Jumat 23 Oct 2015 16:00 WIB

Status Hukum Anak dari Nikah Siri

Red:

Secara syariatnya, nikah siri dipandang sah selama terpenuhi rukun dan syaratnya. Nikah siri pada hakikatnya sama dengan pernikahan pada umumnya. Hanya, pernikahan tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya bulan Mei 2006 secara tegas menyatakan nikah siri sah secara hukum agama.

Demikian pula anak dari pernikahan siri. Jika pernikahan tersebut sah dalam syariat, anak dari pernikahan tersebut harusnya juga sah. Permasalahannya, keabsahan tersebut belum diakui secara undang-undang. Seorang anak yang sah menurut undang-undang adalah anak hasil dari perkawinan yang sah, yakni tercatat dalam dokumen negara.

Defenisi sahnya suatu pernikahan berbeda dari sudut pandang agama dan negara. Dalam agama, pernikahan dipandang sah jika terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan, sah menurut negara, apabila pernikahan tersebut dicatatkan dalam dokumen negara.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan Pasal 42 ayat 1 menyebutkan, "Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah." Negara masih keberatan mengakui anak dari nikah siri untuk memegang status anak yang sah secara hukum. Tak jarang anak hasil nikah siri disebut sebagai anak di luar nikah. Mereka masih kesusahan dalam pengurusan hak hukum, seperti nafkah, warisan, bahkan akta kelahiran.

Karena pernikahan siri si orang tua tidak tercatat dalam dokumen negara, anak hasil nikah siri dinyatakan negara sebagai anak di luar nikah. Penyebutan istilah ini bisa menjadi masalah baru. Istilah ini bisa jadi masuk dalam ranah hukum Islam yang punya bab sendiri, yakni qazaf (tuduhan palsu kepada orang baik-baik bahwa dia telah melakukan zina). Qazaf juga menjadi tindak pidana berat dalam Islam yang punya ancaman serius, yakni 80 kali hukuman cambuk.

Pasal 42 ayat 1 dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 ini secara pemahaman syariat bertentangan Pasal 43 ayat 1 yang datang setelahnya. Dalam pasal ini disebutkan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jika anak hasil nikah siri digolongkan pada Pasal 43 ayat 1 ini, tentu itu menjadi kezaliman negara kepada mereka.

Imam Masjid Istiqlal Jakarta Dr KH Ali Mustafa Ya'qub menegaskan, seharusnya negara mengakui secara sah anak dari nikah siri. Bisa jadi karena faktor ekonomi, sepasang pengantin tidak mampu membayar biaya penghulu dari KUA. Akibatnya mereka memutuskan untuk nikah siri.

Menurut Ali Mustafa, pernikahan yang sangat sakral dan menjadi syariat menjalankan agama harus dilindungi negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29. Tak boleh ada intervensi negara dalam menjalankan syariat agama, termasuk dalam urusan pernikahan. Jika agama sudah menyatakan sah, mau tak mau negara juga harus menyatakan sah.

Tidak hanya di mata hukum, dalam tatanan sosial masyarakat, anak yang dicap di luar nikah mempunyai kedudukan inferieur lebih rendah dan buruk dibanding anak yang sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua. Sedangkan, yang dicap tidak sah tentu berada di bawah perwalian. Hal ini juga berlanjut pada warisan dan hak-hak anak lainnya.

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, anak yang lahir dari kawin siri secara hukum negara masih dipandang tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Persis sama hukumnya dengan anak di luar nikah. Dalam akta kelahiran misalkan, masih ditemui kasus akta kelahiran anak dari nikah siri yang tak mencantumkan nama ayah. Memang benar demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat 2 huruf A Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi  Kependudukan.

Permasalahan ini baru menjadi terang ketika dikoreksi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. MK menyatakan, anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu. Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum juga berakibat anak di luar nikah tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya.

MK berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pencatatan Perkawinan ini disimpulkan, pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Pencatatan hanya kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban administrasi ini dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM yang bersangkutan.

Di samping itu, dengan adanya pencatatan secara administratif oleh negara, dimaksudkan agar perkawinan menjadi perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas dan di kemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik.

MK bahkan menyatakan Pasal 43 ayat 1 ini telah bertentangan dengan UUD 1945. Review pasal tersebut menjadi, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."

Tahun 2013 lalu, Mendagri saat itu, Gamawan Fauzi, telah memberikan pengakuan terhadap anak hasil nikah siri sebagai anak yang sah secara undang-undang. Anak hasil nikah siri secara teknis sudah mendapatkan haknya sebagai anak-anak dari pernikahan sah lainnya. Misalkan, soal akta kelahiran, si anak bisa mendapatkannya setelah melalui isbat atas pernikahan siri orang tuanya. Wallahu a'lam. n ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement