Senin 07 Mar 2016 15:02 WIB

Gempa Mentawai Jadi Peringatan Dini

Red: operator

Kebencanaan disarankan masuk kurikulum pendidikan tingkat usia dini sampai atas.

 

SLEMAN -- Gempa berkekuatan 7,8 skala Richter (SR) yang mengguncang wilayah Mentawai dan sebagian Pulau Sumatra pada Rabu (2/3) pekan lalu menjadi peringatan dini atas ancaman gempa ke depannya. Indonesia pun perlu memiliki sistem peringatan dini (early warning system/EWS) yang lebih baik. "Sisi early warning system  selalu menjadi kelemahan dalam menghadapi bencana di negara-negara berkembang. Tak terkecuali Indonesia," kata pakar kegempaan dari Universitas Islam Indonesia (UII), Sarwidi, Ahad (6/3).

 

Menurut Sarwidi, Indonesia masih lemah dalam hal perawatan berkala perangkat alat sistem peringatan dini. Perawatan berkala itu bertujuan untuk memastikan bahwa EWS atau alat peringatan dini bisa bekerja secara baik. "Karena fenomena gempa tidak bisa diprediksi kapan akan terjadinya. Selain itu, juga jumlah alatnya harus cukup," katanya.

 

Selain pentingnya perawatan berkala perangkat EWS, Sarwidi juga mengharapkan kebencanaan masuk dalam kurikulum pendidikan dari tingkat usia dini hingga sekolah menengah atas. Selama ini, menurutnya, kerawanan bencana yang terjadi di negara ini kurang dieksplorasi dan dipelajari oleh warganya sendiri. "Harus dipelajari. Diidentifikasi oleh semua penduduk yang tinggal di Indonesia," kata Sarwidi.

 

Menurutnya, kurikulum pendidikan selama ini sebatas banyak membahas tentang potensi keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Namun, di balik itu ada potensi bencana yang kurang mendapatkan perhatian dari dunia pendidikan. "Mengapa terjadi longsor, gempa itu masih banyak korban. Sebetulnya mekanisme alam itu sudah ada," katanya.

 

Sarwidi mengatakan, ketika kebencanaan itu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan, fenomena alam tersebut tidak akan menjadi bencana. Masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana ini akan tahu dan sadar bahwa bencana bisa terjadi sewaktu-waktu. "Karena itu bagaimana membuat rumah tahan gempa. Jadi, kalau terjadi fenomena alam, itu hanya gempa saja. Karena yang bencana itu, rumah ambruk."

 

Seribu Sirine

Gempa yang terjadi pada Rabu (2/3) di Mentawai berkekuatan 7,8 SR dan sempat terdeteksi berpotensi tsunami. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Indonesia membutuhkan seribu unit sirine tsunami. "Yang saat ini baru terbangun hanya 55 unit dari BMKG dan sekitar 200 unit sirine tsunami berbasis komunitas," kata Sutopo, akhir pekan lalu.

 

Sutopo menjelaskan, sebanyak 55 unit sirine tersebut tersebar di 19 provinsi. Di mana, setiap sirine mengover radius dua kilometer persegi. "Paling banyak berada di Bali ada sembilan sirene, kemudian di Aceh ada delapan sirine, dan Sumatra Barat ada enam," kata Sutopo mengucapkan.

 

Selanjutnya, kata dia, untuk rambu evakuasi tsunami, pihaknya melalui Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB telah melakukan pemasangan rambu evakuasi sesuai standar SNI dan petunjuk teknis yang dikeluarkan BPPT. Rambu-rambu itu disebar di 31 kabupaten/kota. Selain itu, kata Sutopo, untuk rambu titik kumpul tsunami tersebar di daerah pantai barat Pulau Sumatra dan pesisir selatan Pulau Jawa. "Sebanyak 340 set rambu titik kumpul tersebar di pesisir barat Pulau Sumatra, sedangkan sebanyak 300 set rambu titik kumpul tersebar di sebelah selatan Pulau Jawa," katanya menuturkan.

 

Sebelumnya, Sutopo juga mengatakan, sebagian besar alat sensor gelombang tsunami atau buoy tsunami di Indonesia mengalami kerusakan. Aksi vandalisme dan tidak adanya biaya pemeliharaan di BPPT, kata Sutopo, menjadi penyebab kerusakan. Menurut Sutopo, dari 21 buoy yang ada di perairan Tanah Air, tidak ada lagi yang bisa beroperasi. antara, ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement