Jumat 26 Sep 2014 18:30 WIB

Haji: Perspektif Syariah, Tarekat, Dan Hakikat (7)

Red:

Dalam perspektif ilmu fikih, Ka’bah dipahami sebagai bangunan suci berbentuk kubus berukuran tinggi 11,03 m dengan sisi 11,03 m x 12,62 m yang terletak di te ngah Mas jid Haram Makkah. Sebagai mana disinggung dalam artikel ter dahulu bahwa Ka’bah pertama kali dibangun atas permintaan Adam dan Hawa ketika kedua nya baru saja diturunkan di bu mi penderitaan dari surga ke nik matan, sebagai akibat pelang garan perintah Allah, mendekati buah terlarang. Ka’bah dibangun sebagai miniatur Baitul Makmur dan Baitul makmur sendiri juga me rupakan miniatur ’Arasy, ista na Tuhan.

Pada dinding Ka’bah melekat Hajar Aswad, batu pualam berwarna hitam yang berongga ditempelkan di sudut Ka’bah di samping kanan pintu masuk Ka’bah. Dalam salah satu riwayat dikatakan semula batu itu putih laksana intan kemilauan tetapi sekarang menjadi hitam. Ada yang mengatakan karena lelehan dosa manusia yang menciumnya.

Pembangunan Ka’bah ketika Nabi berusia 30 tahun (600 M) dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu, bangunan ini direnovasi kembali akibat banjir bandang yang melanda Kota Makkah pada saat itu. Terjadi perselisihan antarkepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya.

Namun berkat kecerdasan Nabi Muhammad SAW, perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Nabi meletakkan selendangnya yang bersegi empat, kemudian keempat kelompok bertikai masing-masing memegang ujung selendang yang berisi hajar aswad itu lalu diangkat ke tempat pemugaran. Setelah sampai di sana Nabi Muhammad meletakkan batu itu ke tempat yang sudah disiapkan bersama-sama dengan keempat kelompok yang bertikai itu.

Hingga saat ini Ka’bah sudah berdiri megah di tempatnya. Pengurusannya diserahkan kepada para penguasa Arab Saudi, mulai dari Bani Say’ibah sebagai pemegang kunci Ka’bah. Administrasi dan pelayanan haji diatur oleh pemerin tah semenjak khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci (khadimul haramain), Makkah dan Madinah. Kini kota suci itu sudah seperti milik semua umat Islam, bukan lagi hanya milik dan otoritas sepenuhnya pemerintah Arab Saudi.

Di dalam fikih ibadah, Ka’bah memiliki fungsi hukum yang amat penting karena semua wajah orang shalat di kolong jagat ini mesti menghadap kepadanya. Tidak sah shalat bagi orang yang me ngetahui posisi Ka’bah lantas tidak menghadap ke Ka’bah. Demikian pendapat ulama fikih yang bersumber dari hadis Nabi.

Ka’bah juga wajib dikunjungi bagi para jamaah haji dan umrah. Ka’bah adalah kaukus aktivitas rohaniaah umat Islam. Semula kiblat umat Islam menghadap Masjid Baitul Maqdis Yerusalem. Namun, Rasulullah memohon agar arah kiblat dipindahkan ke arah Ka’bah. Akhirnya pada tahun 624 M Allah SWT mengabulkan permohonan beliau dengan turunnya QS al- Baqarah ayat 144 yang mengizinkan Rasulullah shalat menghadap ke Ka’bah sebagai kiblat baru bagi umat Islam.

Kini Ka’bah di Makkah semakin ramai dikunjungi umat manu sia. Seolah-olah halaman Ka’bah su dah tidak mampu lagi menampung jumlah pengagum dan penggemarnya yang datang dari berbagai pelosok untuk melepaskan kerinduannya. Baik di musim haji maupun untuk kegiatan umrah. Mes kipun sudah dibatasi dengan kuota, umat Islam yang kini sudah mencapai 1,3 miliar jumlah penduduk memang sudah tidak sanggup ditampung di halaman Ka’bah, meskipun pemerintah Arab Saudi selalu memperluas areal Ka’bah tetapi tetap juga tidak bisa menampung pengunjungnya.

Prof Dr Nasaruddin Umar

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Wakil Menteri Agama RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement