Selasa 21 Apr 2015 17:36 WIB

Program Jaminan Pensiun Dikeluhkan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Suheri mengatakan, pemberlakuan program Jaminan Pensiun (JP) yang rencananya akan diterapkan pada 1 Juli 2015 dengan iuran delapan persen hanya akan menambah beban bagi pemberi kerja dan pekerja.

Suheri menyatakan, program JP ini berpotensi menjadi kanibal dan begal bagi industri dana pensiun seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) yang selama ini sudah bekerja keras dan ikut aktif membangun kesadaran akan pentingnya perencanaan pensiun kepada masyarakat Indonesia. Hal itu yang tertuang dalam UU No 11/1992 tentang Dana Pensiun.

Ia menambahkan,  industri dana pensiun pun  memiliki hak hidup yang patut  menjadi pertimbangan. "Skema dan besaran iuran program JP delapan persen juga akan mematikan industri dana pensiun. Seharusnya, pemerintah juga memperhatikan hal ini. Urusan JP bukan hanya urusan negara, tapi juga pemberi kerja dan pekerja," ujarnya di Jakarta, Senin (20/4).

Ia menambahkan, jika negara ingin mengambil alih semuanya, maka peran pemberi kerja dan pekerja menjadi tidak ada dan akhirnya dapat menurunkan produktivitas pekerja yang merasa manfaat dasar dan mengimbau serta mengedukasi pemberi kerja, pekerja, dan masyarakat agar sadar akan masa pensiun atau hari tua

Seperti diketahui, industri dana pensiun seperti DPLK dan DPPK saat ini mengelola aset sekitar Rp 191 triliun dengan jumlah peserta sekitar 3,6 juta orang. Industri dana pensiun sendiri menargetkan pertumbuhan bisnis pada tahun ini mencapai 20 persen.

Wakil Ketua Umum Perkumpulan  Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Nur Hasan Kurniawan mengatakan, keyakinannya untuk terus memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya perencanaan pensiun agar dapat memenuhi TPP yang layak bagi pekerja serta pentingnya pendanaan kewajiban pesangon bagi perusahaan.

Hasan melanjutkan, apabila iuran program JP tetap dipaksakan tinggi, kemungkinan besar perusahaan tidak akan mengeluarkan beban tambahan untuk mendanakan pesangon yang pada gilirannya akan menimbulkan risiko baru dalam hubungan industrial karena jaminan pemenuhan hak pesangon bagi pekerja menjadi rendah. "Kami membutuhkan kebijakan yang kondusif bagi semua pihak, bukan yang memberatkan dan menambah risiko yang tidak perlu," paparnya.

Rekomendasi

Suheri mengemukakan, ADPI memberikan beberapa rekomendasi  kepada pemerintah. Pertama,  agar  lebih fokus untuk mengoptimalkan dan mengintensifkan kepesertaan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang sudah ada. Suheri mengatakan, dari 63 juta pekerja di sektor formal sejak wajib bagi pekerja formal dari 1992 sampai saat ini,  baru sekitar 15 juta pekerja (24 persen) yang sudah ikut program wajib JHT.  "Ini saja tidak optimal, mengapa harus membebani pemberi kerja dan pekerja dengan kebijakan baru dengan iuran besar yang hanya akan menambah beban," ujarnya.

Rekomendasi kedua ialah memutuskan iuran program JP di bawah dua persen dan meningkat secara bertahap. Suheri mengatakan, iuran program JHT yang 5,7 persen saja tidak semuanya membayar, apalagi kalau ditambah menjadi delapan persen.

Ketiga, industri dana pensiun mengatakan, rencana pemberlakuan JP penting untuk jangka panjang, namun dalam perencanaannya sangat dituntut kehati-hatian. Suheri melanjutkan, jika masalah waktu menjadi kendala terbesar dari implementasi program ini, sebaiknya penerapannya ditunda dengan melibatkan semua stakeholder tanpa kecuali untuk duduk bersama dan memutuskannya secara matang.

Ia menambahkan, pemberi kerja dan pekerja dalam tanggung jawabnya terhadap pensiun harus mendapatkan porsi sehingga semua pihak dapat menunjukkan perannya.  "Semua itu hanya akan terjadi jika program JP yang dijalankan pemerintah sifatnya manfaat dasar dengan iuran yang tidak besar," terangnya.   c84 ed: Irwan Kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement