Rabu 18 Jan 2017 18:00 WIB

Konsumsi Elpiji Meningkat

Red:

JAKARTA -- Konsumsi elpiji di Indonesia mengalami peningkatan. Konsumsi elpiji pada 2007 hanya sekitar satu juta metrik ton per tahun menjadi hampir mencapai 7 juta metrik ton pada 2016. Angka tersebut tumbuh sebesar 700 persen selama embilan tahun.

Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang mengatakan, peningkatan konsumsi elpiji disebabkan adanya program konversi BBM ke elpiji yang dilakukan pemerintah untuk kebutuhan rumah tangga sejak 2007 dan untuk mesin kapal nelayan yang dilaksanakan mulai 2016 yang rencananya akan dilanjutkan pada 2017.

Pertamina, kata Ahmad, terus mendukung pemerintah untuk mengurangi beban subsidi elpiji. "Perusahaan tersebut memberikan varian bagi konsumen sekaligus menghadirkan produk elpiji non-PSO," ujar Ahmad melalui siaran pers pada Selasa (17/1). Elpiji non-PSO, yaitu Bright Gas berukuran 12 kg, 5,5 kg, dan kemasan kaleng ukuran 220 gram.

VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menyampaikan, pihaknya bersama dengan pemerintah daerah sedang melakukan sosialisasi penggunaan elpiji non-PSO untuk memastikan subsidi LPG tepat sasaran kepada yang berhak. Saat ini, pemerintah juga sedang menyiapkan Program Distribusi Elpiji 3 Kg Tepat Sasaran yang diharapkan dapat terlaksana pada tahun ini.

Pelaksanaan subsidi elpiji tabung tiga kg dilakukan dengan pola distribusi terbuka dan dilakukan secara bertahap untuk 26 juta rumah tangga miskin (RTM) dan 2,3 juta usaha mikro. "Jumlah rumah tangga dan usaha mikro penerima subsidi elpiji tabung tiga kg tersebut didasarkan pada Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015 yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Kementerian Sosial," ujar Wianda.

Wianda menerangkan, saat ini sedang berlangsung pembangunan infrastruktur elpiji di seluruh wilayah Indonesia, di antaranya, berada di wilayah Indonesia Timur, seperti depot elpiji di Kupang–Depot LPG NTT, Bima–NTB, Wayame–Maluku, maupun depot elpiji di Jayapura–Papua.

Impor BBM ditekan

Pertamina juga terus berupaya untuk menekan impor bahan bakar minyak (BBM). Wianda mengatakan, impor Premium berhasil ditekan sebesar 30 persen. "Dari 2014 sekitar 62 persen, 2015 hanya 60 persen. Year to date November (2016) 54 persen. Kita akan lihat data terakhir di Desember (2016), harapannya sudah bisa turun di bawah 54 persen," ujarnya.

Solar juga mengalami penurunan impor sebesar 21 persen saat ini. Pada 2015 sekitar delapan persen, sementara pada November cuma turun satu persen. "Ini menunjukkan kilang sudah banyak produksi solar. Solar juga banyak terdelusi akibat banyaknya pembangkit yang masih menggunakan batu bara atau beralih ke gas. Jadi, dari sisi produksi kilang sangat mampu memproduksi solar, sehingga tidak dibutuhkan impor," ujar Wianda.

Pertamina, kata Wianda, akan terus membangun dan mengembangkan kapasitas kilang. Hal tersebut demi menekan porsi impor. "Kita punya target 2023 kita sudah swasembada BBM," tuturnya.

Pada tahun ini Pertamina menargetkan percepatan pengembagan kilang. Ada dua proyek upgrading kilang yang dikebut hingga tahap groundbreaking. "Harapannya, tahun ini kita bisa segera groundbreaking untuk dua proyek upgrading kilang, yaitu kilang Balikpapan mudah-mudahan pada kuartal 1 2017 dan upgrading Cilacap serta pembangunan kilang baru di Tuban. Ini untuk target (produksi) dua juta barel per hari," kata Wianda.

Wianda menerangkan, pihaknya dalam waktu dekat akan menambah stok bahan bakar minyak. Ia melanjutkan, sekitar April 2017 dua tempat penampungan (storage) BBM di Pulau Sambu dan Tanjung Uban bakal ditambah pasokan. Pulau Sambu sekitar 150 ribu kiloliter dan Tanjung Uban 200 ribu kiloliter.

Secara umum, Pertamina, kata Wianda menargetkan produksi migas sebesar 12 persen, baik domestik maupun internasional. "Harapannya, pada 2025 (produksi migas) 1,9 juta barel per hari, komposisi internsionalnya mencapai 38 persen (dari target)," ujarnya.       rep: Frederik Bata, ed: Satya Festiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement