancah provinsi perlu untuk dikaji ulang secara rasional. Sebab, tindak diskriminasi ini akan berdampak kepada pandangan masyarakat sekaligus cara berpikir mereka. Bahwa, madrasah tidak terlegitimasi oleh pemerintah.

Sepatutnya, pemerintah tidak memberikan pemisahan hak terhadap siswa madrasah ibtidaiyah (MI) yang dalam hal ini menjadikan harum ketimbang dekolah dasar (SD). Sebab, mereka sama-sama memiliki hak untuk berprestasi dan tentunya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila untuk yang sebenarnya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement