Jumat 08 Apr 2016 11:00 WIB

Pondok Pesantren Tapak Sunan Meneruskan Perjuangan Dakwah Wali Songo

Red:

Beberapa pondok pesantren di Indonesia mempunyai keunikan sejarah masing-masing pada awal berdiri. Salah satu pesantren yang mempunyai keunikan tersebut adalah Pondok Pesantren Tapak Sunan yang beralamat di Jalan Kayumanis Gang AMD 28, RT 003/RW 005, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Condet, Jakarta Timur.

Pesantren ini unik karena konon para wali Allah pernah menapaki tanah di area pondok Pesantren Tapak Sunan. Penasaran dengan hal itu, Republika kemudian mengunjungi pondok yang diasuh oleh KH Drs Muhammad Nuruddin Munawar tersebut pada Jumat (1/4) pekan lalu.

Di depan pesantren itu tampak sebuah masjid besar dengan menara yang menjulang tinggi. Masjid Tapak Sunan tersebut menjadi tempat beribadah masyarakat umum di sekitar pesantren. Setelah masuk ke dalam pesantren, terdapat sebuah halaman luas yang dikelilingi oleh pagar tembok. Di pinggir halaman berdiri sebuah bangunan aula, sedangkan rumah Kiai Nuruddin berada di samping aula tersebut.

Saat memasuki rumah Kiai, tampak Kiai Nuruddin sedang duduk di depan rumah itu. Setelah duduk bersama Kiai Nuruddin, Republika pun menyampaikan rasa penasaran terhadap Pesantren Tapak Sunan. Kiai Nuruddin kemudian mulai menceritakan sejarah berdirinya pesantren tersebut.

Kiai Nuruddin mengatakan, pesantrennya diberi nama Tapak Sunan lantaran para wali Allah memang pernah menapaki pesantren Tapak Sunan, salah satunya, yaitu Sunan Gunung Jati saat melakukan perjalanan dari Cirebon ke daerah Banten. "Sunan Gunung Jati pernah lewat sini ke Banten, entah untuk tujuan apa," kata dia kepada Republika.

Ia hanya berharap, dengan nama itu, santri-santrinya dapat mengikuti jejak para sunan yang memiliki tekad kuat dalam mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Tidak hanya itu, kata dia, sebelum dibangunnya pesantren ini, ia juga pernah berjumpa dengan seorang kiai di Demak, Jawa Tengah, yang dipandang sebagai seorang wali.

Menurut dia, kiai bernama Mbah Burhan itu sudah banyak dikenal oleh masyarakat Jakarta saat itu. Kiai Nuruddin kemudian berjumpa dengan Mbah Burhan dan menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun, Mbah Burhan tidak langsung merestuinya. Ia justru ingin ikut ke lokasi yang ingin dibangun pesantren tersebut.

Saat di lokasi, Mbah Burhan akhirnya menyarankan untuk memberi nama pesantren itu dengan nama Tapak Sunan. Untuk memantapkan nama itu, Kiai Nuruddin kemudian melakukan istikharah.

Lulusan Fakultas Syari'ah UIN Jakarta tersebut mengatakan, pesantren Tapak Sunan dulunya hanya berawal dari sebuah mushala. Namun, setelah ia mulai berceramah ke berbagai tempat, ia berhasil mendirikan 27 majelis taklim yang berada di bawah naungan Yayasan Ittihadul Anwar.

Seiring berjalannya waktu, mushala tersebut akhirnya tidak sanggup menampung para jamaah sehingga Kiai Nuruddin menyewa Gedung Bamus Betawi. "Sekarang semua pengajian kumpul pesantren ini karena saya sudah tua, sakit, dan mereka memaklumi. Dulunya saya diundang ke mereka, sekarang mereka yang ke sini," ucap dia.

Pondok Pesantren Tapak Sunan telah berkiprah dalam mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa.

Kiai Nuruddin mulai membuka pendidikan salafiyah tersebut pada tahun 1990, selanjutnya ia  mengembangkan pendidikan formal, seperti madrasah tsanawiyah (MTs) pada tahun 1993 dan madrasah aliyah (MA) pada tahun 1996.

Alumnus Pondok Pesantren Buntet Cirebon tersebut mengatakan, RA Kartini dan Ki Hajar Dewantoro memang telah menciptakan sistem pendidikan untuk menyelamatkan umat dari jajahan Belanda. Namun, kata dia, sistem pendidikan yang berkembang menjadi kebablasan karena pelajaran umum akhirnya mendominasi sehingga banyak generasi yang merebut alam dan terjadi pesaingan antara manusia.

Namun, lanjut dia, setelah Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Ahmad Dahlan datang untuk berjuang mengajarkan agama, akhirnya banyak generasi Muslim yang menjadi santri untuk mempelajari Pencipta alam dan Pencipta langit dan bumi, yaitu Allah SWT. "Ini yang membuat pembentukan jiwa," ucap dia.

Sesuai dengan misi itu, Pesantren Tapak Sunan mengajarkan para santri untuk belajar agama dengan sungguh-sungguh dan totalitas, mulai dari pagi, siang, hingga sore. Di sepertiga malam mereka juga istiqamah melakukan shalat Tahajud. "Ini bedanya. Tidak kaget jika profesor atau menteri sekarang korupsi. Karena pembentukan karakter agamanya mungkin berbeda," kata kiai kelahiran 1950 tersebut.

Kegiatan keagamaan di Pondok Tapak Sunan dimulai sejak pukul 03.00 WIB pagi sampai pukul 22.00 WIB malam. Awalnya para santri memang tidak kuat. Namun, kata Kiai Nuruddin, lama-lama betah juga.

Di rumah yang sama, Kepala Sekolah MA Tapak Sunan, Muhammad Arif Sholahuddin mengatakan, walaupun merupakan pondok salafiyah, Tapak Sunan selalu mengombinasikan dengan kebutuhan masyarakat Jakarta. "Jika Jawa Timur menjadi sentral pondok salaf, tapi di sini kita kombinasikan dengan kebutuhan masyarakat Jakarta, yang paling penting ya revolusi mental itu," jelas alumnus Pondok Pesantren Poso Kediri tersebut.

Anak pertama Kiai Nuruddin itu melanjutkan, jika di Jawa Timur persentase kajian kitab kuningnya 80 persen, di Tapak Sunan kitab kuningnya hanya 40-50 persen, sedangkan sisanya dikombinasikan dengan muatan pendidikan reguler yang berafiliasi dengan Kementerian Agama. Sementara, kata dia, materi lokalnya juga selalu disisipkan dengan pembentukan karakter. "Kita fokus di pembentukan karakter," ujar dia.

Menurut dia, selama ini Tapak Sunan juga belum pernah mengeluarkan brosur atau melakukan promosi ke mana-mana. Pesantren Tapak Sunan mempunyai prinsip dan meyakini yang mendatangkan santri itu adalah Allah SWT sehingga Allah mendatangkan santri sesuai kemampuan pengurus Tapak Sunan.

Dalam setahun, santri yang mendaftar Pondok Pesantren Tapak Sunan rata-rata 60-80 santri. Setiap bulannya, para santri hanya dikenakan biaya sebesar Rp 450 ribu untuk biaya sekolah formal madrasah diniyah salafiyah, madrasah tsanawiyah (Mts), dan madrasah aliyah (MA). "Rp 450 itu juga sudah termasuk makan. Mungkin ini yang termurah di Jakarta," ujar Arif.

Setiap Sabtu, para santri mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di area pesantren, seperti latihan marawis, latihan silat, latihan drum band, futsal, voli, dan lain-lain. Menurut Arif, sejak dini para santri sudah dilatih untuk mengurus dirinya sendiri dan lingkungan sekitar. "Misalnya, jika mereka terbiasa memungut sampah sejak awal, ke depannya apa yang tidak normal di masyarakat juga bisa diselesaikan oleh dia," jelas dia.

Selain itu, kata Arif, saat tiba waktu liburan panjang, para santri harus menggunakan kesempatan liburan itu untuk membantu orang tua. "Itu kita buat aturannya dan kita buat sanksi. Misalnya, jika ada orang tua yang mengizinkan anaknya naik motor ketika liburan, maka orang tuanya didenda Rp 1 juta," ucap dia.

Menurut Arif, peraturan tersebut diterapkan untuk menjaga kualitas hasil belajar mereka selama tinggal di Tapak Sunan. Selain dilarang naik motor, HP juga tidak diperbolehkan selama liburan. "Orang tua menyetujui peraturan ini, makanya ketika awal tahun baru masuk ada akad atau serah terima dengan pihak pesantren," jelas dia.  c39, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement