Selasa 26 Aug 2014 13:30 WIB

Target Pajak Sulit Tercapai

Red:

MAKASAR — Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengakui sulitnya mencapai target penerimaan pajak yang dibebankan setiap tahun. Menurut Fuad, sulitnya mencapai target dalam beberapa tahun terakhir disebabkan kondisi perekonomian Indonesia yang mengalami perlambatan sehingga ekspor impor yang menjadi sumber pemasukan pajak ikut menurun.

"Transaksi ekonomi memang masih lemah sehingga berpengaruh pada jumlah penerimaaan pajak," ujarnya seusai membuka Mukernas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Makassar, seperti dikutip Antara, Senin (25/8). Selain pertumbuhan ekonomi yang melemah, hal lain yang menjadi penghambat karena minimnya jumlah pegawai yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DPJ).

Menurut Fuad, Ditjen Pajak hanya memiliki sekitar 6.000-an pegawai dan 4.000 auditor. Sedangkan, wajib pajak yang sudah terdaftar hingga kini mencapai angka 28 jutaan orang. Jumlah itu, ia mengungkapkan, juga sangat jauh bila dibandingkan yang dimiliki negara lain.Minimnya pegawai DPJ, ia menambahkan, juga membuat masih banyaknya sektor infomal yang belum tergarap. Pihaknya pun mengaku sulit mencapai target maksimal karena minimnya dukungan infrastuktur, seperti kantor cabang, sarana dan prasaran, serta kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM).

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015, Penerimaan perpajakan Indonesia tahun depan ditetapkan sebesar Rp 1.370 triliun. Jumlah itu naik 10 persen dari target APBN Perubahan (APBN-P) 2014. Kementerian Keuangan mencatat realisasi pendapatan negara hingga 30 Juni 2014 telah mencapai Rp 712,7 triliun atau 42,8 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp 1.667,1 triliun. Sedangkan, pada 2011 realisasi perpajakan sebesar 99,45 persen, 2012 (96,88 persen), dan 2013 (91,31 persen).

Anggota DPR Komisi Keuangan Ecky Awal Mucharam kepada Republika mengatakan, ada sejumlah faktor penyebab target pajak tak tercapai. Pertama, ada ketidakseimbangkan antarsektor penerimaan pajak. Misalkan, sektor perikanan serta pertambangan dan mineral memiliki kontribusi yang lebih kecil dari seharusnya. Kedua, yakni masih adanya subjek dan objek pajak yang belum tercakup. Bukan pada sektor informal, melainkan pada transaksi-transaksi besar yang tak tercatat dengan jumlah sampai miliaran.  "Seperti bisnis di Glodok itu," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut.

Faktor ketiga, transaksi tidak melalui bank. Ini juga akan mempersulit petugas pajak menghimpun pundi-pundi pendapatan negara. Keempat, kurangnya law enforcement atau penegakan hukum. "Aturan lebih disederhanakan, tapi harus tegas dijalankan. Jangan berubah-ubah," katanya. Terakhir, yakni perlunya punishment dan reward yang lebih jelas di sisi internal. 

Terkait dengan pemisahan Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan, Ecky mengaku tak sepakat. Karena kebijakan kontrol penerimaan dan pengeluaran sebaiknya berada satu atap sehingga mudah mengoordinasikannya.

Selain itu, dalam RAPBN 2015 disebutkan, penguatan sektor pajak tahun depan meliputi penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan, ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, optimalisasi penerimaan migas, serta optimalisasi pendapatan bagian laba BUMN. ed:teguh firmansyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement